Malaikat Kecil di Gerbang Firdaus
Sarah Hafidz
Mataku semakin berkunang. Entah tersebab tangisku sejak
kemarin pagi, atau karena terlalu mabuk. Sebulan terakhir ini,aku juga merasakan kondisi kesehatan semakin menurun.
Batukku pun tak kunjung sembuh. Sering pula kesulitan tidur karena tak nyaman
dengan badanku yang basah berkeringat. Terhuyung aku melangkahkan kaki menuju
ujung lorong. Sebentar lagi, aku pasti sampai di tempat itu. Membebaskan diri
dari bau alkohol yang semakin memuakkan. Ah, seluruh badanku pun penuh aroma
minuman haram itu. Haram? Apalah makna kata itu untukku? Setelah kujalani
kehidupan yang hitam ini.
Sesampai di pintu belakang, seperti biasa aku duduk di
tangga. Tak ada yang indah di sana. Kecuali gang kecil yang sepi. Di sana
terjajar beberapa tong sampah. Juga beberapa pot bunga bugenvil yang layu. Aku
selalu lupa menyiramnya. Begitupun temanku yang lain. Bunga itu hanya menunggu
hujan yang sesekali datang di musim panas ini. Barangkali hingga akhir tahun
nanti akan tampak lebih segar, mungkin pula berbunga di musim semi.
Sekilas aku lihat sosok bocah dekil. Tangannya mengais sesuatu dari tong paling ujung. Aku
mengucek mata tak yakin. Apakah itu anakku? Ah, tentu saja bukan. Anakku lebih
dewasa darinya, tentu lebih rapi, pun bersih. Perlahan kulambaikan tangan. Dan
bocah kurus yang tak pernah kulihat sebelumnya itu segera berlari. Mungkin
ketakutan, atau jijik dengan aroma alkohol di badanku.
Aih, bukankah tong sampah itu juga lebih tak sedap
baunya. Tapi aku menikmatinya. Sesekali, kalimat Alif dalam percakapan kemarin
pagi terngiang di pendengaranku.
"Kumohon pulanglah sebentar dampingi Alif, Bu! Embah
juga sering sakit-sakitan. Kami semua menunggu Ibu pulang."
"Bukankah ada Ayah pula yang nemenin. Alif harus
tahu, Ibu di sini berjuang untuk Alif."
"Iya, Bu. Tapi apa sedikitpun, Ibu tak kangen Alif?
kenapa kontrak kerja Ibu kali ini begitu lama?" Pertanyaan itu membuatku
pening.
Masih terdengar isakannya yang tertahan. Bayi merah yang
kutinggal duabelas tahun lalu sudah berani minta dikhitankan. Dan aku tak bisa
mendampinginya. Selama tiga periode kutinggalkan, dan hanya dua kali cuti
barang seminggu atau sepuluh hari saja. Rasa sakit hati tersebab mertuaku yang
selalu memanas-manasi telingaku.
"Di luar negri enak kan? Gajinya gede. Nanti kamu
harus berhasil. Lihat tetangga pada punya rumah tingkat, punya mobil. Kita akan
malu kalau nggak bisa seperti mereka."
Suamiku hanya diam. Kulirik Alif yang saat itu berusia
hampir tujuh tahun. Dan belum mengenalku sebagai ibunya. Dia selalu melekat di
pangkuan ayahnya, sesekali ke pelukan mertuaku. Aku tak bisa berontak. Meski
selama kerja di luar negeri uangku kemana? Aku hanya mengelus dada. Demi Alif,
anakku.
"Kamu gila, Kinasih?" suamiku terperanjat.
Matanya hendak menelanku bulat-bulat. Aku gemetaran. Antara menahan sesak di
dada dan tangis yang hampir meruah.
"Ini demi masa depan kita, Mas. Apa Mas kira aku mau
selamanya jadi babu? Aku juga capek. Ingin sesegera mungkin menjaga Alif.
Sedangkan uang hasil kerjaku habis buat modal Ibu tanpa hasil. Apa Mas mau,
selamanya kita berpisah?" Sesenggukan aku mulai berontak.
