Ilustrasi:Google
Dari 99 Kisah Hikmah :
Malam mulai larut, mie ayam dagangannya tinggal
sedikit. Dilihatnya kios-kios di sekitar perumahan tempatnya mangkal, satu per
satu telah ditutup. Tinggal kios warnet yang masih buka. Tampak beberapa anak
muda asyik bermain game-online.
Setiap kali melihat anak-anak muda
pikirannya jadi melayang kepada anak sulungnya. Fadli putra kebanggaannya yang
selalu meraih prestasi hingga mendapat beasiswa belajar ke Yaman. Bagaimana
kabarnya sekarang di tengah pergolakan politik di sana?
“Kami para mahasiswa masih aman-aman
saja, Bah. Tapi kami sudah diintruksikan untuk bersiap dievakuasi,” demikian
pesan singkat Fadli beberapa hari yang lalu. Sejak itu ia belum terhubung
kembali dengan putranya.
Seketika Bah Dira menekur,
menengadahkan kedua telapak tangan mendoakan putra sulungnya. Begitu khidmat
dan khusuk ia mendoakannya, tanpa terasa air mata meleleh dari sudut-sudut
matanya. Teringat saat Fadli pamitan, minta keikhlasannya. Agar ia tak terlalu
mengharapkannya pulang dalam waktu dekat.
"Ikhlaskan
anakmu berjihad di bumi para Nabi, ya Bah,” demikian salam perpisahan anaknya
yang saleh.
Ia
pun tak lupa mendoakan anak perempuannya si Fadliyah. Putrinya ini bertolak belakang
dari kakaknya. Ia sering bolos sekolah hingga akhirnya dikeluarkan. Anak itu
bertingkah tak lama setelah ibunya nekad kerja sebagai TKW di Hongkong. Bah
Dira tidak berdaya, dirinya memang tak mampu menghidupi keluarganya sesuai
tuntutan istrinya.
“He, bengong saja si tua ini! Kasih
mie ayamnya sepuluh!” hardikan lantang membuyarkan seluruh lamunan Bah Dira. Seorang
anak muda berteriak-teriak dari atas sadel motornya.
Dalam sekejap rombongan anak muda telah
memarkir motor di depan kios mie ayam Bah Dira. Sekilas ia menghitung dengan
sudut matanya ada 10 orang. Mereka berpasangan, lelaki dan perempuan. Geng motor
anak baru gede, orang menyebut yang perempuan sebagai cabe-cabean.
Jantungnya
seketika serasa digodam palu raksasa. Betapa tidak, salah satu anak baru gede
yang baru turun dari sadel motor paling depan itu tak lain tak bukan adalah
putrinya sendiri.
Ya
Allah, Fadliyah!
"Eh, malah bengong nih si Tua?”
sergah anak muda berbadan kerempeng dengan celana jins bolong-bolong,
rambut dicat warna-warni. Tahu-tahu anak
itu sudah mencelat berada di depan gerobaknya.
“Tahu saja lihat si Lience
keren....”
Sejak
kapan ganti nama, sentak Bah Dira terkejut sekali, hanya dalam hati.
“Lience
paling keren dan asli looooh!”
“Maklum
baru keluar dari sarangnya....”
“Hooh!
Ibarat kata fresh oven, hahaha!”
Suara-suara
kurang ajar saling bersahutan membuat pasangan mereka cemberut, iri. Mana ada
yang berani kepada Boyke, ketua geng yang baru berhasil menarik perawan
tingting itu keluar rumahnya di gang kumuh.
Sambil
meracik mie ayam Bah Dira sesekali mencuri pandang ke arah putrinya. Anak baru
gede itu berlagak tidak mengenalnya sama sekali. Pakaiannya itu, ya Robb, dari
mana dia mendapatkan baju aneh begitu? Celana jins belel jumbai-jumbai ala
koboy, dipadu t-shirt dengan pusar
terbuka, berbalut jaket kulit yang mengepas badannya.
Ya
Malik, Ya Malik, Ya Malik!
Bah
Dira mengumpulkan seluruh kekutan iman yang dimilikinya agar tidak terpancing
emosi. Dengan sigap ia menyelesaikan pesanan, mengantarkannya ke meja anak-anak
muda itu.
Ia
tak merasa sakit hati jika putrinya tak memedulikan keberadaannya. Ia tak sanggup
melihat penampilan putrinya. Satu hal yang dipegangnya detik ini adalah teguh zikrullah,
digemakan tak putus-putusnya di dalam dadanya.
Ya
Malik, Ya Malik, Ya Malik!
Bah
Dira berhasil mengirimkan pesan singkat kepada sahabatnya Satpam perumahan. Beberapa
saat sebelum geng motor yang telah sukses mengambil putrinya menghabiskan mie
ayam, tiba-tiba satu regu keamanan menyerbu kiosnya.
Bah
Dira menyaksikan bagaimana anak-anak geng motor itu mencoba melawan. Mereka
berontak, menendang, memukul bahkan mengeluarkan senjata tajam. Namun sahabatnya
dan kawan-kawan sudah terlatih. Dalam hitungan menit mereka berhasil meringkus
anak-anak geng motor, menggiringnya ke Pos Satpam, menunggu jemputan polisi.
Malam
semakin larut, tetapi Bah Dira masih bertahan di kiosnya. Ia telah berpasrah
diri, ikhlas lilahi Taala dengan nasib putrinya, saat sahabatnya kembali ke
kiosnya.
“Putrimu
tidak terbukti bersalah, Bah. Silakan bawa pulang,” ujar Bah Dodi, menggandeng
anak baru gede itu ke hadapan ayahnya.
“Maafkan
aku, Bah, maafkan, ampuuuun,” lirih Fadhliyah bercucuran air mata.
Bah
Dira memeluknya erat-erat. Tak ada kata-kata yang terucap dari bibirnya yang
menggeletar saking terharu kecuali; alhamdulillah. Rasa bersyukur atas
anugerah-Nya, telah mengembalikan putrinya ke pangkuannya.
Ilustrasi:Bah
Dira sibuk menyajikan mie ayam kepada geng motor yang telah menggaet putrinya.
@@@
Posting Komentar