Prolog
Anno,
akhir 2015.
Ketika
aku tulis prolog untuk buku memoar yang masih kuberi judul Dalam Semesta Cinta ini, kondisi kesehatanku boleh dikatakan tidak
stabil. Kadang jantung terasa nyeri dengan napas yang sesak tiba-tiba. Kadar
gula pun sejak 2012 turun naik, sehingga pernah mencapai di angka 300 setelah
sarapan.
Sementara
takaran darah masih terjaga di tataran 7, sebab aku berusaha memenuhi jadwal
transfusi darah secara rutin tiap tiga bulan sekali. Dengan penyakit kelainan
darah bawaan plus jantung bermasalah dan pancreas terganggu, terus terang aku
harus melakoni hari-hari yang cukup sulit.
Satu
pagi di penghjung tahun 2012, ketika aku baru mengambil air wudhu untuk sholat
Dhuha. Tiba-tiba napasku sesak sekali disertai rasa nyeri luar biasa di bagian
kiri dada. Rasanya menusuk-nusuk bahkan dalam sekejap rasa nyeri itu seakan
merambah ke punggung. Tak tahan dengan sesak dan rasa nyeri yang semakin
menghebat aku pun ambruk.
Sepertinya
aku sempat tak sadarkan diri, entah berapa lama. Seseorang mengguyah-guyah
badanku, menepuk-nepuk wajahku sambil meracau dan memanggilku dengan panik.
“Bu
Haji, sadar, ya Bu Haji….”
“Pingsan
nih si Ibu, aduh….”
“Gak
ada siapa-siapa lagi….”
Perlahan
aku membuka mata, masih terasa nyeri di dada bagian kiri, tetapi tidak begitu
sesak lagi.
“Tolong,
minta minum,” pintaku susah payah mengucapkan sepatah dua kata.
Perempuan
45-an yang telah lama menjadi asistenku itu tergesa mengambilkan air hangat
dari galon. Ia tinggal di rumah kontrakan sebelah rumah yang selama itu kutempati
bersama putriku.
“Terima
kasih, Bi. Untunglah Bibi belum pulang,” kutatap wajahnya yang tampak
mencemaskanku.
“Iya,
tadi mau ambil cucian di mesin cuci…. Eh, lihat Bu Haji dikira lagi tiduran, tapi
masa iya depan kamar mandi. Pingsan ternyata, ya Bu Haji?”
Aku
tak bisa meladeninya, karena rasa nyeri yang aneh itu masih bersemayam di
dadaku, kepalaku pun mendadak sakit. Aku jadi teringat dengan penyebab kedua
orang tuaku meninggal. Bapak terkena stroke, tensi tinggi. Emak terkena
serangan jantung.
Jangan-jangan
mulai menghinggapi tubuhku? Sebab dokter sudah pernah mengingatkan, dampak
pengangkatan limpa dan kandung empedu tahun 2009, dipastikan bakal terjadi
komplikasi. Masalah kesehatan yang disebutnya akan jauh lebih serius selain penyakit
abadiku, thallasemia.
“Bibi,
mau ya antar aku ke HGA?” tanyaku.
“Iya,
iya, bisa!” sahutnya terdengar semangat membantu.
“Baik,
kita pergi ke UGD-nya. Eh, panggil becak dulu, ya, tolong….”
Bibi
berlari keluar rumah, kudengar teriakannya memanggil anaknya. Beberapa saat ia
kembali menghampiriku dan mengatakan becak sedang dipanggil oleh anaknya.
Aku
sama sekali tidak beranjak dari tempatku ambruk, tidak ganti baju pula selain
merangkapnya dengan gamis dan mengenakan jilbab ungu kesayangan. Otakku segera
menghitung cepat, kira-kira ada dana berapa di ATM? Sepertinya tinggal 300-an
ribu saja. Bagaimana kalau harus dirawat?
Sambil
dipapah si Bibi naik becak, otakku terus berputar, bagaimana caranya
mendapatkan dana besar dalam tempo sesingkat ini?