Suamiku memilih diam. Begitupun aku tak berani bersuara
lagi. Dia imamku yang sangat patuh
terhadap ibunya. Dan pewaris lelaki tunggal keluarganya. Hanya sesekali suara
isak tangis kami kemudian bersahut. Namun naluriku bersikeras untuk menerima
tawaran kerja ilegal sebagai pemetik buah dengan gaji menggiurkan. Tentu aku
ingin meraup uang lebih banyak dibandingkan pekerjaan rumah tangga atau merawat
lansia. Dan itulah kali terakhir aku bicara dengan suamiku, meminta restunya
sebelum meninggalkan rumah. Setelahnya, aku hanya mengirimkan pesan. Atau
bicara dengan anakku saja.
Sebenarnya aku tak menyangka bahwa pekerjaan yang
ditawarkan oleh Lim, sopir taxi itu adalah menjadi kupu-kupu malam. Dia
menjanjikan gaji dua kali lipat. Tidak menyolok layaknya di Gang Doly memang,
tapi itulah pekerjaanku. Setiap malam melayani pria-pria hidung belang. Mereka
yang sekedar ingin minum-minum atau bahkan mengajakku ke ranjang.
Selama kurang lebih enam tahun ini, aku selalu
berpindah-pindah tempat. Dari kota satu ke lainnya. Tapi di bawah naungan Lim,
aku selalu terlindungi. Bagaimana pun uang hasil kerja malamku lebih dari cukup
untuk mengirimi setiap permintaan mertuaku.
Meski sempoyongan, kupaksakan untuk berdiri dan
meninggalkan tangga itu. Dari dalam kuperhatikan bayangan bocah kurus itu
mengendap-endap. Di tangan mungilnya ada kumpulan plastik berisi aneka kotak
makanan. Astaga! kotak itu yang tadi sore kubuang. Masih kuingat apa yang
tersisa di dalamnya. Aku paling benci sushi(1)
Karena tak bisa mengkonsumsi seafood(2) mentah
yang selalu ada di antaranya. Kucomot sebagian saja, selebihnya aku masukkan
tong sampah. Dan sekarang berpindah ke tangan bocah dekil itu. Rupanya, dia
masih memilih-milih apa saja yang bisa
dimakan. Dan mungkin waktuku juga untuk kembali ke ruang pengap itu. Bergumul
dengan pria-pria yang hendak memberiku uang, harapan ataupun mimpi.
Pagi ini aku tak kan tidur seperti biasanya. Akan
kusempatkan sedikit waktuku untuk menyiram bunga bugenvil di gang kecil
belakang rumahku, sekaligus tempat kerjaku ini. Kembali aku mengucek mata. Kali
ini, sungguh lebih jelas sosok kurus bocah semalam. Tinggi badannya aku
perkirakan tak lebih dari empat kaki saja. Berbaju kumal, begitupun rambutnya
seperti terlalu lama tidak tercuci bersih. Ada sorot ketakutan saat melihatku.
Meski sudah kucoba tersenyum.
”Kamu sudah makan?" klise saja kutanyakan itu agar
tak mengganggunya.
"Ini pagi kedua aku mencari makan di sini. Kenapa
pagi hari selalu tak ada makanan?" jawaban polosnya seperti menghujam
jantungku.
"Tunggu sebentar yah!"
Aku tergopoh lari ke dapur. Kuambil apa saja sisa makanan dalam kulkas, laci. Karena aku dan teman-teman hanya hidup di malam hari dan
tidak pernah masak. Aktifitas kami berawal dari sore, hingga menjelang fajar.
Pantas saja dia tak mendapatkan sisa makanan di tong sampah sepagi ini. Dia hanya akan mendapat kotak sisa makanan kami pada
malam hari. Tentu sebelum mobil sampah mengangkutnya.
"Ini
semua masih bersih. Makanlah!"
Segera kusodorkan seplastik makanan padanya. Matanya berbinar, tangannya
memeriksa apa-apa di dalam plastik dariku.
"Ada coklat...."
Seketika dibuka kotak coklat itu dengan tangan kotornya
dan mencomot satu. Dengan penuh gairah segera dimasukkan ke mulutnya. Kemudian
mencomot satu lagi.
