Bada shalat subuh di sepenggal
pagi Ahad bulan Rajab.
Langkah sudah kuayun dari rumah
kecil di rumpun bambu kampung Cikumpa. Harus mencari sarapan untuk orang
serumah. Tak ada uang sepeser pun di tangan. Biarlah, nekad saja menebalkan
muka cari pinjaman kepada Farah. Salah satu sohib terbaik yang pernah kumiliki
dalam dua tahun terakhir.
Di pengajian, beberapa kali dia
pernah bilang;”Kalau ada apa-apa, jangan sungkan ke rumahku, ya Teh Ais…”
Oke, sekaranglah saatnya yang tepat,
pikirku sambil gegas menembus kegelapan kebun bambu, menyibak sekumpulan
kuburan kuno yang tak terawat, menyeberang lapangan milik proyek perumahan real-estate Mutiara.
Dulu pernah dikabarkan, pemilik real-estate yang masih kroni Cendana itu
akan membebaskan tanah-tanah di sekitarnya. Begitu krismon, rencana
pengembangan rumah mewah pun mandeg. Jadilah sebagian tanah yang sempat
dibebaskan telantar begitu saja.
Anak-anak kampung Cikumpa yang
diuntungkan. Lapangannya mereka manfaatkan untuk main bola, dangdutan, pesta
tujuhbelas, layar tancap bahkan baku hantam antar warga.
Sempat juga terlintas di
kepalaku, seandainya mereka mau membeli tigaratus meter persegi beserta rumah
mungil di atasnya. Hmm, tentu masih ada lebihnya untuk pergi ke Tanah Suci,
selain beli rumah baru nun lebih masuk ke pinggiran kawasan Cileungsi.
Kuperbaiki
letak jilbab kaos lebar yang tersambar begitu saja dari kapstok. Baru kusadari
gamis yang kukenakan masih yang kemarin, dan alas kakiku hanya sepasang sandal
jepit murahan, tanpa kaos kaki.
Allah… Ada kesah yang hampir
menyesak dalam dada. Ujian-Mu kali ini, Ya Robb. Memang hanya masalah belitan
keuangan yang tambal sulam. Bukan ujian sakit sebagaimana biasanya yang mendera
keseharianku. Namun, terasa cukup merepotkan juga. Selalu kumohonkan dalam tiap
sujudku, agar ini taklah menjadikan diriku kufur nikmat.
Sudah enam bulan berlalu, hidup
serasa sendirian, tanpa pengayom yang biasa mencukupi nafkah. Rasanya
pontang-panting, sibuk menulis, mengedit, menawarkannya ke redaksi-redaksi
majalah dan penerbitan. Tentu saja bukannya tak membuahkan hasil. Bahkan
kurasakan betul dalam segala keterbatasan ini, pintu rezeki-Nya selalu terbuka
bagiku.
Ternyata kalau dikalkulasikan
antara pendapatan dengan pengeluaran sungguh tidak seimbang. Kebutuhan belanja
sehari-hari, ongkos sekolah anak-anak, uang les si Butet, uang kuliah kakaknya.
Belum untuk biaya berobat rutin, meskipun keharusan ditransfusiku coba
ditunda-tunda sedemikian rupa.
Sedang kocar-kacir urusan
keuangan begitu, muncul pula himbauan dari kampung. Berkata adik bungsuku,
Masruroh; “Teh Ais, kumohon jangan diam saja dong. Inii soal biaya pengobatan Emak kita…” Terdengar ngilu di
telepon.
Siapa bilang tak mau merawat ibunya gering? Kalau mampu kepingin
saja menerbangkan Emak tercinta ke Medical Central di Singapura. Sreseeet, sreeet tuh jantung Emak
dioperasi by-pass. Biar tak kumat-kumat lagi selamanya, ya?
Tapi, apalah daya? Jangankan
untuk perawatan semewah itu, buat ikutan gotong royong mengobatinya di RS.
Dustira saja pakupek, euy!1
Kepala mendadak serasa nyut-nyutan. Kenapa mesti dibebankan
semuanya di atas bahu-bahu ini, ya? Mending kalau wanita karir, punya
penghasilan tetap. Ini kan cuma penulis free-lance.