Saat
ini aku baru saja keluar dari sebuah perusahaan penerbitan Nasional. Bosnya
sahabatku dan sangat baik terhadapku, banyak buku karyaku yang diterbitkan di
sana. Dia memberiku keleluasaan untuk mengatur waktu dalam berkarya, diselang
menyebar virus menulis ke pelosok Tanah Air.
Belakangan
bahkan semakin sering ke mancanegara. Jadi waktu kerjaku boleh dipilih dan
disesuaikan dengan kegiatanku di luar. Dengan catatan yang penting tiap bulan
ada naskah yang bisa diterbitkan, dicetak.
Ternyata
perlakuan istimewa Bos ini tidak disukai oleh beberapa karyawan tetapnya.
Mereka yang baru bergabung di perusahaan tersebut menganggap; si Teteh
dianakemaskan!
Aku
menerima keputusan jajaran Direksi, berhenti tanpa diberi pesanggon. Ada
perjanjian lisan dengan Bos, mendapatkan kontrak eklusif. Caranya mengajukan
proposal untuk menulis sejumlah buku anak-anak, dibayar honornya per bulan atau
secara periodik.
“Boleh,
sebentar akan ditransfer, Teteh. Semoga sehat kembali dan tetap berkarya,”
demikian balasan dari sahabatku si Bos, atas permintaan pinjaman dana.
Benar
saja, ketika dokter telah memeriksa hasil laborat dan menyarankanku untuk
diopname di RSCM, transferannya telah masuk ke rekeningku. Alhamdulillah.
Dibutuhkan
sekitar tiga jam untuk mendapatkan izin dokter UGD, karena tidak jua ada yang
bisa mengantar ke RSCM. Kuputuskan menandatangani keterangan, minta pulang
sendiri. Kemudian aku memanggil taksi langganan. Sore itu aku pun meluncur ke
UGD RSCM, seorang diri.
Anak
sulung sibuk di kantornya, adiknya belum lama menikah dan hamil muda, mengalami
pendarahan. Tidak, aku tidak ingin merusuhi anak-anak. Mereka sedang menghadapi
banyak masalah. Biarlah, semuanya harus ditanggulangi sendiri.
Demikianlah,
selama dua hari dua malam aku dirawat di ICCU, didiagnosa terkena serangan
jantung ringan. Katanya, ada penyumbatan di jantung, kalau tidak membaik juga
harus dilakukan tindakan, yakni; dikateter jantung. Kemungkinan terburuk adalah
dipasang ring, aduh, entahlah!
Seorang
koas cantik berkerudung sering menemaniku, menjadi teman berbincang jika dia
sedang santai dan aku boleh duduk.
“Sejak
sekarang Ibu tidak boleh melakukan kegiatan yang menguras tenaga dan pikiran,”
ujarnya suatu saat.
“Misalnya
apa, Dok?”
“Naik
tangga, bepergian jauh….”
Tuiiing!
Jadwal
sisa tahun itu masih padat; kelas menulis di pesantren-pesantren, undangan ke USA,
Yaman, Iran dan Tunisia.
Semua
itu harus dibatalkan!
Ya
Allah, betapa berat ujian-Mu kali ini, kesahku membatin. Belum lama cerai,
kemudian harus pergi dari rumah, hanya membawa baju yang dipakai saja dan sebuah
laptop.
Hari
ketiga aku diperbolehkan pulang. Dua anakku tak ada yang tahu kalau ibu mereka
sempat ambruk di ICCU. Sekali ini dengan komplikasi; jantung error plus
diabetes melitus.
Si
sulung mengira aku berada di rumah adiknya di Halim. Adiknya mengira aku berada
di rumah si abang di Citayam. Aku melanjutkan perjalanan, masih seorang diri.
Sudh
memsuki tahun baru 2013. Beberapa hari lamanya aku tinggal di Masjid At-Tin.
Berbaur dengan para penumpang lainnya, mereka yang tinggal atau singgah di
Masjid yang dibangun oleh Tien Suharto.
Di
sinilah aku mendapatkan hikmah dari ujian-Nya, berupa rezeki yang tak disangka-sangka.