"A Yi, ini
untukmu," disodorkannya coklat itu hampir menyentuh bibirku. Seketika ada
trenyuh di hatiku. Apakah Alif akan melakukan hal yang sama suatu hari nanti?
Ah, mataku tiba-tiba berkaca. Tangan bocah itu masih tegak hendak menyuapiku
coklat.
"Titi saja
yang makan. A Yi tidak suka coklat. Makanya semua A Yi kasihkan
Titi," tolakku. Dengan segera
dia pun melahap coklat yang hampir lumer di jemarinya. Senyum sumringahnya
memperlihatkan gusinya yang bengkak. Aku yakin dia jarang menggosok gigi
sehingga bakteri merusak gusinya.
"Aku harus segera pulang. Mama sedang menungguku
menyuapinya sarapan. Jam segini pasti sudah lapar." Dia pun berlari
meninggalkanku yang masih bengong. Masih banyak pertanyaan yang belum sempat
kuungkapkan.
"A Yi..,
boleh aku main lagi nanti?" Pertanyaan itu membuatku terkesiap. Ternyata
dia balik lagi untuk meminta persetujuanku. Dan aku hanya mengangguk. Kemudian
dengan cepat dia pun lenyap di balik tembok gang kecil itu.
"Dulu, Mama sangat rajin bekerja. Uangnya selalu
dihabiskan Papa untuk berjudi. Tapi sejak sakit, Papa marah dan mengusirnya.
Hampir semua yang tahu penyakit aids(5) Mama
selalu mengusir. Baru tiga hari ini, kami pindah di kost-an sebelah."
Matanya berkaca-kaca. Jantungku berdegup kencang dan semakin ingin mendengar
ceritanya.
"Tapi A Yi janji
yah, jangan bilang yang lain. Kasihan Mamaku. Aku takut harus pindah lagi.
Takut semua orang tahu penyakit Mama." Aku mengangguk, batinku bergemuruh.
Bocah sekecil itu harus menanggung beban untuk memperjuangkan kehidupan
mamanya? Apakah dia akan mampu? Ah .., mungkin aku terlalu merindukan dan
merasa bersalah pada Alif sehingga terharu seperti ini. Tenggorokanku terasa sangat sakit menahan
tangis. Mungkin juga sariawan yang menyebar bebas di area tenggorokanku sejak
lama lalu.
"Apakah Mamamu sudah berobat?"
"Mama bilang, sakitnya tak bisa diobati. Lagipula
uang Mama hanya cukup untuk membayar rumah kost. Makanya Mama tak ada uang buat
kami makan."
Aku masih tak percaya. Pengidap aids tanpa berobat? Bagaimana mungkin kehidupan rakyat Taiwan bisa
sepedih itu. Apalagi bocah yang aku perkirakan sepuluh tahunan ini begitu
kuatnya. Tanpa jijik mengorek tong sampah bahkan mengkonsumsi sisa makanan
apapun yang ditemukannya. Bukankah negeri ini selalu memberi keringanan untuk
rakyatnya berobat dengan kartu asuransinya?Atau mamanya sudah tak mau berobat?
Dan begitu kejikah ayahnya? Aku tak berhenti berpikir.
"Papamu tak pernah datang?"
"Papa sudah tidak peduli keberadaan kami. Papa
bilang, penyakit Mama bisa menular. Papa
melarangku ikut Mama. Tapi aku tidak takut. Aku akan melindungi Mama," ucapannya
sangat antusias.
"Kamu tak ingin pulang?"
"Aku ingin bersama Mama." Dia menunduk. Tapi
wajah polos itu sepertinya tak mengkhawatirkan apapun yang akan terjadi. Sejak
saat itu, aku sering menawarkan diri untuk menjenguk mamanya. Tapi bocah itu
menolak.
Mama pasti akan marah."
Aku tak memaksanya untuk ke sana, bahkan sekedar tahu
rumah kontraknya. Yang bisa kulakukan
hanya menyiapkan jatah makanan lebih dari biasanya. Ada dua nyawa lagi yang
kelaparan menunggu uluran tanganku. Kadang, aku merasa seperti bidadari
penolong.