Berapalah penghasilan seorang
penulis di Indonesia? Buktinya puluhan tahun sudah malang melintang di dunia
kangouw, eeeh, kepenulisan begitu. Kok
nggak kaya-kaya, ya? Jangankan beli mobil, lha wong sepeda ontel saja, henteu
gaduh2, Neng!
“Kok nggak punya perhitungan!” sulungku tak urung menggugat ayahnya.
“Iya tuh gimana sih si Papa?” adiknya nimbrung. Tampang ABG-nya ditekuk,
melas.
“Demi bikin rumah kontrakan,
harus mengorbankan kebutuhan sehari-hari?” kata si Abang lagi.
“Iya, makanan kita jadi
morat-marit,” tukas adiknya terdengar sengak.
“Begini urusannya sih, bisa-bisa pas kontrakannya rampung kita semua keburu busung lapaaarrr!” omel mahasiswa semester tiga itu makin merepet, dan menimbulkan kebat-kebit di hatiku.
"Iya, ya, hiksss…” Butet
seketika mengisak. "Masa makanan kita ini cuma supermi lagi, kerupuk lagi,
kecap lagi…”
“Mana nasinya beras taskin lagi, ya Tet?” abangnya terus
mengompori.
“Eh, bener juga. Mamaaa! Nasinya kok
banyak batunya nih… hueekk!”
“Iiiih, melarat, sengsaranya kok dibikin sendiri sih? Demi masa depan, demi masa depan… Gimana mo raih masa depan kalo
hari ini nggak diberesin?”
Ugh, mentang-mentang mantan ketua
MPK di SMU-nya tuh anak!
Apa yang punya lakonnya marah
digugat begitu? Iiih, mesem-mesem
kalem saja tuh. Paling buru-buru
menyingkir. Menutup diri di kamarnya. Bukannya mikir, ya?
Aku sendiri lebih suka bungkam,
duduk di belakang mesin ketik butut si Denok. Muter mereka-reka cerita apa yang bisa menghasilkan duit kali ini.
Hanya kalau dibawa lapar, digendangi lagu keroncong perut, kok rasanya mendadak kosong nih
otak. Segala ilham, ide dan apapun namanya itu, phuuussss!
Terbang bersama awan digondol si jurig3
lapar.
Semalam Butet senggukan tapi
tidur juga akhirnya. Lelah, lapar dan sedih. Dia nggak kebagian nasi barang sekepal pun. Aneh memang yang jadi
bapaknya itu. Segitu lauknya cuma
sayur daun singkong boleh metik dari kebun orang, kerupuk dan kecap.
Hiiih, kayaknya nikmat aja tuh. Sampe lupa anak bini, asal kenyang
sendiri ‘kali, ya?
Kalau sudah begitu, apa yang bisa
kulakukan selain tersungkur di atas sejadah usang. Menumpahkan segala sesak di
dada, memohon kemurahan-Nya. Agar Dia selalu memberi kami kekuatan, tak jemu
membukakan pintu-pintu rezeki-Nya.
Tiba di
jalan raya tekadku kian bulat. Ya, semoga saja Farah mau diajak deal. Deueu, tibang niat gadaikan
naskah novel juga. Kuraba saku gamis, disket novelnya masih aman di situ. Celingak-celinguk sebentar, masih senyap
dan lengang selain satu-dua angkot. Langkahku terus memintas jalan raya, gapai
pintu gerbang perumahan Griya Mutiara.
Ups… ternyata di kawasan
perumahan mewah suasananya telah hangat. Denyut kehidupan sudah terasa sejak
ambang gerbang griya. Para pedagang sayur mirip pasar kaget. Dirubungi para
pembeli.
Seketika
ada yang meremas perih dalam dada. Sudah hampir dua bulan aku tak mampu lagi
belanja secara normal. Begitu saja, beli makanan alakadarnya di warung dekat
rumah. Seperti supermi, kecap, krupuk dan sekali-sekali telur yang terpaksa
mesti kucecah-cecah, biar awet.
