Bandara Narita, suatu petang di
musim semi yang hangat dan lembut. Pesawat KLM beberapa saat lalu telah
mendarat mulus di landas pacu bandara yang terkenal dengan teknologi canggih
se-Asia. Para penumpang mengalir keluar dari pintu kedatangan. Petugas
memeriksa bawaan mereka dengan ketat.
Belakangan suasana bandara di
seluruh dunia dicekam ketakutan dan kengerian luar biasa. Ini diakibatkan oleh
sejumlah peristiwa pemboman hebat di berbagai belahan dunia.
Haekal,
seorang pemuda berseragam militer antri dengan sabar di antara para penumpang
yang baru tiba dari Holland. Sekilas ia melayangkan pandangannya ke kejauhan.
Adakah anak bawel itu di antara para penjemput?
“Aku
bukan anak bawel lagi, Brur! Aku sudah dewasa, sudah akhwat…” katanya melalui email. Ketika itu Zakia mahasiswi di
Universitas Indonesia. Begitu bangga dia menceritakan tentang rekan-rekan apa
itu, kawatnya? Seperti apa rupanya sekarang anak bawel itu? Masih tomboykah
dia, rambut cepak dan celana jeans belel bolong-bolong?
“Yokoso Nihon e irasshaimasen…1” seorang pramugari yang melintas di
sebelahnya, iseng menyapa pemuda itu. Serdadu Kerajaan Belanda. Ganteng sekali
dia. Harum jantan meruap dari tubuhnya, hmm!
"What?” Haekal celingukan. Ia telah selesai
melalui pemeriksaan, keluar berdampingan dengan pramugari yang memiliki wajah
mirip boneka Jepang koleksi ibunya itu. “Exuse
me… Anda bicara apa?” susulnya dalam bahasa Inggris.
“Anata no o-namae wa nan desu ka? Ryoko wa tanoshikatta desu ka?”2
Gadis Jepang
itu semakin tergairah menggodanya. Ia tahu gerak-geriknya tengah diperhatikan
oleh rekan-rekannya dari kejauhan. Tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat ringkas
di hadapannya.
“Hai, Brur Haekal!” Zakia tersenyum ramah kepada
sang pramugari. “Domo arigato3… Dia sepupu saya dari Holland,”
katanya dalam bahasa Jepang yang lumayan sambil membungkuk hormat. Haekal
terlongong dan berdiri dengan rikuh.
“Sayonara, sayonara…” balas sang
pramugari tersipu malu dan menatap wajah keduanya sekilas.
Gadis Jepang itu
kemudian gegas-gegas berlalu, menuju beberapa rekannya yang masih memperhatikan
pagelarannya sambil cekikikan.
Haekal masih
rikuh sambil memandangi makhluk jelita, enerjik dan terus-menerus tersenyum
bandel ke arahnya. Ooo, pasti ini dia si bawel Zakia Siregar, pekiknya dalam
hati. Sekejap Haekal sudah memeluk gadis itu.
"Huss, jangan
begini!” Zakia merenggangkan pelukan sepupunya.
“Kamu
adikku!” Haekal mejawil hidungnya seperti kebiasaan saat mereka kecil dahulu.
“Tidak
juga, kamu yang adikku. Sebab Mamaku kakak Mamimu,” balas Zakia mulai
memperlihatkan keras kepalanya.
Haekal tertawa
lebar, kemudian tiba-tiba teringat sesuatu. “Hei, tadi itu apa sih? Kamu bicara
apa dengan pramugari itu?” protesnya dalam bahasa Indonesia yang lumayan bagus.
Ini kejutan,
bila mengingat dia telah meninggalkan Indonesia sejak umur lima tahun. Tante
Arnie pasti telah berusaha keras mewariskan kepadanya, bahasa pemersatu
bangsanya.
“Dia
mengucapkan selamat datang di negerinya, menanyakan nama juga tentang
perjalananmu,” Zakia sambil melirik arlojinya.
“Kamu sama
sekali nggak beri kesempatan, ya? Coba bilang dari tadi, aku akan berikan
kartunama yang bagus untuknya.”
Zakia tak bisa
lama-lama di sini, harus mencari tempat untuk shalat maghrib. Ia tahu jika
mengantar Haekal ke hotel yang telah dipesan akan memerlukan waktu yang cukup
panjang.
