Minggu (29/06/14) Pukul setengah 2 siang, aku sudah di tempat.
Jalan Ki Maja, gedung bertempat di belakang Alfamart besar di jalan
Ki Maja ini. Alhamdulillah, kali ini ada salah satu kelas menulis yang
me-Nasional. Karena narasumber adalah penulis nasional.
Setelah sebelumnya ada mbak Sinta Yudisia selaku penulis nasional
dan ketua Forum Lingkar Pena Pusat datang ke Bandarlampung.
kali ini, tak kalah hebat dan dinanti, yakni kedatangan narasumber
sekelas Teh Pipiet Senja. Penulis senior nasional yang telah menerbitkan 150 macam judul buku.
Suatu kebanggan bagi Forum Lingkar Pena Wilayah Lampung,
dan FLP cabang Bandarlampung, karena Teh Pipiet Senja datang untuk menyalurkan ilmu yang sangat bermanfaat bagi kami, para manusia yang
suka menulis.
Talkshow & Workshop bertajuk ‘Gerakan Zakat melalui Goresan Pena’
disponsori oleh Dompet Dhuafa dan bekerjasama dengan FLP Lampung.
Teh Pipiet Senja dengan busana Ungu Syar’i yang beliau kenakan,
tampak begitu segar di usia senja nya. Di awal Teh Pipiet menceritakan
sedikit perjalanan kepenulisannya, mengenai pengalaman beliau dalam
membuat cerita. Teh Pipiet mengatakan, penulis butuh kepekaan,
dari sekitar, seorang anak pengamen dengan alat musik sederhananya,
bisa dijadikan bahan tulisan yang bermakna.
Salah satu peserta termuda menjadi salah satu sasaran teh Pipiet,
mengenai pertanyaan “Mengapa suka menulis?”. Si Anak kecil berjilbab putih,
Siti Atikah Azzahrah namanya, menjawab karena hobi dan senang menulis. Ternyata, menulis merupakan kesenangan bagi banyak orang,
sebagian orang mengatakan menulis merupakan kebutuhan.
Teh Pipiet juga menceritakan sedikit kisah hidupnya, bahwa beliau
merupakan salah satu penderita thalassemia, yang di diagnosa sejak
usia 17 tahun oleh dokter. Namun, bagi Teh Pipiet Senja, menulis
menjadi salah satu terapi sehatnya. Hidup sebagai penderita thalassemia,
dengan Limpa yang sudah ditiadakan dari tubuhnya.
Tahun 2013, beliau mengatakan dirawat di ICCU, jantung beliau hanya
berfungsi 30% di dalam ruangan yang super steril itu beliau tidak diperbolehkan beraktivitas kemana-mana.
“Apa yang saya lakukan? Menulis ”. Di dalam ruangan yang steril itu,
laptop dan peralatan tidak di perbolehkan masuk, hape juga tidak
boleh dipegang pasien. “Dok, mau gak liat pasiennya gila?
Sudah sakit gila pula?” ucap Teh Pipiet menceritakan lagi kisahnya.
“Wah, jangan dong, kenapa jadi gila?” ucap Teh Pipiet mengikuti perkataan
dokter saat itu.
“Saya gila kalau tidak menulis, makanya jangan diumpetin dong hapenya…”
jawab Teh Pipiet.
Akhirnya sang dokter memberikan izin Teh Pipiet untuk menulis di
Blackberry nya. Menulis bisa menjadi terapi, menulis bisa menunda
kepikunan.
Terdapat slide materi yang disiapkan Teh Pipiet Senja, beberapa materinya mengenai kepenulisan. Menulis hanya berpegang dengan teori-teori tanpa mempraktikan, keinginan menjadi penulis hanya MIMPI. Untuk menjadi
seorang penulis yang harus kamu lakukan adalah… menulis-menulis-menulis!
Tak peduli menulis apa, biarkan kata-kata mengalir-mengalir-mengaliiir.
Seorang yang hendak menulis, pasti sudah punya gambaran mengenai apa yang akan ditulis, tidak mungkin blank seutuhnya. Teh Pipiet juga mengatakan, pernah mendapatkan inspirasi menulis puisi dari orang gila. Orang gila yang ditemui beliau saat sedang tranfusi, terlahirlah puisi pendek;
Lelaki itu bertelanjang dada
Wara-wiri dan berteriak: ‘Tuhan Tidak Ada!’
“Namanya juga orang gila, pasti tidak punya Tuhan. Puisi tersebut, termasuk dalam puisi mbeling”, tutur Teh Pipiet.
Beliau menulis dan menulis, kemudian mengirimkannya. Pede-pede saja menyebarkan karya ke media. Karena sekarang, sudah sangat mudah melalui Email, bisa sharing di twitter website. Kalau zaman dulu, saya menggunakan mesin TIK.
