Update di Kuala Lumpur, 4 Oktober 2015
Mengenang haul kepergianmu, Bapak; 4 Oktober 1001-4 Oktober 2015
Ayahku bernama
lengkap Sukro Muhammad Arief. Belakangan disingkat menjadi SM.Arief. Kerabat
dekat dan saudara-saudaranya biasa memanggilnya Koko, anak sulung dari lima bersaudara.
Ayahnya
bernama Muhammad Ari telah meninggalkannya saat remaja. Emih ibu kandungnya
yang sangat cekatan dan mandiri. Keluarga Bapak bukan asli orang Cimahi. Konon,
leluhurnya berasal dari Ciomas, Bogor .
Menjelang hari-hari terakhir hidupnhya, Bapak pernah melacak jejak leluhurnya
itu ke Ciomas. Namun, Bapak kembali dengan cerita bahwa dia hampir tak
menemukan lagi sanak kerabatnya di sana .
Bapak
lahir di Cimahi, 23 Januari 1930. Dia mendapat pendidikan di zaman Jepang.
Sekolah formalnya setingkat SMP. Yaitu sekolah teknik di Surabaya , di selenggarakan oleh Angkatan Laut
Jepang.
Bapak
cukup fasih berbicara dalam bahasa Jepang. Saat meletus Perang Pasifik, Koko
remaja sedang berada di tengah samudra diatas kapal perang Angkatan Laut
Jepang. Bersama Koko ada para pemuda lain yang punya tujuan serupa.
“Kami
terdampar di Banjarmasin .
Tepatnya dibuang oleh tentara-tentara Jepang itu. Karena mereka segera
disibukkan perang melawan Sekutu,” kisahnya dengan semangat penuh petualangan.
Koko
remaja bersama seorang sepupunya, Benyamin. Beberapa waktu tak tahu tujuan. Tak
tahu cara bagaimana untuk pulang ke kampung halaman.
“Hanya
karena kemurahan Allah Swt, kami mendapat tumpangan sebuah kapal dagang.
Berhari-hari dan berminggu-minggu, kami ikut dalam pelayaran yang sangat
menyenangkan,” tutur ayahku bila sudah memapar kembali kisah heroiknya,
romantika para pejuang ’45.
“Kami
disambut dengan jerit tangis Emih dan sanak famili di Cimahi. Bayangkan, hampir
lima bulan kami
tak ada kabar berita!” tuturnya pula di depan anak-anak.
Usia lima belas tahun Koko
bergabung dengan pasukan pejuang di Cimahi. Agar diterima oleh komandan
pasukan, terpaksa mengaku berumur 17 tahun lewat. Walau kemudian diketahui juga
hal yang sebenarnya. Namun, Koko remaja telah membuktikan kemampuannya sebagai
seorang pejuang.
Sejak itu
Koko mengabdikan hidupnya demi bangsa dan negara melalui TNI-AD. Tentang
sebagian pengalaman dan perjuangannya semasa revolusi 1945, aku menuliskannya
dalam buku bacaan anak-anak, Prahara
Cimahi. Di masa mudanya saat masih revolusi, Bapak sempat menjadi seorang
penulis lepas dan wartawan perang. Dia menulis untuk majalah Hubad dekade
50-an. Namun, kariernya sebagai prajurit kemudian menyita seluruh waktunya.
Hubunganku
dengan Bapak di masa kanak-kanak tak begitu dekat. Bapak terlalu sering
meninggalkan keluarga demi panggilan tugasnya. Aku bisa mengingatnya, saat
Bapak kembali dari tugasnya di Malangbong, Garut. Dia membawa jeruk garut yang
disimpan dalam ransel tentaranya. Juga beberapa pohon anggrek bulan.
“Jeruknya
buat anak-anak. Anggrek bulannya buat kamu, Alit,” ujarnya kepada Mak.
Bapak
memang suka memanggil Mak dengan sebutan Alit. Kalau Aki dan Eni suka memanggil
Mak dengan sebutan Nok Alit.
“Itu
Bapak pulang. Ayo, salami Bapak,” Mak mendorong-dorong aku untuk mendekatinya.