Beberapa malam ini, aku merasa makin malas meladeni
tamu-tamuku. Aku lebih sering terduduk di tangga seperti biasa. Menunggu bocah
yang belum sempat kutanyai namanya itu bicara denganku. Tapi dia tak kunjung
datang lagi.
"Kinasih! Lian mencarimu ..." Panggilan itu
mengejutkanku.
Claire mengisyaratkan untukku segera datang. Benar saja,
lelaki putih bermata sipit pelangganku itu sudah menunggu di kursi paling
pojok. Di bawah sinaran lampu yang selalu menyilaukan mata, di sana selalu ada
uang yang bisa aku kantongi.
Kepalaku terasa sangat pusing, saat kudengar gedoran
pintu besi belakang. Aku gemetaran, gugup dan entah apalagi. Ada rasa takut
bahwa itu polisi yang datang, mengetahui keberadaanku yang ilegal di negeri
formosa ini. Tapi suara bocah itu sangat kukenal dan membuatku sedikit tenang.
"A Yi .., A Yi ..." Aku segera menuruni
tangga, menuju lorong sempit itu.
Saat kubuka pintu, kulihat wajah bocah itu basah oleh
airmata. Aku menjadi gugup lagi dan tak tahu harus melakukan apa. Sontak
kupeluk tubuhnya yang gemetar, bibirku masih kelu tak bersuara.
"Mama tak mau bicara lagi. Badannya demam tinggi
beberapa hari lalu. Sekarang kejang-kejang dan aku takut, A Yi."
Itukah alasan bocah yang kutunggu ini tak datang beberapa
hari lalu? Tidak mau bicara? Mungkinkah dia? Tanganku gemetaran menelfon Lim.
Aku yakin dia tak buta hati. Berharap dia bisa lakukan sesuatu untuk bocah
malang ini.
Aku terduduk lemas. Kabar terakhir dari Lim, membuat
badanku panas dingin. Bocah dekil itu kembali ke keluarganya karena mamanya
harus diisolasi di rumah sakit khusus pengidap aids. Aku jadi sangat merindukannya. Celotehnya, perjuangannya,
semua tak sedikit pun kulupakan.
"A Yi,
pasti sangat menyayangi anak A Yi.
Kenapa tak diajak saja ke sini biar bisa main sama aku?" tanyanya suatu
pagi. Aku hanya tersenyum. Karena tak mungkin aku menjelaskan posisiku di
tempat ini.
"Jadi, A Yi harus
segera pulang. Biar seperti aku dan
Mama, tak pernah berpisah."
Ah, bocah kecil, itulah yang engkau harapkan. Dan
faktanya penyakit itu harus memisahkan kalian kan? Percakapan terakhir
dengannya seperti sebuah pesan untukku. Apalagi akhir-akhir ini aku semakin
sering kelelahan. Setiap sendi di tubuhku terasa sakit. Dan sering pula
mendadak demam tinggi. Apakah musibah yang terjadi pada bocah itu berdampak
buruk bagiku? Bocah yang kukenal tak lebih dari sebulan saja. Bahkan sampai
saat ini pun tak kutahu namanya.
"Kinasih, kamu terlihat sakit. Badanmu berubah kurus
sangat drastis. Kamu harus ke dokter!"
"Aku tidak sakit. Beri aku waktu untuk istirahat
beberapa hari saja, Lim."
"Tidak. Kamu harus ke dokter. Lihat dirimu! Aku tak
mau mengurusi orang sakit. Sekarang ganti baju! Aku antar ke sana."
Aku harus menurut. Karena aku paling jengkel mendengar
suara keras lelaki tambun itu. Belum lagi kebiasannya mengunyah sirih dengan
baunya yang menyengat. Aku semakin tak tahan dibuatnya.
"Untuk apa mengambil sampel darah, Dok? apa
sakitku?" perasaanku mendadak kacau balau.
"Harus menunggu empat hari lagi untuk tahu persis
hasil dari lab. Jadi kamu harus sabar." Aku seperti orang linglung. Dokter
menyarankanku untuk melakukan tes antibodi. Sejak sore itu, aku rehat total dan
dilarang melayani tamu di klub lantai dasar. Sesekali aku turun dan langsung
menyusuri lorong. Selalu pintu kecil itu yang menjadi tujuanku. Entah, aku
rasakan ada sesuatu yang hilang di sana.
