Novel Jejak Cinta Sevilla: Garsini
Merupakan Gabungan Tiga Karakter
Penghujung Desember, 1997, seorang produser mendatangiku ke
rumah kami yang mewah alias mepet sawah dan mepet kuburan, kampung Cikumpa. Dia
meminta naskah cerbungku yang dimuat di majalah Mangle, majalah bahasa Sunda
untuk disinetronkan. Jadi, aku harus menerjemahkannya dalam bahasa Indonesia
dan dalam bentuk naskah skenario sinetron; enam episode.
Dengan mesin ketik jadul yang dinamai si Denok, aku pun
taktiktok, hingga belepotan peluh dan jari-jemariku sakit-sakit, ngilu. Mesin
ketik ini sungguh sudah tidak layak lagi digunakan. Karena huruf-hurufnya
sungguh telah sangat pabaliut.
Bayangkan saja huruf b bulatannya sudah tak tampak, huruf q dan j juga tinggal
titik dan bulatan separo.
Halaaah, pokoknya bikin mata sakit dan menyedihkan
buangeeet!
Apa boleh buat, karena butuh, ya, daku paksakan jugalah.
Sepanjang siang dan malam itu, jika sudah lepas dari urusan dapur, aku akan
mengetik, menulis, menulis dan menulis. Bunyinya sering kali membuat bapak si
Butet ngomel-ngomel yang sama sekali taklah membuatku berhenti menulis.
Apalagi karena sang produser itu begitu percaya, langsung
menyerahkan honorariumnya; 3 juta rupiah. Bayangkan, untuk saat itu uang
sebegitu jumlahnya, terutama bagi diriku, sungguh sangat banyak!
Bukan masalah bagiku untuk belajar menulis skenario. Kubeli
bukunya Arswendo Atmowiloto tentang panduan menulis skenario. Aku juga
menemukan contoh naskah skenario jadul karya Motinggo Boesye; Malam Jahanam.
Belakangan setelah mengenal Rumah Dunia, jujur saja, diam-diam, aku belajar
banyak dari skenario karya Gola Gong.
Ceritanya selesai sudah keenam naskah skenario pesanan yang
diangkat dari cerbung dengan judul baru; Sebening Hati. Jika ditelisik jumlah
halamannya per naskah 90 halaman, kalikan enam saja sama dengan; 540 halaman!
Tunggu punya tunggu sampai Mei 1998, reformasi terjadi,
kegoncangan ekonomi terjadi. Termasuk dunia perfilman, persinetronan apalagi
penerbitan. Sang produser raib tanpa jejak, entah pergi ke mana.
Setiap kali mataku menclok di tumpukan naskah Sebening Hati,
ada yang meruyak jauh di dada ini. Rasanya mubazir, sia-sia, jika dibiarkan
begitu saja, pikirku. Beberapa saat lamanya terpaksa kubiarkan mengonggok di
sudut kamar. Aku beralih ke buku anak-anak saja. Beberapa buku anak karyaku
dibeli oleh Inpres. Setidaknya dari situlah aku bisa menghidupi kebutuhan
anak-anak dan dana berobatku.
Namun, semangat juang ‘45 yang diwariskan ayahku senantiasa
membalun jiwa dan ragaku. Dari honorarium 3 juta itu, aku bisa membeli
seperangkat komputer jadul yang sering membuat listrik kami braypet-braypet.
Dengan kesabaran yang tiada mengenal batas (cieeeh!)
akhirnya aku berhasil mengetik, tepatnya merangkum naskah skenario tersebut
menjadi dua naskah novel. Judulnya kuubah menjadi Riak Hati Garsini dan Kapas-Kapas
di Langit.
Riak Hati Garsini kuserahkan kepada Halfino Berry
(Asy-Syamil) ketika jumpa pertama kali di lesehan Forum Lingkar Pena di Gedung
Muhammadiyah, jalan Menteng. Dia menyetujui untuk menerbitkannya, setahun
kemudian.
Malangnya, nasib Kapas-Kapas
di Langit, ternyata harus mengalami beberapa kali penolakan. Awalnya
kuserahkan melalui Korrie Layun Rampan, ketika itu editor majalah Sarinah. Dia
sudah menyetujui bahwa naskahku itu akan dimuat secara bersambung. Bahkan
sebagian DP (uangmuka) sudah kuterima sejumlah 150 ribu rupiah. Eh, tahu-tahu
itu majaah yang sempat menjadi sengketa antara dua kubu, dibangkrutkan!
