Tahukah Anda apa maknanya
Camat? Kepala Kecamatan, ya? Oh, kalau itu sih semua juga tahu. Tapi Camat yang
saya maksudkan di sini adalah Calon Mayat. Ya, pada hakekatnya kita ini
semuanya juga Calon Mayat, bukankah?
Beberapa kali dalam
hidupku, terutama ketika berada di rumah sakit dan sedang sendirian, aku pernah
disangka sebagai jenazah alias Camat tersebut.
Satu saat, kejadiannya di
RSCM, awal 1990, aku sedang mengandung 7 bulan anak ke-4. Ya, jika ada dan
terlahir dengan selamat, aku memang pernah mengandung sebanyak lima kali. Dua
adiknya Haekal, artinya anak ke-2 dan ke-3
mengalami keguguran karena kondisiku sangat lemah.
Dua kali kehamilan itu
baru berusia 8 mingguan. Kemudian
adiknya Butet, yakni anak ke-5 setelah usia 6 bulan pun mengalami keguguran.
Ini akibat kecelakaan, perutku membentur jok mobil Kowanbisata yang dikebut
ugal-ugalan.
"Eeh, ini masih hidup, yaaaak?" seru Profesor.
Setiap kali hamil, sebagai
pasien kelainan darah bawaan, aku diharuskan ditransfusi secara berkala lebih
sering dari biasanya. Hampir tiap pekan harus ditransfusi demi menjaga takaran
darah pada kisaran 10.
Hari itu, setelah dicek
darah di Poliklinik Haematologi, dinyatakan HB (takaran darah) hanya 6. Harus
ditransfusi, tidak boleh menunggu lagi, terpaksa pilihannya hanya di UGD. Suasana
UGD seperti biasa crowded, rusuh
bukan main, apalagi saat itu masih disatukan antara pasien penyakit dadakan
dengan pasien kecelakaan lalu-lintas.
Darah yang sebelumnya
telah kupesan ke PMI Pusat di Kramat Raya, dijanjikan baru datang dalam enam
jam kemudian. Jadi, karena tak punya sanak-saudara, kuupah seorang cleaning service untuk mengambilnya.
“Ibu tunggu di sini, ya,
tenang saja, nanti saya ambilkan,” janji si abang cleaning service.
Aku mengangguk, tapi
bagaimana mau tenang, coba? Di sekitarku semakin hiruk-pikuk saja. Ada banyak
korban keracunan biskuit yang berdatangan dari pelosok Jakarta. Mulai dari
suara muntah-muntah hebat, melolong-lolong kesakitan, sampai tindakan cuci
perut yang mengeluarkan bau busuk ke pelosok ruangan.
Karena di ruang dalam
sudah penuh, maka aku pun ditaruh di selasar alias lorongnya saja, di antara
pasien lainnya yang belum tertangani. Brankar kami dideretkan, tepatnya
diantrikan tepat di depan kamar-kamar yang telah penuh pasien gawat tersebut.
Di depanku brankar berisikan
seorang tunawisma, menurut suster sudah
ada di situ sejak tiga hari yang lalu, dibawa oleh seorang polisi. Entah apa
penyakitnya, dan entah bagaimana pula penanganannya, pokoknya begitu aku tiba
di situ kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri dia bersuara; cekleuk alias gameover!
Kucermati keadaan jenazah
tunawisma, kubayangkan polisi menemukannya di pinggir jalan dan sudah dalam
kondisi parah. Bisa ditebak, tidak akan pernah ada yang menanganinya karena tak
ada keluarga yang siap menjamin. Jadi, ya, dibiarkan saja selain diberi infusan
alakadarnya, sampai tiba waktunya dipanggil Sang Pencipta.
Lalat-lalat hijau agaknya
sudah menyukainya sejak awal, tampak kian banyak berseliweran di sekitar mayat
itu. Sebagian bahkan melayang-layang ke arahku, menclok sana-sini. Bingung dan
kesal juga dikerumuni lalat hijau, jadi kurungkupkan mukena yang selalu kubawa
ke mana pun aku pergi, menutupi sekujur tubuhku.
Ndilalah, malah langsung tidur pulas!
Ketika mendusin, aku
merasa brankar bergerak alias dijalankan oleh orang, masak iya sih jalan
sendiri kan? Jujur saja, otakku belum konek bin bête, jadi kubiarkan saja air
mengalir (ciee!), istilahnya ngartis
banget!
Kudengar ada yang
bercakap-cakap sbb; “Ini kasihan amat, ya, lagi hamil gak ada suaminya, eh,
malah meot!”
“Hmm, perasaan tadi siang
masih kulihat dia ke kamar mandi, ambil wudu, katanya.”
“Ya, namanya juga umur,
gak ada yang tahu….”
Kali ini otakku mulai
konek, sepenuhnya sadar, mereka telah mengira aku mati agaknya. Serentak
kukuakkan mukena yang menutup wajahku, dan berkata lantang: ”Woi, aku belum
meot, tauuuk!”
Alih-alih menghentikan
gerakannya, dua perawat laki-laki muda itu malah serentak balik kanan, dan ngacir!
Beberapa saat aku celingukan duduk di atas brankar, baru
kusadari ternyata aku telah berada tak jauh dari kamar jenazah. Untunglah tidak terlalu lama menanti, kedua
perawat muda itu kembali berlarian menghampiriku. Keduanya berebut mengambil
tanganku, berebut pula menciuminya dengan takzim dan ketakutan. Mereka menyatakan perasaan bersalahnya di bawah tatapanku yang melongo saja, geli-geli bagaimanalah begitu. Hadoooh!
“Duh, maafkan, ya Bu, kami
salah ambil rupanya….”
“Iya, seharusnya brankar
satunya lagi….”
“Mohon jangan dikasih tahu
siapapun, ya Bu, pliiiissss….”
@@@
Hahahahahaha........ perawat kurang ajar bun, hajar aja bun.....
BalasHapusLOL :-D
BalasHapushehehe.... ya Allah bunda...,pelanggaran bangeet tuh perawatnya
Bunda Pipiet, saya terharu dan sangat terinspirasi dengan ibu setelah tayangan video profil ibu di link ini ---> TONTON PROFIL PIPIET SENJA
BalasHapussedih, haru dan lucu bercampur jadi satu..Tuna wisma yg terabaikan, berapa banyak yg sperti itu?menyedihkan. ketegaran dan karya bu pipit, menginspirasi. kelakukan perawat bikin geli
BalasHapusPosting Komentar