Langkah lebih kupercepat, supaya
jangan kelamaan memperhatikan orang yang sibuk belanja. Tiba di seberang
lapangan tenis, eh, masha Allah! Di sini pun sudah banyak orang. Mulai dari
bocah ingusan, anak baru gede, gadis, bujang sampai nenek-nenek dan
kakek-kakek. Macam-macam kostum yang mereka kenakan. Oh, senam bugar rupanya!
Musik pocho-pocho digembreng habis. Bisa bikin kotoran kuping
berloncatan. Euleuh-euleuh, itu orang
kontan deh sibuk geal-geol berpocho-ria.
Mari malenggang patah-patah. Mari malenggang patah-patah…
Beberapa
jenak aku malah berdiri tertegun-tegun di seberang lapangan tenis. Sedetik
terbersit di otakku, betapa menyenangkan jadi orang kaya. Begitu melek langsung disambut sukacita,
dilumuri musik hingar-bingar. Tak perlu memikirkan kebutuhan sehari-hari. Mau
makan tinggal makan, mau belanja tinggal belanja. Buru-buru bibirku mengucap
istigfar. Tapi kepala ini kok rasanya
makin berdenyara-denyar.
Sampailah di depan rumah Farah.
Sebuah rumah megah, tiang-tiang gaya Spanyol dengan balkon indah, kolam hias.
Dan air terjun buatan yang memperdengarkan bunyi gemericik nan merdu. Airnya tentu hasil bendungan pihak
pengembang. Dulu sebelum ada griya-griya di sekitar Cikumpa, air sungai di
belakang rumahku mengalir deras. Sulungku suka berkecipak-kecibung bersama
teman kecilnya. Aku pun kadang mencuci baju di situ bila musim kemarau
menyusutkan air pompa di rumah.
Kini tidak ada sungai mengalir
lagi. Karena Haji Tobe, tuan tanah di kampung Cikumpa, memutuskan melepas
seluruh sawah dan kebunnya ke pihak pengembang. Mereka membelokkan arus sungainya,
lalu memanfaatkannya demi keindahan kawasan real-estate.
Perlahan tanganku terulur dan
memijit bel di pinggir pintu gerbang.
"Assalamualaikuuuum…" bunyinya bernuansa Islami.
Farah
seorang muslimah diberkahi banyak prestasi, komisaris sebuah penerbitan Islam
di Jakarta. Begitu banyak aktivitasnya, pendidikannya S3, lulusan mancanegara.
Dalam usia belum tigapuluh itu, entah berapa banyak penghargaan yang pernah
diraihnya dalam bidang kepenulisan. Suaminya keturunan Pakistan yang saleh,
sukses dalam bidang entertainment.
Farah
prototipe muslimah sukses masa kini. Dia juga bendahara sebuah parpol, tak perlu disebutkan namanya. Nanti
dituding kampanye. Seorang gadis muda muncul dari samping. Mungkin salah
seorang pengasuh anaknya, kalau dilihat dari bajunya yang mirip perawat. Dia
menyambut ramah dan santun begitu kuperkenalkan diri.
"Oh,
Ibu Aisha dari Cikumpa itu, ya? Bu Farah suka cerita Bu Aisha, lho. Ibu kan pengarang terkenal itu, ya? Wah,
subhanallah!” pendar kagum membias dari sepasang bening matanya.
"Ah,
Bu Farah mah suka menyanjung,” kataku
tersipu. Iya lagi, siapa coba yang suka dibilang terkenal? Kalau kenyataannya
begini sengsaranya. Bahkan datang ke situ pun untuk minta bantuan nyonya rumah.
"Saya ini pengagum Bu Aisha,
lho…"
"Begitu, ya, terima kasih atuh,” rasanya semakin jengah. Kutahu di
rumah ini ada tiga anak kecil. Menurut Farah, masing-masing ada pengasuhnya.