Dan, tralalala, naskahnya hilang!
Okelah, kalau begitu, kembali aku mengetik ulang, kali ini
sudah dengan komputer yang rada benar, sudah pentium satu. Sempat raib dari hardisk gara-gara virus, demikian pula
dari disketnya. Mujurlah, Sarah Handayani, waktu itu Ketua FLP Depok, masih
menyimpan disketnya, meskipun hanya sampai halaman 94 dari 156.
Kembali dengan tekun dan teliti (kunti ‘kali yee!) aku
mengetik segala hal dari sisa memori otakku tentang novel Kapas-Kapas di Langit, sebagai episode kedua, lanjutan Riak Hati Garsini.
Begitu telah selesai, kutawarkan kepada Ali Muakhir (DAR!
Mizan), entah dengan pertimbangan, mungkin sebab sudah ada beberapa naskahku
yang siap cetak, pokoknya Kapas-Kapas
di Langit ditolak!
“Maaf, ya Mbak, novel ini terpaksa kami tidak bisa
menerbitkannya.”
“Boleh tahu, apa alasannya?” tanyaku ingin tahu.
“Saya tidak menangkap tema globalnya, ya Mbak Pipiet,”
demikian kilah Ali Muakhir yang hingga detik inipun, sumpeee deeeh, daku sama
sekali tidak paham!
Naskah itu akhirnya lama tersimpan di komputerku. Sampai
sekitar bulan Juni 2002, Asma Nadia memberiku nomer seseorang yang kabarnya sedang
membutuhkan naskah untuk diterbitkan. Jadi, aku menbghubungi nomer tersebut.
Dia malah memberiku nomer lain yang ternyata kantornya Remon Agus, bos penerbit
Zikrul Hakim.
Ketika kami jumpa di kantornya di jalan Pramuka, Remon Agus,
minta waktu untuk mempelajarinya. Belum sampai rumah, tiba-tiab dia sudah
menghubungiku dan menyatakan suka sekali dengan naskah Kapas-Kapas di Langit.
“Mau
dijual berapa?” tanyanya ketika kami jumpa kembali keesokan harinya.
“Maksudnya,
jual putus, ya?”
“Terus terang, ini pertama kalinya saya akan menerbitkan
buku fiksi. Selama ini baru buku Yassin dan beberapa buku Yusuf Mansur.”
“Bagaimana kalau 5 juta saja, ya Pak Remon?”
“Ini kan penerbit baru, Teteh, boleh kurang dong?”
Aku bergeming di angka tersebut. Akhirnya dicapai
kesepakatan, 4 juta dibayar lunas saat itu, sisanya setelah bukunya terbit. Ternyata, Kapas-Kapas
di Langit angsung diserap oleh pasar.
Alhamdulillah, bahkan setahun kemudian, meraih Islamic Book
Fair Award, 2006 sebagai novel terlaris. Menjejeri Fahri Asiza yang meraih IBF
Award sebagai Penulis Favorit.
Ternyata kemudian aku mendapat “teror” dari para pembacaku,
mendesak agar novelnya dilanjutkan.
Adakalanya aku tersenyum geli, bahkan tak
jarang kebingungan sendiri, jika ada yang bertanya: “Teteh Pipiet, apa kabarnya
Garsini? Bagamana tuh nasib dokter Haekal?” dan banyak pertanyaan seputar tokoh
rekaanku itu.
Seakan-akan Garsini itu memang hidup dan eksis dalam kenyataan,
duhai!
“Iya Teteh, lanjutkanlah novel Kapas-Kapas di Langit. Bikin
penasaran saja,” ujar bos Zikrul Hakim, Remon Agus.
Aku baru bisa memenuhinya 2009, kugabungkan dua novel itu
kemudian kutambah satu episode yang kuberi judul; Jejak Cinta Sevilla. Baru keluar dari percetakan setahun
kemudian, 2010. Bayangkan, betapa panjangnya proses kreatif novel paling tebal
yang pernah kutulis ini. Jika dihitung sejak 1997 hingga 2010, totalnya; 13
tahun!