“He,
kenapa bengong saja? Lupa barangkali sama Bapak, ya?”
Aku
menghampirinya dengan takut-takut. Lihatlah! Penampilannya sepulang dari hutan
Malangbong itu, aduuuh… menakutkan anak-anak!
Pakaian
hijau kumal, sepatu kotor. Rambut gondrong dan dagunya menyemak dengan jenggot.
Macam penampilan seorang perompak, bajak laut saja!
“Jangan
takut. Aku ini Bapak, ayah kandungmu, Nak,” katanya berusaha hendak
menggendong.
Kontan
saja aku berlari ketakutan. Menjerit-jerit dan menangis… heee-boooh!
Beberapa
hari Bapak bisa berkumpul dengan keluarga. Setelah berpenampilan apik dan
bersih barulah aku mau mendekatinya, malah minta digendong. Biasanya Bapak akan
memangku aku di atas bahu-bahunya yang kekar.
Sepasang
tangannya yang kukuh sering digunakannya untuk mengayun-ayun kami. Aku, En, Vi,
dan El. Bapak menyayangi kami tanpa pilih kasih.
Saat aku
duduk di TK Persit Kartika Chandra, Bapak paling sering mengantarku. Bapak kala
itu bertugas di Kodim Sumedang. Jadi punya cukup waktu untuk keluarga. Terutama
kalau dia sedang cuti. Sementara Mak hampir tak bisa mengantarku ke sekolah.
Sibuk dengan adik-adik kecil di rumah.
“Waaah,
Pak Sersan lagi yang ikut piknik sama kita?” kata Ibu Saodah, guru TK-ku.
“Senengnya
ada bapak-bapak…”
Bapak
tersenyum-senyum saja bila digoda oleh para ibu temanku. Kehadirannaya menambah
semarak suasana piknik kami karena Bapak orangnya humoris, suka membanyol dan
supel. Kami piknik ke Gunung Kunci, Gunung Palasari, Cimalaka atau Cipanteneun.
Sesampai di tempat tujuan, Bapak ikut sibuk membantu Mang Encu, pesuruh
sekolah. Menurunkan anak-anak dari truk tentara. Maklum, sekolahnya kan punya Persit Kartika
Chandra. Kami bisa menggunakan fasilitasnya.
Bapak
agaknya ingin sekali memiliki anak laki-laki. Setiap tahun ditunggu dan
didambakannya jagoannya itu.
Ndilala… ngaborojolna awewe deui,
awewe deui![1]
Sering
kerinduannya akan anak laki-laki itu dilampiaskannya kepada kami, anak-anak
perempuannya. Itulah agaknya yang mendorong aku menjadi tomboy.
Saat di
bulan Ramadhan, Bapak sibuk menggotong-gotong bambu besar.
“Kita
bikin bedil lodong, ya?” ajaknya kepadaku, adikku En dan sepupuku El.
Kami
memperhatikannya sampai Bapak memperagakan cara-caranya kepada kami.
“Isi air
dulu lodongnya. Masukkan sedikit karbit. Tutup sebentar dengan kain. Nah,
nyalakan sundutannya dan …”
Blaaar!
Blaaar! Bleeeng!
Bunyinya
menggelegar ke mana-mana. Kami bergantian menyundut bedil lodong itu. Tak tahan
dengan omelan Eni dan Emih, main bedil lodongnya dilanjutkan di sawah dengan
Bapak.
Itulah
masa kanak-kanak yang menyenangkan.
Di
mataku, Bapak adalah orang yang paling bisa diandalkan. Dia memiliki
macam-macam kepandaian dan keterampilan. Pintar melukis, meniup seruling,
memetik kecapi, pencak silat, dan bertukang. Menurutnya, semua anak punya
kemapuan dan bakat dalam bidang apapun. Tinggal bagaimana cara anak itu
mengembangkannya atau diarahkan orang tua. Bapak selalu menanamkan arti
kedisiplinan dan kemandirian kepada anak-anak.
Di
kemudian hari tidak satu pun dari anaknya yang mewarisi bakat ketentaraannya.