“Ada
apa?” tanya Haekal cemas dan menangkap kegelisahannya.
Zakia
berusaha tetap tersenyum riang. “Nggak apa-apa sih. Cuma aku harus shalat
maghrib dulu nih, Brur. Begini saja kita cari kafetaria. Sementara aku shalat
kau bisa menikmati…”
“Sake!
Ya, aku mau sake Jepang!” pintas Haekal cepat.
“Huss!”
Zakia tertawa geli melihat semangat sepupunya yang super tinggi itu. Tapi
diantarnya juga sepupunya ke sebuah coffee
house. Matanya telah menangkap suatu sudut yang lumayan sepi di sekitar
situ.
Ketika
Zakia menunaikan shalat maghribnya di sudut sepi itu, mata Haekal tak
lepas-lepas mengawasi kelakuannya. Apa yang terjadi dengan anak itu? Begitu
taatnya dia menjalankan syariat agamanya. Di tengah kesibukan tiba-tiba harus
shalat. Apa dia tak menemukan kesulitan terikat dogma di tengah bangsa asing
begini?
Haekal
teringat ibunya yang masih mengaku orang Islam, tapi belang-bentong menunaikan
shalat lima waktunya. Seketika pemuda itu merasa penasaran sekali. Begitu Zakia
kembali menghampirinya, ia langsung menohoknya dengan sepenggal tanya, “Apa
menjadi Muslimah itu sulit, Za?”
"Insya
Allah tidak!” sahut Zakia mantap membuat Haekal terperangah.
Setelah satu
malam tinggal di hotel bergaya Barat, Haekal memutuskan menerima saran
sepupunya, pindah ke ryokan5. Ia sangat mengandalkan Zakia,
terutama berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya. Ketika Zakia menunjukkan
ryokan itu, wajah Haekal langsung
ditekuk lucu.
“Wuiiih…
kalau nggak ada kamu, bisa bicara apa aku di sini?” keluhnya seperti bocah
ketakutan, hingga Zakia tertawa geli. Nggak pantes banget dengan sosoknya
sebagai serdadu.
“Nanti
kuberikan kamus praktis bahasa Jepang. Dulu pertama datang aku juga
memanfaatkannya. Itu akan sangat membantumu,” Zakia menenangkan, seketika
dipandanginya penampilan sepupunya lekat-lekat.
“Kamu seorang
serdadu, Brur. Kalau Opa masih hidup apa komentarnya soal profesi yang kamu
pilih ini, ya?” Zakia menjawil pet
hijau yang bertengger di kepala sepupunya.
“Opa
akan menangis darah,” gumam Haekal terdengar menyesal.
Mereka telah
hafal betul kisah heroik Opa tercinta. Di zaman revolusi 1945, kakek mereka
berjuang dengan jiwa raga, darah dan air mata melawan penjajah. Di negerinya
kolonial identik dengan Belanda, Jepang dan Portugis. Kini cucunya justru
menjadi abdi Kerajaan Belanda. Ironisnya hidup ini!
Haekal
kelihatan masih merasa menyesal, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Zakia menepuk
tangannya dan berkata riang,“Jangan khawatir, Opa nggak bilang apa-apa tuh
waktu terakhir aku ziarah ke Cikutra!”
“Bercanda
kamu… It’s funy!” Haekal seketika
tergelak geli.
“Sungguh,
jangan merasa bersalah, ini jalan kita…”
Siapa pernah
mengira Haekal yang sejak kecil bercita-cita studi teknik informatika di
Jepang, malah menjadi seorang militer? Siapa mengira pula kalau Zakia yang
sejak lama ingin menjadi dokter, malah nyangkut di teknik informatika? Entah di
mana salah kaprahnya, namanya ujug-ujug ada di daftar teknik informatika, bukan
di kedokteran.
Siang itu
mereka berjalan kaki menuju sebuah penginapan. Untuk pertama kalinya Zakia
melihat sepupunya melepas seragam militer, dan menggantinya dengan pakaian
santai. Celana jeans hitam dengan t-shirt berlengan sportif. Sekilas
Haekal tampak mirip dengan para pemuda Jepang lainnya yang berlalu-lalang di
sekitar mereka. Ayah kandung Haekal etnis Manado, mereka bercerai dan ibunya
menikah lagi dengan pria Belanda.