Berhati-hati aku keluar dari kabin pesawat. Kutenteng tas
baju yang terasa lebih berat dari badanku. Karena sejak beberapa hari lalu, aku
tak selera makan. Kecuali beberapa butir obat ARV yang diberikan dokter Taiwan padaku. Dia berpesan padaku untuk
rutin mengkonsumsinya.
"Jumlah CD4 dalam tubuh normal umumnya 700 per µL.
Dan kamu memilikinya kurang dari 200 saja. Jadi kamu harus menjalani pengobatan
rutin. Kontinyu dengan terapi antivirus di negaramu!"
Sekarang aku merasa lebih sehat dan bahagia. Keputusan
akhirku untuk pulang dan setidaknya menghirup udara tanah airku. Tidak! Tentu
bukan itu saja. Aku ingin bertemu Alif, juga suamiku untuk meminta maaf.
Bagaimana mereka memaafkanku? Sedangkan aku masih tak ingin pulang. Bagaimana jika
mertuaku masih memintaku untuk kerja lagi keluar negeri? Sedangkan aku sudah
tak mungkin kembali bekerja sejauh itu.
Kuberanikan menekan tombol beberapa angka. Di seberang sana, seperti
biasa kudengar suara Alif.
"Benarkah Ibu sudah sampai Jakarta?" Dia sangat
terkejut. Aku seperti ingin
menghentikan waktu beberapa saat. Karena
aku tak tahu harus bicara apa.
"Bu! Besok Alif sama Ayah ke sana. Alamatnya di
mana, Bu?"
Aku masih bungkam. Perbincangan kami sangat kaku. Di
belakangnya, kudengar suara suamiku kegirangan. Tuhan, hukuman ini sangatlah
berat untuk kutanggung. Tapi aku masih berharap permaafan mereka, orang-orang
yang kucintai.
Usai sholat subuh dan berdoa, aku rebahan di ranjang.
Perasaan berdebar menunggu kedatangan Alif dan suamiku. Mereka berangkat dari
stasiun Blitar kemarin sore. Pagi ini, pasti mereka sampai jika tak terjebak
macet di ibukota. Ada rasa tak sabar. Ingin pula menyalahkan pemerintah dengan
program mobil murahnya. Karena dengan adanya program gila itu, akan semakin
memperpadat jalanan ibukota. Kenapa bukan perbaikan sarana transportasi massal?
Hatiku semakin berdetak tak karuan.
Kupandangi langit-langit kamar sambil menghitung hari.
Sejak virus itu memvonis usiaku, kucoba kuat dengan memulai lagi sholat lima
waktuku. Sekian tahun aku bahkan lupa caranya berdoa. Dan semakin kuhitung,
hanya kerdipan bintang yang bermain di bola mataku. Meski kupejamkan tetap saja
gemerlapan. Aku coba mengingat berapa uang yang sudah aku dapatkan selama lima
tahun ini? Berapa lelaki yang mengencaniku, tidur bersamaku? Aku kesulitan
mengingat nominalnya.
Rasa mulas membuatku sulit untuk konsentrasi. Tapi aku
takut untuk ke dokter lagi. Aku merasa pandangan mereka menghujamku setelah
melirik beberapa lembar kertas hasil tes yang aku sodorkan. Aku jadi ingat
kisah bocah dekil itu. Pasti mamanya merasa takut, malu, terkucil, sama
sepertiku saat ini.
Ah, biar saja aku bermalas-malasan di kamar kontrakku.
Dengan bolak-balik ke toilet saja sudah cukup lelah. Perlahan kukatupkan mata.
Ada bayangan bocah dekil itu mengajakku bermain
dengannya. Senyum itu masih sama, dengan memamerkan gusinya yang bengkak
berdarah. Pun suara gaduh dan tangis beberapa orang, entah sedang menghebohkan
apa. Hangat, kurasakan Alif memelukku sangat erat. Aku sangat bahagia melihat malaikat kecil itu
saling memperebutkan tanganku.
@@@
Posting Komentar