Tembagapura, 21 November 2012
Sesuai rencana, rombongan kami, saya, Elly Lubis dan Evatya Luna
hanya beberapa saat saja bersosialisasi dengan warga asli suku Banti. Camat
Tembagapura, Slamet Sutejo mengingatkan kami agar segera bergabung kembali
dengan Syafii yang baik hati dan murah senyum itu.
“Terimakasih, Pak Camat, catatan perjalanannya nanti akan saya
emailkan, ya,” kataku sebelum berpisah di parkiran kediamannya. Sungguh, kami
merasa beruntung telah diantar keliling pemukiman salah satu suku asli Papua.
“Eva, eh, itu suku Banti apa ada hubungannya dengan suku Bantu,
Negro itu loh?” usikku membuat Evatya Luna terpelongoh. Apa hubungannya coba,
Banti di Papua sementara Bantu di Afrika.
“Mungkin yang ada justeru kesamaannya, Bunda. Banti dan Bantu
sama-sama hitam dan serba tertinggal. Halaaaah, gak tahu jugalah, Bunda,” jelas
Evatya Luna malah membuat diriku bingung. Habis, dia membuat opini, tetapi
dalam sekejap dibantah dan diragukannya sendiri.
Halaaah!
Kami tiga pendekar perempuan pendek dan kekar, akhirnya tibalah di
halte tram pada ketinggian 4000 meter. Perlengkapan yang kami kenakan berupa
rompi, kacamata dan sepatu boot. Tak jauh beda dengan kostum yang dikenakan
oleh para penambang.
Elly Lubis dan Evatya Luna mendapatkan sepatu yang bagus sesuai
ukuran. Sementara aku sepasang boot besar yang cukup berat dan mengganggu
gerakan. Tapi, mau bagaimana lagi, ya, sudahlah!
“Mengapa harus selalu dipakai rompinya yang mirip begini, Mas?”
tanyaku ingin tahu kepada Syafii.
“Yah, agar dikenali, dan mudah menemukan kalau hilang,” sahutnya
ringan.
“Maksudmu, rompi ini apa ditempeli semacam microship. Eh, ini
semua buatan Amrik, iya toh?” buruku.
“Hehe, iya, barangkali, Teteh.” Bapak dari dua anak itu nyengir,
menatapku lucu.
Karena sudah diwanti-wanti jangan bicara urusan politik dan
aktivitas Freeport dengan karyawan, aku memutuskan tidak melanjutkan kicauan.
Sementara sebagai seorang penulis, imaji liarku tanpa bisa ditahan lagi secara
terus-menerus berkelindan di dalam otakku.
Melihat peralatan konsentrat bebatuan di Mil 74, imajinasiku
mewujud batang-batang emas, perak dan tembaga yang telah jadi, memenuhi
tantangan pasar dunia. Lantas, dikemanakan hasil penjualannya?
Betapa kaya rayanya bumi Papua, ini realita yang tak bisa
dipungkiri. Namun, lihatlah kondisi pemukiman Banti. Mereka tinggal di
honai-honai (rumah) yang tak lebih mirip kandang babi.
Mendadak aku merasa gulana, limbung dan bingung. Sampai ada yang
bilang:” Ya, sudahlah, mereka ada yang mengurusnya.” Iyakah, sungguhkah?
“Nah, kita sudah sampai!” kalimat seseorang menyadarkanku akan
keberadaanku kini.”Kita akan naik tram dari sini, Teteh,” lanjut Syafii.
Evatya Luna dan Elly Lubis ditemani Syafii langsung meloncat dari
kendaraan. Aku p0elan-pelan saja sambil megukiur kekuatan tubuhku. Berjalan di
tengah gerimis yang turun renyai, hawa dingin langsung menyengat dan oksigen
sangat menipis.
Kedua rekanku itu semakin semangat untuk mengambil momen-momen
bagus, pemandangan di skeitar kami memang sangat indah. Rugi sekali jika tak
membawa kamera canggih.
Kami menaiki tangga menuju halte tram. Tiga orang petugas
berseragam langsung menghampiri kami, dan menanyai Syafii: ”Siapa ini dan dari
mana?”
“Ini tamu dari Jakarta. Surat izinnya ada di Pak Bambang, silakan
konfirmasi,” jelas Syafii meyakinkan.
Dengan mudah kami bertiga ditemani Syafii naik tram. Tampaklah
pemandangan yang luar biasa indahnya. Untuk beberapa jenak aku hanya
terperangah, mengatur napas dan menikmati gelaran lanskap terindah dari Sang
Pencipta.
Jeprat, jepreeeet!
Sesampai di seberang, kami melanjutkan perjalanan menuju Grasberg
Mine.
Dan inilah foto-foto kami. (Pipiet Senja, Timika, November 2012)
Posting Komentar