Anno Haji 2006:
Selain dengan Ennike, Raymonna, Erna dan Anita, aku pun acapkali jalan bareng Mami Uun dan rombongan nenek-nenek dari Bogor. Kalau sudah berkumpul dengan Mami Uun en Her Gank, demikian aku menggelari mereka yang disambut ketawa senang itu, dipastikan ramai sekali. Biasa, semuanya pakai bahasa leluhur, bahasa Sunda.
Pendeknya persis di lembur sorangan we!
Kejadiannya di Mekah, waktu rombongan Cordova akan berangkat ke Arafah. Suasana di luar Hilton, sepanjang trotoar menuju Masjidil Haram begitu padat subuh itu. Aku bersama rombongan nenek-nenek yang menginap di Hilton bergerak menuju Intercountinental. Awalnya kubawakan kantong berisi buah-buahan dan makanan ringan milik kami berdua, aku dan Mami Uun. Tapi di tengah jalan, karena sambil membawa koper, rasanya menjadi ribet banget. Jadi, kuminta izin Mami Uun untuk menyedekahkan kantong makanannya.
“Ya, sudahlah Neng, tinggalkan saja di situ,” sahut Mami Uun yang kulihat repot pula dengan bawaannya. Sebuah koper dan beberapa kantong besar, entah berisi apa saja.
Di belakang kami ada pasangan suami-istri, profesinya pemijat. Ditambah Bu Rosmalia yang kusangka kerabat Mami Uun, tapi ternyata teu hir teu walahir alias bukan apa-apanya. Untuk melintasi lautan manusia, meskipun jaraknya sangat dekat, ternyata lumayan menguras tenaga. Keringat sudah bercucuran saat kami sampai di gerbang hotel milik King Abdul Saud itu. Padahal kami biasa sarapan di restoran Intercountinental.
“Hei, hei…no, no, don’t! Stooop!” seorang anak muda Arab petugas berseragam semacam Satpam, sekonyong menghentikan langkah kami.
“Why not?” serobot Mami Uun yang selalu bertindak sebagai ketua itu.
“Because you….” Dia menuding ID Card Mami Uun, intinya kami dilarang masuk karena bukan tamu Intercountinental.
Awalnya aku kepingin ketawa. Tiga hari sudah kami hilir-mudik ke hotel berbintang (konon!) tujuh itu, tak pernah ada yang melarang. Para penjaga pun telah mengenali kami sebagai bagian rombongan Cordova lainnya, mereka yang menginap di sini.
Mengapa tiba-tiba kami dilarang berkeliaran di Intercountinental? Bahkan petugas itu dengan kerasnya menggiring kami keluar kawasan hotel.
“Kayaknya petugas baru tuh….”
“Iya, sotoy amat!”
“Lagaknya kayak bossy aja…”
“Pssst, tenang dulu ya mami-mami,” ujarku mencoba menengahi. “Ingat, kita sekarang berada di depan Masjidil Haram. Harus jaga sikap, ya mami-mami sayang. Bagaimana kalo kita tunggu aja kru Cordova keluar?”
“Semuanya, katanya sih sudah pada ke Arafah…”
“Gak juga, masih ada Ustaz Mawardi di dalam….”
Mami Uun keukeuh bersikeras memberi penjelasan kepada anak muda Arab itu, berakhir dengan omelannya; “Meuni sombong pisan, nya…. Adi aing oge Jenderal, siah, teu somse kitu?”
Muncul Ustaz Satori yang telah sarapan dan hendak kembali ke Masjidil Haram. Sosok imut-imut ini mencoba memberi penjelasan dalam bahasa Arab yang fasih kepada anak muda Arab itu. Kelihatannya tak mempan. Ustaz Satori bilang, sudah menghubungi Ustaz Mawardi via ponselnya, jadi kami diminta bersabar dan tunggu saja.
Perdebatan antara Mami Uun, Bu Rosmalia dengan si anak muda Arab itu kelihatannya berlangsung semakin seru saja. Apalagi waktu anak muda Arab itu berkata: “Indunusi? Huh….no, no living here…musykila! Intercountinental, special for Arabic and Europa!” Sambil menjentikkan jari-jarinya, kemudian menunjukan jempolnya ke lantai.
Waaah, aku sudah kehilangan hasrat tawa nih, kalau sudah menyerempet kehormatan bangsaku.
“Ya empruuut, eeh, emprooot…” Entah siapa pula yang mengomel.
Mami Uun semakin jengkel saja, sampai melotot-melotot matanya. “Eee, enak saja menghina bangsa Indonesia? Siapa bilang bangsaku gak sanggup nginap di hotel bintang lima? Bintang selusin juga mampu, tauuuk!”
“Awas yah…. Kalo kamu datang ke Indonesia….”
“Diteke siah ku urang!”
“Enya, urang talapung we rame-rame siah….puuung!”
Yang lucu waktu muncul pasangan suami-istri, Didik-Anita dari dalam Intercountinental. Begitu mengetahui kami terjegal masuk, Mas Didik dengan semangat juang ’45 melakukan protesnya. Diperlihatkannya ID Card yang menggantung di lehernya, kemudian ditunjuknya pula ID Card yang mengantung di leher kami masing-masing. Maksudnya bisa ditebak, bahwa dirinya dan istrinya baru dari dalam Intercountinental, baru makan pagi bersama. Jadi, biarkan teman kami ini pun masuk, pliiis!
Tapi sang portir bergeming dengan keputusannya. Bahkan dengan kasar dia menggiring Didik ke luar. Karuan saja Anita yang masih berada di ujung tangga, dan melihat suami tercinta terusir dari kawasan Intercountinental, tergopoh-gopoh mengejar dengan wajah panik.
“Maaas… tunggu!” lolongnya menggema ke mana-mana.
Melihat adegan demi adegan yang kisuh-misuh begitu, aku terduduk mengkerut di teras. Mulai instropeksi, khawatir ini pun adalah teguran dari Allah. Ya, acapkali saat keluar dari Intercountinental ada perasaan bangga, mungkin saja sempat memandang rendah orang lain.
“Astaghfirullahal adziiiim, ampunilah khilafku, angkatlah semua angkuh dari hatiku ini, ya Rabb, hamba ini tiada memiliki apapun, dan bukan siapa-siapa,” gumamku, kutundukkan kepala terdiam, mulut mereka komat-kamit, berzikir dan berdoa.
Ustaz Mawardi akhirnya muncul juga dibarengi seorang manager Intercountinental. Ia kemudian mengajak kami masuk sambil meminta maaf atas kesalahpahaman ini.
“Maaf, ya ibu-ibu, dia hanya menjalankan perintah…”
Aku takkan melupakannya, bagaimana Mami Uun yang masih marah dan kecewa itu, sengaja melintas di depan anak Arab, nyaris membenturkan bahunya.
“Indunusi bagus! Indunisi hebat, bagus, kuat, ocreeh beib!” ceracaunya malah membuat anak muda Arab itu cengo habis.
@@@
Posting Komentar