“Pasti dia
anak orang penting dari Indonesia, heh?” komentar Haekal.
“Dia… siapa?”
Zakia tersentak. Mereka sudah sampai di depan meja resepsionis ryokan. Tak ada siapapun di situ.
Keduanya menunggu beberapa saat dengan sabar.
“Orang yang
sudah menyerobot posisimu itu!” sergah Haekal.
Wajah Zakia
memerah. Pikirannya sesaat melayang ke pulau Pusan, rekan-rekan aktivis
mahasiswa Muslim Internasional tengah baksos di leprosarium, rumah sakit kusta.
Ia tak bisa ikut sebab telah telanjur janji kepada sepupunya untuk menjadi
pemandunya.
“Naah, kamu
melamunkan siapa?” ejek Haekal. “Ayo katakan kepadaku, kamu sudah punya pacar
kan?”
“Ah, kamu!
Nggak ada pacaran di kamus hidupku…” elak Zakia cepat. Haekal tersenyum menang. “Jadi seorang cewek,
heh, cantikkah?”
“Tentu saja,
dia sangat cantik dan glamour…” Zakia
tertawa kecut.
“Pasti dia nggak pantas jadi anak kedokteran, ya?”
“Ngng… lihat
saja nanti!”
Haekal
menggeram.“Apa dia tahu kamulah orangnya?”
Zakia
menggeleng ragu. “Sudahlah, jangan ungkit lagi yang sudah lewat. Aku senang kok
kuliah di teknik informatika…”
“Gratis lagi,
ya?” Haekal terkekeh. Zakia cengar-cengir.
"Konnichiwa gakusei-san… irasshaimasen,”6 kata
seorang wanita paro baya dengan kimono tradisional Jepang, akhirnya muncul juga
dari belakang. Ia membungkuk dengan sangat santunnya.
“Konnichiwa
Okusan, domo arigato gozaimasu,“7 balas Zakia tak kalah santun,
membungkukkan badannya dengan baik sekali.
Woo,
cara membungkuk ala Jepang ini telah ia pelajari secara khusus dari Mayumi.
Pemilik ryokan terkesan sekali,
menatap wajah Zakia sambil tetap tersenyum ramah. Sepasang matanya menyiratkan
penghormatan dan kekaguman seorang ibu terhadap anaknya.
“Kamu
gakusei-san, dari Universitas Tokyo?” ujarnya langsung menebak. Ia mengerutkan
keningnya, mengira busana yang dikenakan gadis itu adalah mode mutakhir
anak-anak muda.
“Iya…
Bagaimana Nyonya tahu?” Zakia menatapnya terheran-heran.
Sesungguhnya
mudah saja bagi Okusan untuk menebak
asal mahasiswa yang datang ke penginapannya.
Kebanyakan mahasiswa Universitas Tokyo sangat khas, memiliki sorot mata cerdas,
percaya diri dan tahu tatakrama tradisional Jepang. Tapi mata Zakia sama sekali
tidak sipit. Ia memiliki sepasang mata lebar yang bagus sekali. Dan busana yang
dikenakannya, sunguh menarik, pikir wanita itu.
“Gakusei-san mahasiswa asing?” tanyanya
pula ramah sekali.
Zakia mengangguk. “Begitulah, Okusan…”
“Tapi bahasa Jepangmu sudah
lumayan,” pujinya tulus. “Dan busanamu itu unik sekali. Apa ini model musim
semi?”
Zakia sudah terbiasa dengan tatapan
aneh begitu. Mereka memandang heran ke arah busana yang dikenakannya. Itu tak
membuatnya tersinggung apalagi rendah diri. “Terima kasih, ini busana Muslimah,
Nyonya…”
“Ooo… Kamu Muslim ya?”
Tiba-tiba
Okusan balik menoleh ke arah Haekal
dengan tatapan sinis, kecewa dan marah.
“Kamu
sangat beruntung bisa menggaet gadis cantik dan kelihatannya tahu adat ini.