Bakat melukis dan mendesain diwariskannya kepada En. Bakat meniup seruling dan
memetik kecapi kepada Ry. Bakat gurunya kepada Vi dan Ed. Bakat wiraswastanya
kepada Sy dan My. Sedangkan aku mewarisi bakatnya dalam berkesenian,
jurnalistik dan menulis.
Walaupun
sempat sangat mendambakan anak laki-laki, tetapi pada kenyataannya Bapak tak
pernah pilih kasih. Buktinya, setelah kedua adik laki-laki lahir, perhatian dan
kasih sayangnya tak berubah terhadap anak-anak perempuannya.
“Kamu
anak sulung, Teteh. Kalau tak ada Bapak, kamulah yang harus bisa membantu Mak.
Kamu harus bisa memimpin adik-adikmu,” pesannya setiap kali Bapak akan bertugas
ke luar kota .
Jangan
heran kalau mendapati aku atau En sedang berkutat memperbaiki genting bocor.
Atau memperbaiki kabel listrik yang korsleting di atap rumah. Terkadang aku
merasa, bagi Bapak semuanya harus bisa. Tak ada istilah tidak bisa. Semuanya
bisa dipelajari. Begitulah motto hidupnya.
Setelah
dua tahun duduk di Taman Kanak-Kanak Persit Kartika Chandra, akhirnya aku boleh
sekolah di Sekolah Rakyat Sukaraja. Aku sudah diajari membaca dan menulis
dengan ketat dan disiplin oleh Bapak. Jadi, saat masuk sekolah itu aku sudah
bisa memba dan menulis. Hanya karena sering sakit dan jarang masuk sekolah, aku
tak bisa menyerap proses pembelajaran dengan baik. Dari kelas satu sampai kelas
tiga, prestasiku sedang-sedang saja.
Namun,
saat kelas empat, prestasiku meningkat bagus. Bahkan, akhirnya mendapat
predikat juara umum saat akan naik kelas lima .
Itu memang mengherankan. Sebab masa-masa itu justru keluarga kami sedang
ditimpa banyak kesulitan. Belakangan aku paham. Agaknya justru karena banyak
tekanan itulah yang melecut semangat dan
motivasiku untuk meraih prestasi.
Apabila
tidak merasa sakit, aku seperti kebanyakan anak pada umumnya. Bisa main
sepuasnya; manjat-manjat pohon, naik sepeda keliling Keputren, Regol sampai
pasar. Pergi mengaji ke Pesantren Pagelaran, dan tentu saja sekolah dengan
rajin.
Aku
termasuk anak perempuan tomboy, kebanyakan
bajuku celana pendek dan kemeja atau kaos. Tetapi aku memelihara rambut yang
panjang dan lebat. Biasanya rambutku dikepang atau diekor kuda. Kalau tak bisa
melakukannya aku minta bantuan kepada Bi Eha.
“Bikin
repot orang saja. Sini, Eni potong rambutmu!” nenekku sering cerewet tentang
rambut panjangku ini.
“Iiih,
gak mauuuu!” aku lari terbirit-birit.
Dalam
kurun waktu tertentu, entah apa yang membuat nenekku gregetan kepingin memotong rambutku. Biasanya untuk beberapa saat
aku menghindari perjumpaan dengan nenekku.
Di
halaman rumah yang luas aku mempunyai tempat favorit. Di sebuah batang jambu
kukuh yang bercabang tiga, di antara cabangnya, aku nyaman bermain dan membaca
di sana .
Terutama saat bulan puasa.
Biasanya
Mak akan menawarkan sebuah alternatif manis buatku, agar aku menuruti
perintahnya. Sepulang mengaji aku diperbolehkan mampir ke taman buku bacaan.
Saat itu aku sudah kecanduan buku bacaan. Buku-buku milik Bapak terbitan Balai
Pustaka semuanya habis aku lahap. Bahkan buku-buku militer, arsip-arsip dan
dokumen rahasia, materi pelajaran saat Bapak
pendidikan kubaca juga.