Setelah diketik kemudian dikirimkan ke pos. Buku yang sudah ada di media, jangan sama dengan mereka. Janganlah diikuti buku yang sudah ada. jika ada buku tentang muhasabah cinta, janganlah kita mengikuti ide yang sama. Jadilah diri kita sendiri pakai style kita sendiri.
“Daripada Mengekor Singa, Lebih Baik Kita Jadi Kambing, Tapi Kepalanya”.
Dalam materi Teh Pipiet Senja, bila seseorang sudah digariskan menjadi seorang penulis, pasti Ada sesuatu yang akan terjadi pada diri kita, yakni; sesuatu itu sangat luar biasa pengaruhnya, sehingga dia akan memburu, menguntit ke mana pun kita melangkah.
Modal paling utama seorang penulis adalah dorongan dari dalam. Menulislah dari hal yang kecil, tak perlu terlalu luas, njelimet-njelimet. Menulislah mulai dari catatan harian, pengalaman sendiri, hasil menjadi pendengar yang baik bagi orang-orang yang berkeluh-kesah kepada kita, atau fenomena yang tengah terjadi di sekitar kita.Jadi jangan terlalu berharap buku yang telah kita terbitkan menjadi best seller. Biarkanlah pembaca yang menilai.
Gadis Kecil Pesert Termuda.
Di sisi lain, setelah acara. Kami dipersilahkan untuk menulis. menulis apa saja dengan tema Zakat. Ada hal unik di ruangan itu, ada dua orang gadis kecil berusia 11 tahun, sedang mengetik dengan antusias. Mereka adalah Feyna si gadis berjilbab pink, berkacamata frame merah di sebelahnya ada pula seorang gadis kecil berjilbab putih dengan gaya mengetik yang super cepat, Siti Atikah namanya.
“Hei, ngetiknya jangan cepet-cepet, nanti kamu haus..” tuturku pada Tika panggilan Siti Atikah.
“Ah gak haus kok, kan cuma ngetik. Nih pake 2 jari…” jawab Tika polos. Kemudian dia meneruskan mengetik di netbooknya.
Dari sana aku berkenalan dengan dua gadis kecil berbakat. Mereka sangat bersemangat. Sedangkan aku? Aaak sebenarnya aku bukan tipe orang yang bisa menulis dengan tema yang ditentukan, dan harus segera selesai beberapa jam saja. Jadilah aku memilih untuk menyelesaikan tulisan dirumah, dan mengirimkannya kemudian hehe.
Peserta lainnya masih tekun dengan tulisan mereka. Namun dua bocah itu menghampiri tempat duduk aku dan ka Nora. Mereka berkenalan pada kami. si Feyna mengatakan kalau sudah besar mau jadi guru dan penulis, sedangkan Siti Atikah mengatakan kalau sudah besar pingin jadi dokter dan penulis.
“Nah, kalau kamu mau jadi dokter, tanya jurusnya tuh sama Ka Nora…” tuturku.
“Sini-sini aku bisikin caranya…” ujar Ka Nora, akhirnya mereka masuk kedalam obrolan tentang cara menjadi dokter. Gak salah-salah si Tika juga tanya tentang foto di ruang operasi. Semangat yang menggebu dan kereeen untuk si Tika :D
Kemudian kami berfoto bersama sebagai kenang-kenangan, ah semoga bisa ketemu sama bocah-bocah ini lagi, ohya kami sempat bertukar email :D
Di akhir acara, tulisan yang telah dibuat para peserta dikoreksi oleh Teh Pipiet Senja sendiri. Teh Pipiet pun mengumumkan peserta yang berhak mendapat hadiah buku dari Teh Pipiet. Mereka adalah…. Adik Siti Atikah dan Ka Nora Ramkita, yeey!
Siti atikah dengan kisahnya yang berjudul indahnya berbagi, dan cerita kak Nora tentang kisah Ruang Melatinya. Ah kka Nora yang ngakunya ga bisa buat fiksi, malah juara kaaan. Keren!
Puasa hari pertama, diisi dengan kegiatan bermakna. Menambah ilmu, menambah persaudaraan serta bermanfaat. Dari sini aku belajar bagaimana menjadi penulis yang baik, bagaimana mengkondisikan diri untuk konsisten. Menemukan Golden Time dalam menulis. Teh Pipiet mengajak kami bersyukur lebih dalam terhadap kesehatan.
Di mana beliau yang memiliki berbagai sakit dari Allah, terutama sakit Thallasemia yang di alami sejak usia remaja, namun beliau tetap aktif, tetap dapat melakukan aktifitas secara baik, secara tersirat kami diajak lebih memaknai kehidupan dan bersyukur dengan berbagai nikmat yang diberikan oleh Allah. Semoga Teh Pipiet Senja tetap sehat, dipanjangkan usianya, dilancarkan aktivitasnya, agar dapat memberi manfaat untuk sebanyak-banyaknya umat. Aamiin.
Saya mendapatkan ilmu lain di tulisan ini, Bunda. Yang tentang jangan mengekor singa itu.
BalasHapusTerima kasih :)
Posting Komentar