Tapi ingat, kami tak suka kalau kamu hanya memanfaatkannya!” cerocosnya tajam
dan ketus sekali. “Mentang-mentang tampangmu mirip Takeshi Kaneshiro, hah!
Sungguh menjijikkan, memalukan nama bangsa saja…”
Kini Haekal celingukan, bingung. Ada kemarahan, pikirnya.
Untuk sesaat Zakia pun terkesima, perlahan wajahnya merah padam. Ia segera
menyadari kesalahpahaman. Wuih, apa kata rekan-rekannya di daigaku8
nanti!
“Kami bersaudara, Okusan. Percayalah, dia sepupu saya,”
Zakia bicara serius dengan wanita itu. Menjelaskan bahwa ia telah salah paham,
bila menganggap Haekal pemuda Jepang
yang telah menggaet gakusei asing.
Sementara
Haekal semakin bingung. Begitu Zakia selesai bicara, Okusan balik menghadapi Haekal kali ini dengan sikap santun yang
sangat berlebihan.
“Sumimasen… Koko ga
machigatte iru to omoimasu… ”9 katanya
dalam sikap amat malu dan merasa sangat bersalah. Okusan dengan serius sekali masih akan melanjutkan acara
bungkuk-membungkuknya, jika Zakia tak segera mencairkan suasananya. Membisikkan
sesuatu ke telinga Haekal, hingga pemuda itu tertawa ditahan.
"Tidak apa-apa, Madame,” ujar Haekal ramah dalam bahasa Inggris. “Tampang saya
memang mirip orang Jepang. Sudah sering saya alami hal seperti ini di Holland.
Bahkan di negeri leluhurku sendiri, Indonesia… Aha, ternyata Okusan paham bahasa Inggris!” pujinya
pula tulus.
“Ooh, Indonesu… saya tahu itu di Bali?” komentarnya.
Beres
urusan pesan tempat, keduanya melihat kamar yang telah dipesan. Ditemani oleh
seorang putri Okusan yang mendekati
mereka dengan sikap amat pendiam, serba canggung, rikuh dan gerak-gerik lamban.
Sehingga sepintas lalu pun Haekal sudah bisa menarik kesimpulan, gadis itu
seorang terbelakang mental. Itu langsung disampaikannya kepada Zakia.
“Psst, sok tahu kamu!” tegur Zakia
menatap iba ke arah gadis bertubuh gemuk pendek itu. Dalam hati ia terpaksa
mesti membenarkan kesimpulan kilat sepupunya. Hebat, pikirnya, seorang militer
muda dan punya pengetahuan atau bakat psikolog juga.
Sementara
Okusan harus melayani para tamu yang
mulai berdatangan. Kebanyakan tamunya adalah turis asing yang berminat
merasakan nuansa tradisional Jepang. Biasanya mereka menginap satu-dua malam
sebagai transit, kemudian akan melanjutkan perjalanan ke lokasi-lokasi wisata
lainnya.
Tampaknya
Haekal merasa puas dan menyetujui untuk tinggal di situ selama beberapa hari.
Ketika keduanya kembali ke depan, Okusan
telah menanti mereka dengan wajah harap-harap cemas.
“Jangan khawatir, Okusan,” Zakia tersenyum lembut kepadanya. “Dia setuju untuk
menginap di sini beberapa hari…”
“Haik,
kami sangat beruntung, domo arigato,”
Okusan tampak lega sekali.
“Nihon-go wa wakarimasen… sumimasen!”10
tiba-tiba Haekal menyela, pamer hasil studi kilatnya dari kamus praktis
pemberian Zakia.
Okusan dan Zakia menoleh
ke arahnya, menatap Haekal dengan surprise.
Haekal acuh tak acuh melanjutkan hasil pembelajaran praktisnya selama di dalam
kamar, ketika Zakia tengah memperhatikan segala sesuatu di sekitarnya sambil
berusaha keras mengajak berkomunikasi putri Okusan.
Usaha yang sia-sia, gadis itu hanya menyahut dengan mengiyakan atau mengangguk.
“Ei-go de hanashite kudasai… yeah,
yukkuri... Wakarimasu ka?”11
“Haik, wakarimasu!”12 sahut Okusan
sambil lagi-lagi membungkukkan tubuhnya, masih dalam perasaan bersalah.