Saat usia
delapan tahun, aku sudah mengenal karya-karya Amir Hamzah, Armin Pane, Sanusi
Pane, Pramudya Ananta Toer, Chairil Anwar, Mansur Samin, Ajip Rosidi, Rustandi
Kartakusumah, Mansur Samin, dan lain-lain.
Terjemahan
yang aku sukai ketika itu adalah karya Jules Verne, Charles Dickens, dan tentu
saja penulis favoritku Karl May. Serial Old Shuterhand dengan Winetou-nya,
sungguh membuatku terpukau. Aku mengembara, melanglang buana (di tempat!)
melalui karya besar pengarang Jerman yang belum pernah menginjak tanah Amerika,
tetapi begitu pas menggambarkan suasananya. Setidaknya demikian menurut
persepsiku kala itu.
Berkaitan
dengan kecanduan buku ini, ada satu pengalaman
yang membekas dalam ingatan. Ketika itu zamannya serba sulit.
Kejadiannya sekitar tahun 1964-1965. Paceklik, wabah kolera dan disentri pun
menyebar di mana-mana. Untuk mendapatkan sembilan bahan pokok orang harus
berebutan. Di depan kantor pensiunan pada saat-saat tertentu orang mengantri
beras, gula, minyak tanah, dan kebutuhan bahan pokok lainnya.
Keluargaku
pun tak luput dari masa-masa sulit itu. Bapak bersama pasukan Siliwangi
ditugaskan ke pedalaman Sulawesi . Memberantas
gerombolan Kahar Muzakar. Kami hanya bisa makan nasi campur jagung. Terkadang
nasi bulgur atau hanya tiwul dan jiwel.
Suatu
hari Mak menyuruhku untuk membeli minyak tanah. Karena di kantor pensiunan tak
ada persedian, aku harus membelinya di dekat pasar. Sambil menunggu antrian
bergerak, aku melihat-lihat kios buku di samping pompa bensin.
“Weits…
ini dia! Ada
majalah Mangle, Langensari, Baranangsiang, Campaka, Sari,” decakku
terkagum-kagum.
Semuanya
majalah berbahasa Sunda. Aku tahu persis, di majalah Mangle dan Langensari
sedang dimuat cerita bersambung karya Rustandi Kartakusumah. Sebelumnya aku
hanya bisa menunggu lanjutan serial pengarang besar itu dari taman bacaan
langganan Mak. Itu pun harus berebut dengan para penggemar lainnya.
Tanpa
pikir panjang lagi, aku membeli kedua majalah itu!
Sambil
membawa majalah itu aku ngeloyor ke
alun-alun. Membacanya sambil tidur-tiduran di atas lingga. Yaitu sebuah tugu
monumen, peninggalan zaman dahulu di tengah alun-alun Sumedang.
Begitu
asyiknya aku membaca. Lupa segalanya!
Petang
hari, akhirnya Mak berhasil juga melacak jejakku.
“Astaghfirullaaah!”
jerit Mak dengan wajah merah padam. “Dari tadi ditunggu-tunggu minyak tanahnya,
sampai batal masak! Mana minyak tanahnya, mannnaaa?”
Aku
terdiam sambil memeluk majalah Mangle dan Langensari erat-erat di dadaku.
Jerigen ukuran lima
liter tergeletak di bawah tangga lingga. Mata Mak melotot hebat.
“Iiiih…
ini anak!” dijewernya kupingku kuat-kuat.
Aku bergeming.
Pantang menangis kalau bukan karena sakit!
Sepanjang
jalan pulang, Mak merepet terus
mengomeliku. Aku hanya terdiam, merasa bersalah. Sebagai hukuman Mak melarang
aku main sepeda keliling Regol selama seminggu. Aku malah senang.
“Mending
juga baca majalah kesayangan daripada keluyuran!” gumamku membatin.
Biasanya
kemarahan Mak takkan lama-lama. Karena Mak pun termasuk kutu buku. Mak malah
menungguiku selesai membaca majalah. Kemudian, Mak pun akan asyik membaca
cerita bersambung Rustandi Kartakusumah.
Posting Komentar