Ini Sebagian Karya Pipiet Senja
Prolog
Frankie sudah kembali!
“Fatiiin! Woooi, Fatin, jalangku yang hebaaat!” teriakannya seolah
menggema ke pelosok Negeri Kincir Angin.
Pasti dia mabuk berat!
Fatin menyelinap, bersembunyi di balik sofa ruang tamu.
Ia sudah bertekad akan menghabisi makhluk jejadian ini begitu muncul.
Tangannya gemetar meraih tongkat bisbol yang tersambar begitu saja. Entah sejak
kapan benda itu bercokol di ruang tamu. Boleh jadi Frankie merampasnya dari
anak-anak yang tersasar ke pekarangan apartemennya.
Fatin mengawasi pintu depan itu dengan mata nanar.
Nah, pintu terkuak dan sosok itu muncul!
Frankie sungguh dalam keadaan mabuk berat. Tangannya meraba-raba dinding
mencari tombol lampu. Namun, sebelum ia berhasil menyalakan lampu, Fatin
melesat ke arahnya dan menghantamkan tongkat bisbol itu ke kepalanya dengan
seluruh kekuatan yang dimilikinya.
Buuuk! Buuuk!
“Aduuuh!”
Tidak ada suara lagi.
Tubuh tinggi besar itu terjajar dengan posisi tengkurap, tangannya masih
memegang botol minuman keras.
Kekuatan itu semakin merasuki dirinya. Fatin mencermati sekilas sosok
yang terbujur di lantai itu. Tidak bergerak, tapi masih bernapas!
Fatin berlari menuju lantai atas. Didapatinya si kecil sedang meringkuk
di balik seprei. Ia meraihnya,
memangkunya sebentar sambil mencari-cari sesuatu yang bisa dijadikan alat untuk
menggendongnya.
Tentu saja kain batik, satu-satunya kain gendong yang selalu diminta si
kecil dibawa ke mana-mana. Kain batik pemberian Mini, istri Samawa yang sangat
menyayangi si kecil. Satu-satunya benda pribadi yang masih terselamatkan dan
berhasil dipertahankannya dalam pengembaraan.
“Mau ke mana, Mama?” tanya si kecil mendesir di kupingnya saat Fatin
berhasil membuka jendela kamar di lantai dua itu.
“Psssst, jangan berisik, ya Nak. Kita akan pergi jauh dari tempat ini,”
sahutnya seraya mencium ubun-ubun si kecil.
“Pergi jauh, ya Mama, pergi jauh….”
“Bantulah Mama, Nak, bantulah dengan doa saja, janji.”
“Iya, Mama, janji,” gumam si kecil.
Angin musim dingin langsung menerpa wajahnya begitu Fatin melongok
keluar jendela. Pagi baru merekah di awal bulan Desember. Hawanya langsung
menggigit, meskipun ia telah merangkap baju dengan tiga lapis.
“Dingin, Mama….”
“Kuat, ya Nak, tahankan….”
“Iya, Mama, kuat, tahan,” suara si kecil membeo perkataannya.
Ia tak peduli dengan hawa dingin yang menggigit. Si kecil pun telah
dilapis-lapis rangkap penutup tubuhnya.
Kini tangannya melemparkan seprei yang telah dipilin dan
disambung-sambungkan.
Puuuuung, pluuuuk!
Syiiiiiiut!
Sekejap melayang-layang, terus melayang dan; bruuuug!
“Allahu Akbar!”
“Iya, Mama…. Allahu Akbar!” si kecil masih membeo.
Fatin dan si kecil beberapa saat terguling-guling di atas hamparan
salju.
Akhirnya ia berhasil menghentikan gerakannya.
“Tidak apa-apa, ya Nak, kuat, ya tahan, ya?” ceracaunya.
Diraihnya si kecil, diraba-raba wajahnya, kepalanya, kakinya, tangannya.
“Aku kuat, Mama, aku tahan….” Suara si kecil meyakinkannya.
“Alhamdulillah, diberkatilah hidupmu, Anakku.”
Fatin menciumi wajahnya yang mungil.
“Kita terus berjuang, ya Sayangku, Cintaku….”
“Ya, Mama, kita berjuang….”
Maka, mulailah perempuan muda itu mengumpulkan seluruh kekuatan yang
masih dimilikinya. Harus punya berkarung-karung, berkodi-kodi, bahkan
berkoper-koper simpanan kekuatan. Selain kesabaran, keikhlasan dan keimanan
yang tetap membalun jiwa dan raganya seagai seorang Muslimah.
Ia baru memahami makna doa ibunya semasa kecil.
Emak selalu mendoakannya agar menjadi perempuan tangguh.
Inilah agaknya hakikat doa ibu tercinta.
Saat inilah pula doa Emak mengalirkan kekuatan maha dahsyat ke dalam
dirinya. Kekuatan itu terus merasuki sekujur tubuhnya, merembes ke setiap
tetesan darah yang mengalir dari ujung kaki hingga ubun-ubunnya.
Inilah salju pertama yang dilihatnya di Negeri Kincir Angin.
Ada sensasi aneh yang merayangi kisi-kisi batinnya.
“Salju pertama dalam hidup kita, ya Nak,” bisiknya seraya terus
melangkah, melangkah dan melangkah.
Ia harus menjauhi wilayah si jahanam itu secepatnya!
Ia tak peduli dengan rasa nyeri yang semakin menggerogoti bagian
vaginanya. Terus melangkah, kali ini dibarengi dengan menyebut sebagian dari 99
Asma ul Husna dalam setiap helaan napasnya, dalam setiap langkahnya.
“Ya Allah, Ya Allah, Ya Allah….”
“Ya Rahman, Ya Rahman, Ya Rahman….
“Ya Rahim, Ya Rahim, Ya Rahim….”
“Ya Jabar, Ya Jabar, Ya Jabar….”
Fatin terus menyeret langkahnya, tak peduli dengan
hawa dingin yang kian membeku.
Sesekali dari
mulutnya mengesahkan doa yang takzim, dipanjatkan kepada Sang Khalik.
“Tuhan, hamba mohon.... Jangan tinggalkan aku,
jangan tinggalkan aku!”
Dari
rahimnya mengucur darah segar tapak penganiayaan Frankie.
Sesekali mata si kecil terpicing, melotot ke arah bercak darah yang
ditinggalkan ibunya. Namun, ia tidak bicara apapun lagi, kembali memejamkan
matanya, tertidur dalam gendongan ibu tercinta.
Inilah ketangguhan seorang ibu sejati!
Fatin terus berjalan, berjalan dan berjalan.
Entah berapa kilo, entah sampai di mana.
Hanya satu yang ingin dilakukannya saat itu; menyelamatkan diri dan
anaknya!
Dalam kondisi memilukan begini seketika kenangannya kembali ke masa
kanak-kanak di kampung halamannya, Desa Bojongsoang, Cianjur, Jawa barat,
Indonesia.
@@@
Posting Komentar