Sekilas kulihat ada pula Mang Kebon asyik menyirami taman. Tentu ada sopirnya
untuk tiga mobilnya. Mungkin ada juga Bu Cuci, Bu Masaknya? Jadi, di rumah saja
pegawainya ada sembilan orang, begitu?
Ups, kok jadi ceriwis ngitungin
keberuntungan orang nih?
"Apa tadi Bu Aisha nggak ketemu Ibu di depan sana? Ibu kan
lagi ikutan senam jantung sama Bapak…"
“Pasangan semuda itu?”
“Cuma menyemangati warga aja kok, Bu.”
"Oh,
kira-kira kapan pulangnya, ya Mbak?”
"Biasanya
sih langsung bawa anak-anak renang di
Pesona. Yaah, sekitar pukul tujuhanlah. Gimana,
apa mau tunggu di sini?” Aku lebih memilih pamitan saja. Masa sih mesti nungguin selama dua jam?
Anak-anak nanti keburu ngeh ibu mereka raib dari sudut ruang kerjanya.
Meskipun hari libur, perut tetap nggak bisa
dikompromi kan? Lapar berbaur dengan
cemas, ibu raib entah ke mana. Kalau ada ibu ‘kali aja perut, tetap kelaperan, ya?
Kutitipkan saja disket novel dan
pesan singkat. Agak siang aku akan balik ke situ.
Baru saja keluar dari rumah
Farah, berpikir ke mana lagi langkah ini dituju untuk cari pinjaman.
Sekonyong-konyong dari seberang ada yang berseru-seru, melambaikan tangan ke
arahku. Penasaran langkah kutujukan ke arahnya. Seorang perempuan sebaya Emak
menyambutku hangat.
"Salah
masuk, ya Mpok? Sini rumah yang iniii!" katanya dalam nada sukacita.
“Eee…”
aku gamang. Tapi keramahan, sukacita dan penerimaan yang tak kusangka membuang
gamangku. Apalagi tanganku sudah berada dalam gandengannya, separuh diseret dia
menghelaku masuk.
Sebuah
rumah yang tak kalah megahnya dari rumah sohibku.
"Sudah
ditunggu-tunggu dari tadi… Mbak Mila pesen,
biar langsung kerja aja hari ini. Nggak apa-apa kerja harian juga, ya
Mpok. Enakan juga gitu. Lihat deh di belakang, udah numpuk banget tuh cuciannya. Bibi Cuci yang dulu, nggak bilang-bilang berhentinya. Jadi
aja kita di sini kerepotan…"
Entah
apalagi yang dicelotehkannya. Intinya yang kurekam di otakku. Putrinya semata
wayang berakhir pekan ke Anyer bersama suami dan anak-anak. Sudah tiga hari
Bibi Cuci berhenti mendadak. Meskipun banyak omong, tapi dia lebih mirip orang
yang terdesak curah hati.
Di bagian belakang rumah, tiga
jolang besar cucian sudah menantiku.
“Nah,
tolong, ya Mpok, tolooong…” katanya melas.”Nanti saya bikinkan kopi susu yang
enak buat Mpok, ya,” bujuknya pula sebelum berlalu.
Hmm,
baiklah, apa susahnya, jadi Bibi Cuci dadakan. Sekejap ingat akan cucian di rumah.
Kalau libur begini, biasanya dikerjakan oleh Butet. Syukurlah, di sini pakai
mesin cuci berikut pengeringnya. Tak sampai satu jam aku sudah berhasil
merampungkan tugas unik ini.
Seumur
hidup rasanya baru kali inilah ada orang mengiraku tukang cuci. Hmm, nikmat-Mu
jua. Nggak apa-apa, kan selain
penulis pangkatku juga sejibun; tukang cuci, tukang masak, tukang pijit, tukang
macam-macamlah di rumah!
“Waaah, cepet
amat kerjanya,” majikan dadakanku dalam nada puas.
“Saya akan menjemurnya di atas,
ya Bu.”
“Ya, ya, terus saja ke atas
sana,” dia mempersilakanku mengangkut cucian ke loteng, suatu tempat khusus
buat menjemur.
