Ilustrasi:Googling
Doa Ibu
Bayi
mungil yang barusan menolak disusuinya itu diyakininya masih bernapas. Anakku harus
hidup, harus bertahan, demikian yang terpeta dan mengakar di otak Mak Musa. Bayi
yang terbaring lemah di ranjang mungil ini telah dinantikannya selama lima
belas tahun. Betapa sukacita ia dan suami saat dokter menyatakan dirinya hamil.
Meskipun selang kemudian suaminya harus pergi ke Malaysia. Demi masa depan
mereka, sebab di kampung sulit mendapatkan pekerjaan.
Pukul
satu dinihari, suasana di ruangan rawat tak pernah tidur. Ada saja tangis,
rengekan dan suara kesakitan pasien anak-anak di sebelah menyebelahnya. Para
penunggu, ibu dan bapak harus punya kesabaran tinggi untuk menenangkan anak
masing-masing.
Dokter
jaga didampingi perawat memasuki ruangan. Mak Musa gegas menghampiri mereka.”Bagaimana,
Dokter? Sudah adakah tempat kosong di NICU?”
Dokter
cantik dengan jilbab biru itu menggeleng.”Belum ada yang kosong, Ibu Musa. Apa tidak
ada kabar dari keluarga yang bantu cari NICU untuk Musa?”
Mak
Musa menggeleng lesu. Keluarganya tinggal jauh di kampung. Keluarga suami
nyaris tak peduli, satu pun tak ada yang menengok. Sejak awal mereka tak pernah
menyukainya. Teman-teman di pabrik sudah repot dengan urusan mereka. Hanya
satu-dua yang sempat menengok sejak ia melahirkan tiga bulan yang lalu.
“Bagaimana
kondisinya sebenarnya, Dok? Tolong dijelaskan saja sejujurnya,” bisiknya sesaat
membiarkan dokter memeriksa bayinya. Sosok mungil yang telah diberi nama oleh
ayahnya sejak tujuh bulan dalam kandungan, tampak bergeming, tak bereaksi sama
sekali. Hancur rasanya hati keibuan Mak Musa.
“Seperti
yang sudah kami jelaskan kemarin,” kata dokter dalam nada serius, meskipun
berusaha menenangkannya.”Bayi Ibu punya kelainan jantung. Ia harus dirawat
secara ntensif di ruang NICU. Bertahap nanti akan dilakukan operasi jantung
kalau dia sudah besar dan kuat....”
Mak
Musa tak sanggup mendengar kelanjutannya lagi. Kelainan jantung harus dirawat
di NICU, karena peralatan yang menunjang kehidupannya harus lengkap. Titik.
Tapi tak ada NICU yang kosong dengan biaya surat keterangan tidak mampu yang
dimilikinya. Semua NICU rumah sakit terdekat yang dihubunginya menyatakan; penuh!
Ini
adalah malam ke-9 bayinya menunggu mendapatkan tempat di ruangan NICU. Mak Musa
tidak mau membawa bayinya pulang dalam kondisi parah. Karena di rumah pun ia
hidup seorang diri. Seketika sesak serasa dadanya mengingat betapa
perjuangannya demi memiliki keturunan. Mulai dari konsultasi ke bidan, dokter
kandungan, hingga menemui orang-orang pintar bahkan dukun.
“Ya
Robb, ampunilah hamba yang lemah ini. Agaknya saat itulah hamba telah berbuat
dosa besar, menduakan-Mu,” gumamnya kini.
Terbayang
yang terakhir dilakukannya tanpa sepengetahuan suami adalah menemui kuncen di
Pangandaran. Sang kuncen mengatakan akan memanggil Buta Hejo untuk memberinya
keturunan. Syaratnya ia tak boleh mengucapkan asma Allah seumur hidupnya.
Ketika
ia mengandung tak berapa lama sepulang dari Pangandaran imannya nyaris gugur.
Ia percaya bahwa kehamilannya berkat perantara si Kuncen. Berkat perutnya
dipegang oleh Kuncen yang katanya adalah perantara si Buta Hejo. Naudzubillahi
min dzalik!
Sekarang
tubuhnya bergetar hebat, tersuruk di atas sejadah dengan air mata bersimbah. Ia
menjeritkan rasa penyesalannya kepada Sang Maha Penguasa Semesta. Ia berharap
ampunan dari Sang Maha Penyayang.
Ya
Rahiim, Ya Rahiim, Ya Rahiim!
“Hamba
ikhlas dengan segala kehendak-Mu. Ya Rahiim, apapun keputusan-Mu kini hamba
pasrah lilahi Taala,” desisnya nyaris tak putus-putusnya berdoa, zikir, berdoa,
zikir. Itu saja yang masih bisa dilakukan Mak Musa mengisi sisa dinihari.
Pagi
telah datang, tim dokter memeriksa semua pasien kecil di ruangan Permata. Mak
Musa menunggu rombongan dokter dengan hati tenang. Ya, ia telah menyerahkan
segala urusan bayinya kepada Sang Pencipta.
Dipimpin
seorang Profesor ahli jantung, mereka memeriksa Musa dengan cermat sekali. Mata
Mak Musa tak lepas-lepasnya dari sosok buah hatinya yang tampak tenang. Ya
Rahiim, Ya Rahiim, Ya Rahiim!
“Bagaimana
Prof, apa sudah ada tempat di NICU?” tanyanya menatap Profesor penuh harap saat
dilihatnya lelaki paro baya itu selesai memeriksa bayinya.
“Untuk
apa pindah ke NICU?” balik Profesor tersenyum ramah.
“Maksud
Profesor?” Mak Musa belum paham.
“Musa
boleh dirawat di sini saja sampai kondisinya lebih membaik. Ibu tidak perlu
mencari kamar di NICU lagi, ya,” suaranya terasa bagaikan air dingin,
menyejukkan segala resah pasah jiwanya.
Rombongan
dokter meninggalkan ruang perawatan anak. Mak Musa masih tertegun-tegun, nyaris
tak bisa memercayai daya pendengarannya. Hingga tiba-tiba mendengar suara
meringik dari ranjang mungil bayinya. Ya Rahiim, Ya Rahiim, Musa bisa menangis
meskipun hanya ringikan lembut!
“Terima
kasih, Ya Robb. Engkau telah mendengar doa hamba-Mu yang sempat menduakan
asma-Mu,” kesahnya terharu sangat. Air mata Mak Musa berlinangan, membasahi
rambut bayi dalam dekapannya.
Mak
Musa tahu, perjuangannya masih panjang demi pengobatan buah hati. Artinya Allah
Swt masih memberinya kesempatan menikmati kebersamaannya dengan buah hati yang
didamba belasan tahun.
Ilustrasi:
Mak Musa berdoa khusuk di samping ranjang kecil bayinya yang terbaring sakit
parah di ruang perawatan anak.
@@@
Posting Komentar