Malam ke-15, apartemen Frankie, musim dingin semakin membeku dengan suhu
udara di luar mulai ekstrim.
Tiga hari tiga malam Fatin dan si kecil benar-benar dikurung di kamar
yang tidak layak huni di lantai atas. Penerangan hanya mengandalkan cahaya dari
luar, tiang listrik yang menyala jika telah malam.
“Dingin, Ma, dingin, brrrrr!” gumam kecil akan terdengar setiap beberapa
saat.
“Sabar, ya Nak, kuat ya, tangguh, Cintaku….”
Hanya itu yang bisa diucapkannya seraya memeluk si kecil erat-erat. Jika
boleh jujur, sesungguhnya ini lebih sebagai upaya menyembunyikan rasa takutnya
sendiri. Menciumi harum badan anaknya, niscaya ada satu keajaiban cinta yang
menguar dari tubuh si kecil.
Saat-saat begini bagi Fatin merupakan satu-satunya cara dalam
mengumpulkan repihan semangat yang telah tercerai-berai. Maka, acapkali ia menyusupkan wajahnya dalam-dalam ke kepala
anaknya.
Adalah oercakapan begini, betapa sering dan tak terhitung lagi.
“Mama dongeng, ya Nak….:”
“Sudah dongeng dari tadi….”
“Hmm, lapar, ya Cintaku?”
“Tidak, Mama,” tolak si kecil bagai memahami jalan pikiran ibunya.
Perkataan ibunya hanyalah penghiburan.
Mama akan berpura-pura mencari makanan, berkeliling kamar, meyusuri
setiap ubin dari satu sudut ke sudut lainnya. Kadang samba menggendongnya,
tetapi kemudian lebih sering hanya mampu menuntunnya.
“Mama cari makanan dulu, ya….”
“Jangan, Ma, jangan. Nanti kita dipukul,” pintanya terdengar memelas
sekali.
Seraut wajah bocah yang mengambil garis keturunan perpaduan antara ibu dengan
ayahnya, campuran Sulawesi dan Sunda, tampan rupawan. Kini tampak kuyu dengan
sorot mata melembut, penuh dengan luka dan kepedihan yang dalam.
Fatin tak pernah mengira jika peristiwa ini kelak akan sangat
mempengaruhi kehidupan anaknya, membekaskan traumatis jiwa yang sangat dalam.
Hingga bertahun-tahun kemudian!
Fatin memeluknya lebih erat lagi, menciumi wajah rupawan dan tanpa sadar
air bening mengalir dari sudut-sudut matanya.
Ridho kecil menikmati kehangatan dekapan sang ibu.
Air matanya pun menitik.
Lihatlah, kini air mata ibu dan anak menyatu bak aliran sungai kecil
yang menebah laju, terus menuju hulu, menuju samudera luas.
Dhooor! Dhooor! Dhoooor!
Pintu digedor dari luar.
Fatin telah menguncinya dari dalam.
Ia tak peduli dengan rasa lapar, asalkan terhindar dari penganiayaan.
Biarlah, lapar masih bisa mereka tanggung.
Ada kulkas kecil di ruangan ini, beberapa kotak roti kering dan biskuit serta
keju masih layak makan. Ada juga sejumlah minuman dingin dan beralkohol, ini
sama sekali tak bisa dikonsumsi oleh Fatin dan anaknya.
Setelah tiga hari tiga malam makanan yang layak konsumsi itupun sudah licin
tandas. Sesekali Frankie meninggalkan makanan alakadarnya di depan pintu.
Makanan berupa sisa-sisa makanannya sendiri.
Sepertinya makanan anjing peliharaan tetangga jauh lebih bagus daripada
makanan sisa si jahanam.
“Makan ini, he, betina tak tahu diuntung!”
“Kalau tidak kamu yang berdosa, membiarkan anjing kecil itu mampus!”
Dada Fatin bergemuruh mendengar teriakan dari luar.
Rasanya ingin saja menghambur dan menikamkan pisau tajam yang selalu
dikantongi di saku roknya ini ke mulut si jahanam. Merobek-robek mulut busuk
yang dagingnya pantas dikerkah, lantas dibuang ke comberan!
Fatin mulai terbiasa untuk memasang kupingnya baik-baik. Sehingga ia
bisa membaca pola gerakan dan kebiasaan si jahanam. Dia menerawang lelaki itu
punya kebiasaan; bangun tengah hari, makan sambil nonton televise atau DVD
porno, sekitar pukul lima sudah keluart rumah. Pulang dinihari dalam keadaan
mabuk, sering juga membawa serta perempuan-perempuan binal.
Sekarang semakin sering pulang sebentar saja, agaknya sekadar ingin
meyakinkan dirinya bahwa tawanannya masih aman di apartemennya.
Penasaran, ya Sob?
Tunggu tanggal mannya dalam film layar lebar, insya Allah akan dibesur oleh sutradara terkenal Aditya Gumay. Mohon doanya, ya teman-teman yang disayang Allah Swt.
Mari Dukung Film Indonesia yang bermutu!
kasih sayang seorang ibu itu akan selalu dirindukan anaknya.
BalasHapusPosting Komentar