Sepanjang aku bekerja, sang
majikan itu hampir tak pernah jauh dariku. Terus menguntit dan mengajakku
ngobrol. Lebih tepatnya dia sendirian yang celoteh. Benar, dia memang butuh
teman untuk menampung segala uneg-uneg
hatinya. Rasa iba menyingkirkan gamang di hatiku. Kasihan, sudah sepuh kok ditinggalkan seorang diri di rumah
semegah dan seluas begini. Dengan segala urusan tetek bengeknya pula.
Terbawa
suasana hati iba dan kasih kepada Bu Sepuh, puyeng di kepalaku perlahan sirna
saat turun dari loteng. Bu Sepuh sudah menyiapkan sarapan yang dibilang “jamuan
khusus” untukku.
Secangkir
kopi enak campur krimer dan sepotong bakeri lezat, sekejap sudah pindah ke
perutku yang sejak kemarin dibawa shaum Rajab.
“Nah, ini ada duapuluh ribu, ya
Mpok,” katanya ketika akan melepas kepergianku di teras.
“Eh, ya, terima kasih,” aku
terkesiap.
“Sudah ditambah sama saya.
Besok-besok jangan nyasar lagi, ya Mpok. Langsung ke sini aja!" katanya
sambil menyelipkan upah ke telapak tanganku.
“Ya, insya Allah,” gumamku datar.
Entah bagaimana suasana hatiku saat
ini. Ada haru, ada sendu, ada juga pilu. Semua berbaur membentuk keasingan
dalam sepenggal pagiku.
Begitu keluar dari pintu gerbang,
sejenak membetulkan jilbab kaosku yang terasa lembab dan basah. Suara yang tak
asing lagi berseru-seru dari rumah Farah. Nah, itu dia sohibku tersayang!
“Teteh
Aisha! Teteeeh… Masha Allah, kok nunggu
di situ sih?”
Khawatir
menimbulkan heboh dan dipergoki Bu Sepuh, aku buru-buru menyeberang ke arah
wanita cantik itu. Ups, selamat dan mujur sang majikan itu nggak kelihatan lagi batang hidungnya.
“Ngapain aja di rumah Mbak Mila, Teh
Ais?” tanya Farah menyelidik.
"Eh,
tahu tuh kok disuruh nyuci gitu aja,” sahutku ketawa lugas.
"Masha
Allah, si Mbah Nia itu kok…” Farah
berseru kaget.
“Psst,
biarlah, dikasih upah kok. Lihat nih
apa!”
Sekalian saja kuimingkan selembar
duapuluh ribuan baru di depan hidungnya. Farah tertawa haru sambil merangkulku
masuk ke rumah. Katanya, Bu Sepuh sudah sering melakukan salah kaprah begitu.
Barangkali memang sengaja melakukannya. Saking kepingin punya teman curah hati. Lagipula orang kaya kan suka
nyentrik kelakuannya, ya?
Tanpa
harus kuungkap kesulitanku pun Farah sudah memaklumi kemunculanku yang mendadak
di rumahnya. Ia menyodorkan sebuah amplop tebal yang kelihatannya sudah
disiapkan untukku.
“Ini lho, Teh Ais, de-pe novel Kidung Kembara tempohari. Sudah siap naik cetak tuh. Biar saya tambahkan saja sekalian
untuk de-pe novel baru ini, ya Teh
Ais… Saya sudah lama lho tunggu Teh
Ais muncul di kantor. Kok nggak
pernah telepon?”
“Yaah,
teleponnya juga sudah lama diblokir.” .
“Afwan,
ya, saya belum tausyiah ke rumah Teteh…”
"Saya yang minta maaf, jam
segini sudah merepotkan.”
“Jangan begitu, kan sudah sering
saya bilang. Rumah ini welcome untuk
Teteh. Sok atuh dihitung dulu, eh,
mana minumannya, Mbaaak…”
Aku
buru-buru bangkit. ”Alhamdulillah, sudah terima kasih, Dinda Farah. Nggak usah bikin minuman segala. Baru
dijamu oleh majikanku tadi, hehe…”
Namun, Farah memaksaku untuk
diantarkan oleh sopir dengan sedannya.