Beberapa bulan yang lalu, seorang mahasiswa S2 Universitas Jakarta,
Supiyatna, menemuiku dan mengabarkan bahwa dia mengambil Kapas-Kapas di Langit sebagai penelitian untuk thesisnya.
Tentu saja aku merasa sangar terharu sekaligus surprise. Ternyata proses kreatif yang
begitu panjang ada juga hikmahnya. Selain menambah deretan penggemar, akhirnya
ada juga karyaku yang diangkat ke dunia akademisi.
Supiyatna bertanya banyak hal seputar karakter tokoh
rekaanku, Garsini Siregar.
Sesungguhnya aku ingin mengambil karakter Helvy Tiana Rosa,
Rahmadiyanti dan seorang penulis pemula yang tak ingin disebut namanya. Kami
sering chatting sehubungan
kebutuhanku urusan penglataran Jepang, dan suasana kampus serta dunia mahasiswa
di negeri Sakura.
Garsini merupakan tokoh impianku sejak kecil. Aku ingin
menuangkan harapan, cita-cita dan mimpi-mimpiku dalam bentuk tokoh utama
rekaanku. Bahwa Garsini meskipun terlahir dari keluarga yang tidak harmonis,
ternyata ia mampu membuktikan kepada dunia; Bisa Berprestasi!
Garsini, bagiku bukan sekadar tokoh imajinatif. Ketika aku
menuliskannya, memolesnya dan mewujudkannya, serta melakoni peristiwa demi
peristiwa, konflik demi konflik, jujur saja hatiku ikut merasai. Seakan-akan
diriku, jiwaku dan ragaku merasuk dalamn tokoh Garsini.
Duhai, duhai, Garsini….
Seperti kata HTR suatu kali, kira-kira begini, dalam endorse
Riak Hati Garsini: “Ketika Garsini
berhasil menyelesaikan konfliknya, sesungguhnya Pipiet Senja yang pasien
thallasemia masih panjang lakonnya….”
Betul, betul, betul!
Aku masih harus berjuang dalam mempertahankan sepotong nyawa
ini. Tetapi, apa bedanya, siapapun memang melakoninya demikian. Bukankah?
Pada Pebruari 2015, saya mendapat kabar dari salah satu juri Festival Film Bandung 2015 bahwa film pendek yang diangkat dari novelet bahasa Sunda, Garsini telah berhasil meraih Juara Pertama. Novelet Garsini inilah yang mengawali episode pertama dari tiga episode dalam novel tebal Jejak Cinta Sevilla.
Alhamdulillah, terima kasih Dym, Akhi Dirman dari Bima yang telah sukses membesutnya menjadi sebuah film pendek yang inspiratif.
Alhamdulillah, terima kasih Dym, Akhi Dirman dari Bima yang telah sukses membesutnya menjadi sebuah film pendek yang inspiratif.
Saat ini novel Jejak Cinta Sevilla sedang berada di tangan Aditya Gumay, dalam proses dicarikan produser untuk diangkat ke layar lebar. Penglataran tujuh negara yang diambil untuk novel ini semoga tidaklah menjadi kendala urusan dananya. Indonesia, Singapura, Malaysia, Jepang, Prancis, Tazmania dan Mekkah. (Pipiet Senja, revisi Pebruari 2015)
Catatan; Pipiet Senja, menulis sejak remaja, kelahiran Sumedang, 1956,
telah melahirkan ribuan cerpen, ratusan novel, tetapi yang diterbitkan baru
165 buku. Bermukim di di bumi Allah alias nomaden, karena tidak memiliki rumah
sejak bercerai.
salut untuk ibu pipit senja atas produktivitas menulisnya. semoga aku bisa meniru :)
BalasHapusSubhanalloh, begitu panjang kisah Bunda Pipiet...
BalasHapussalam kenal Bunda
Eva Arlini; semoga banyak berlahiran para penulis hebat setelah saya, mhuuuuaaaa
BalasHapusamin ya rabb :)
Hapusmudah-mudahan salah satunya saya, amiiin :)
Seneng Utami; terimakasih ya nanda telah mampir, silakan obrak abrik rumah arya ini dan share untuk kemanfaatan ummat, mohon disebutkan sumbernya, terima kasih
BalasHapusBagaimna caranya klo mw membeli novel ini bunda? Ada kontak yng bsa di hubungi?
BalasHapusPosting Komentar