Dana sejumlah 35 juta terkumpul dari pengajian Ratih Sang, melalui perantara
Ustad Bobby Herwibowo.
Kemudian
jumpa Ustad Jefry Al Bukhori alias Uje, bersama manager sebuah televisi swasta,
Aku didapuk sebagai bintang tamu program acara yang diberi nama; “Assalamualaikum
Ustad”.
Sempat
curhatan dengan Uje di ruang tunggu,
ia menyemangatiku. “Jangan didengerin tuh diagnosa dokter. Seenaknya saja
bilang umur orang sebentar lagi. Umur mah hnya Allah Swt yang Maha Tahu. Mana
tahu ane yang sheta kuat begini malah duluan pergi….”
“Jadi,
bersdia nih kalau kita bikin even di Taiwan, Tad?” tanyaku.
“Mau
banget. Iya, jadwalkan sajalah, Teh. Kalau sudah fiks, hubungi langsung manager
ane, ya Teteh.”
Kami
foto bareng sebelum tampil di acara yang dipandu Farhan tersebut. Siapa mengira
ketika undangan dari Taiwan baru kuterima, tiba-tiba ada BBM dari Ratih Sang
dan Teddy Snada.
“Teteh,
kita telah ditinggal oleh saudara kita, Uje….”
Innalilahi
wa inna ilaihi rojiuun.
Berkat
bantuan sahabat-sahabat, terutama Ustad Yusuf Mansur, Ustad Bobby Herwibowo dan
jemaah taklimnya Ratih Sang, akhirnya aku mendapat sebuah rumah cicilan di
Cibubur.
Aku
mengira di sinilah tempat tinggalku slmnya hingga dpanggil Sang Pencipta.
Ternyata tidak, sebab putriku memutuskan bercerai. Matan suaminya alias menantu
tidak berkenan kami tetap tinggal di rumah yang mereka cicil tersebut. Maka,
kembali aku tak punya rumah tinggal.
Patungan
dengan anak-anak, kami pun bisa menempati sebuah rumah kontrakan di kawasan
Lippo Cikarang. Ada sahabat budiman yang berkenan memberi hak guna pakai sebuah
Ruko untuk kantor bisnis kami.
Agaknya
beliau merasa simpati dan sangat mendukung ikhtiarku dan anak-anak. Kami telh
mewujudkan keinginannya memiliki sebuah Biografi yang mencerahkan. Alhamdulillah,
semoga Allah Swt membalas ketulusan hatinya dengan pahala dan rezki berlimpah.
Seorang
sahabat berhati mulia lainnya mengucurkan sejumlah dana untuk memodali
perusahaan penerbitan dan percetakan yang kami beri label Pipiet Senja Publishing
House.
Terima
kasih, Kang Budi Sulistianto. Berkat dukungan dan kepercayaan Anda, sepanjang
tahun 2015 Pipiet Senja Pubslishing House telah menerbitkan 12 buku.
Sementara
kondisi kesehatanku belum stabil, semangat yang kumiliki masihlah terpelihara.
Semua bersumber dari sosok-sosok yang kusayangi, terutama anak-anak dan
cucu-cucu. Setiap kali bersama mereka, aku merasa masih dibutuhkan, masih
bermanfaat. Setidaknya sebagai penyemangat mereka di kala terpuruk, tempat
mereka memohon restu dan doa.
Pada
16 Mei 2016 mendatang, umurku akan genap 60 tahun.
Sebagai
rasa syukur yang tiada terhingga, atas waktu dan kesempatan yang diberikan oleh
Sang Maha Pemberi, maka aku ingin mencetak ulang buku Dalam Semesta Cinta ini.
Berharap masih bisa berbagi dengan saudara-saudara perempuan, mereka yang
merasa terpinggirkan.
@@@
Catatan:
Naskah ini, judunya Dalam Semesta Cinta, saya lelang kepada para penerbit. Silakan hubungi langsung ke nomer 085669185619. Say sangat membutuhkan dana untuk meanjutkan engobatan. Terima kasih.
Posting Komentar