Ya Robb, terima kasih, bibirku
terus menerus berkerumut mengucap puji syukur. Allah tak pernah meninggalkan
hamba-Nya yang daif ini. Tanpa terasa ada butir-butir bening berderai dari
sudut-sudut mataku.
Tepat
pukul delapan aku sudah kembali ke rumah dengan banyak bawaan. Kulihat dari
lapangan sosok putriku baru selesai menjemur cucian. Dia segera berlari menyongsongku
begitu kupanggil namanya.
“Abaaang, Abaaang! Mama pulang
niiih!” serunya heboh.
Diambilnya sebagian kantong
bawaanku dengan wajah sumringah. Sebentar kemudian dia berlari ke belakang, mengambilkan
minuman untukku. Beuh, segitu sibuknya nih anak.
"Ini
teh hangatnya. Tapi belum diberi gula. Mama bawa gulanya, ya? Sok atuh, Butet gulain dulu, ya,” katanya agak terengah-engah, tapi pendar sukacita
di bening matanya bisa kurasakan.
“Abaaang!
Mama bawa bakeri kesukaan kita nih, Baaang!” kembali dia berteriak manakala
belum ada reaksi dari kakaknya. Tentu saja sulungku lagi berkutat menyelesaikan
program komputernya. Dia kerja bareng teman-temannya di teknik informatika. .
“Mama
dari mana saja sepagian begini?” tanyanya sambil menatapku dengan sorot cemas.
“Iya,
Mama kok nggak bilang-bilang mau
pergi. Butet udah bersih-bersih, cuci
piring, cuci baju,” adiknya terdengar menahan haru. Tali batin ibu-anak memang
akan selalu saling mengait.
“Nggak jauh-jauh kok, ke rumah Mbak Farah,” kuusap jilbabnya yang miring kanan kiri
itu.
“Jadi
menggadaikan novel Mama yang baru itu, ya? Nggak
malu, Ma?”
“Pssst,
Baaang!” Butet mendelik. “Sudahlah, sekarang yang penting kita bisa makan
besar, siiippp!”
“Huuu… dasar anak kecil!” sembur
kakaknya, menjawil pipinya.
Tanpa
banyak bicara lagi, kutatap sepasang mutiaraku yang sedang menikmati bakeri.
Makanan semewah begini merupakan barang langka di sini. Sekilas kulihat kamar depan,
terkunci rapat dari dalam. Apa belum muncul sejak subuh?
Seperti bisa menebak arah
pikiranku, Butet tiba-tiba berteriak nyaring.
"Papaaa
mau makanan nggaaak?"
“Pssst…
Sama orang tua kok gitu!” tegurku.
“Abiiis, nggak pedulian amat sih,” gumamnya lirih.
Sedetik
kemudian kepala itu muncul dari celah pintu. Detik berikutnya langkahnya yang
panjang mendekat. Begitu matanya melihat banyak penganan, sekilas kulihat mimik
wajahnya segera ditekuk. Meskipun tangannya mulai menyentuh bakeri, sepasang
matanya yang tajam mengarah kepadaku.
“Kamu
ambil juga uang saya di bawah tumpukan baju itu, ya? Tahu nggak, itu kan buat bayar
tukang sore nanti. Asalnya tiga juta, tadi kuhitung sudah kurang seratus ribu.
Kamu ini kok…”
Semburan
kata demi kata yang menikam tajam itu bagai mengguncang bom simpanan di hatiku.
Kepala yang sempat ringan seketika mendadak berat kembali. Sebelum segalanya
menjadi berantakan, kuraih cepat benteng cahaya itu. Melalui dua pasang segara
nan teduh yang senantiasa menjanjikan kasih tak terbatas, kekuatan tak terhingga.
Selamanya. Anak-anakku. (Depok, Rajab 1423 Hijriyah)
@@@
Bapak keparat!
BalasHapusKak...saya penggemar cerpen dan Pipiet senja. Saya suka nulis.ada groupnya Ndak untuk sesama pembelajar
BalasHapusPosting Komentar