“Okusan, eh, apa
itu ya, Zakia? Yeah, beautiful too!”
Haekal mengerling nakal. Wajah Okusan merona
tapi ia kembali membungkuk. “Haik!”
katanya.
Zakia menahan tawa, merasa iba juga
kepada Okusan. Disambarnya lengan sepupunya
dan berkata,
“Sudah, jangan bercanda
lagi. Kita cari makan di luar, hayoo!”
“Sayonara, Okusan!” Haekal sambil
tertawa bandel ke arah pemilik ryokan.
“Kami pergi dulu, Okusan…” kata Zakia pamitan.
Ups, hampir saja ia mengucap salam lekum-nya.
“Sayonara, gakusei-san, ja
mata. Sampai jumpa!” balas Etsuko-san,
lagi-lagi mengantar kepergian mereka dengan membungkuk takzim.
“Lebih hormat daripada orang Jawa,
ya?” Haekal tertawa lepas dan geleng kepala sesampai mereka di luar. Ia pernah
tiga kali mengunjungi Indonesia, berkunjung ke Yogya dan Bali.
Mereka berjalan kaki menuju
restoran yang tak jauh dari penginapan.
“Kamu mau mencicipi sushi atau kujira?” tanya Zakia ketika sudah sampai di sebuah restoran kecil.
“Aku mau makan semuanya, semuanya saja!”
sahutnya.
Zakia menatapnya keheranan. Apakah
dia selalu begitu antusias?
“Semuanya, sungguh semuanya?” tanya
Zakia minta ketegasan.
“Tentu saja, jangan sia-siakan
kesempatan selama di Negeri Ninja ini. Semuanya, yap!” Haekal amat bernafsu,
kemudian cepat sekali memesan kepada seorang pelayan. “Aku mau yang ini, ini
dan ini juga ya…”
Ia menunjuk contoh makanan yang
dipajang di rak, replika makanan itu selalu tampak menggiurkan dan mengundang
selera siapapun yang melihatnya. Zakia menatap daftar menunya dengan cemas,
tapi membiarkannya saja.
Beberapa menit kemudian, Zakia
melihatnya kepayahan terhuyung-huyung menuju kloset. Ketika ia kembali wajahnya
tampak pucat pasi, masih terengah-engah serdadu Kerajaan Belanda itu
menunjukkan protesnya.
“Kamu kelewatan, Za,” keluhnya.
“Jangan pernah lagi ajak aku ke restoran Jepang itu, terutama sushi13
dan kujira14-nya.
Mereka betul-betul mau meracuni perutku, hehhh, aduuuhhh…”
Zakia menatapnya terkejut dan iba
sekali, tak menyangka keadaan sepupunya ternyata jauh lebih parah daripada
dirinya, ketika pertama kali datang dan “dijebak” begitu oleh Mayumi. Kedua
jenis makanan khas Jepang itu memang sungguh-sungguh... nggak cocok dengan perut mereka!
Di atas kepala mereka mega-mega
putih menghiasi langit musim semi. Di mata Zakia, gerombolan mega itu mirip
arakan kapas yang menyimpan harapan, impian dalam menjalani lakonnya selama
mukim di negeri Sakura.
Siapa mengira kalau kebersamaan
mereka selama musim semi itu di kemudian hari ternyata membuahkan hikmah?
Terutama untuk Haekal. Sebab tiga tahun kemudian sepupu Zakia yang serdadu
Kerajaan Belanda itu, menyatakan dirinya sebagai pemeluk Islam. Meskipun untuk
itu ia harus dikucilkan oleh rekan-rekannya.
***
1 “Selamat datang di Jepang…”
2 “Siapakah nama Anda? Perjalanan Anda menyenangkan?”
3 Terima kasih
4 maaf permisi
5 penginapan tradisional Jepang
6 “Selamat siang nona mahasiswi. Selamat datang!”
7 “Selamat siang Nyonya, terima kasih.”
10 “Bahasa Jepang saya payah… Permisi!”
11 “Tolong bicara dalam bahasa Inggris… yeah pelan-pelan… Anda
mengerti?”
12 “Ya, saya mengerti.”
13 potongan kecil makanan mentah hasil laut di atas nasi
14 bistik ikan paus
Posting Komentar