Ilustrasi: Ini kunjungan ke KBRI Kairo 2012
Anno Juli 2005, Mesir:
Seperti yang terjadi di belahan dunia manapun (hidup FLP
Sejagat!), FLP Mesir juga mengaku sering tersandung kendala keuangan, apabila
ingin menyelenggarakan kegiatan. Jauh-jauh hari sebelum kedatanganku di bumi
Kinanah, Nidhol salah seorang pengurus FLP Mesir, sudah mengatakan hal itu
kepadaku.
Mereka memang tak punya dana jika ingin mendatangkan para
seniornya dari Indonesia. Demikian sejak Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia
berkunjung ke Mesir, demikian pula hingga aku dan kawan-kawan. Tapi kali ini FLP
Mesir terlibat langsung sebagai bagian dari panitia, selain PPMI, Orsat ICMI
Kairo dan pihak KBRI.
Aku menangkapnya sebagai ‘bargaining position’ FLP Mesir
sudah cukup kuat di tengah komunitas lainnya. Sejak diresmikannya, 2000, FLP
telah mengalami pergantian pengurus lima kali; Fera Andriani Tidjani, Habiburahman El Shirazy, Saiful Bahri, Mukhlis
Rais, Indra Gunawan.
“Tapi jangan khawatir, Teteh, insya Allah kami akan melayani
Teteh sebaik-baiknya,” janji seorang adik FLP membuatku sangat terharu.
Dan itu memang dipenuhinya, terbukti sejak aku menginjakkan
kaki di Bandara Matour, dia selalu menanyakan keadaanku melalui cecaran
SMS-nya. Walaupun sosoknya entah berada di mana. Hehe.
Setelah beberapa hari rombongan dari Indonesia (Gola Gong,
Fauzil Adhim, Irwan Kelana dan aku sendiri) diunyeng-unyeng
alias diperebutkan untuk mengisi berbagai acara; pelatihan, seminar, ceramah
dan dari satu perjamuan ke perjamuan lainnya.
Siang itu, akhirnya giliran adik-adik FLP Mesir ‘menculikku’
ke markas mereka. Tentu saja Gola Gong pun menyertai langkahku untuk
silaturahmi dengan FLPer di Mesir ini. Oya, kami sama-sama diamanahi sebagai
anggota Majelis Penulis di Forum Lingkar Pena. Tugas MP sudah dibagi-bagi, aku
dan Gola Gong kebetulan satu tim, yakni memantau perkembangan FLP wilayah
Sumatra.
Sementara mancanegara bagian Asma Nadia dan Jamal D. Rahman.
Meskipun demikian, bila ada kesempatan seperti ini tak ada salahnya kami
bersinergi, saling menguatkan, menyemangati, mengompori FLP wilayah manapun.
“Jauh gak dari sini?” tanyaku di tengah-tengah suhu 41
derajat Celsius.
“Gak jauh, Teh, beberapa blok saja. Kita bisa naik taksi
atau tramko dari sini,” jelas Erna, salah seorang aspri.
Ada tiga akhwat yang sangat perhatian mengurus segala
keperluan sehari-hariku selama di Mesir; Nenk Sausan, Robiarini dan Erna.
Sebelumnya kami pernah bertelpon-ria, saat Erna pulang dan
tinggal di Gunung Putri Bogor. Tidak sempat bertemu, bahkan aku menitipkan
buku-buku untuknya pun via Annida,
di Kairo-lah akhirnya kami dipertemukan-Nya.
Sesungguhnya migrain ringan mulai menyerangku setiap kali
keluar rumah, terutama selalu terjadi kalau aku ingin menyegarkan badan. Jadi,
terpaksa sekali aku harus membatasi diri keluar rumah, saat matahari tepat di
atas ubun-ubun. Meskipun hari sudah menunjukkan pukul tiga atau empat petang,
tapi hawa panas masih terasa menyengat dan sungguh bikin kepalaku keleyengan.
Pukul 16.00 setelah rehat, sepulang dari jalan-jalan ke Giza
Pyramid, melihat Pyramid dan Sphinx. Kami pun meninggalkan Graha Jatim, wisma
bertingkat lima di kawasan Bawabah 3, Hay Asyir (Distrik 10) Nasr City, Cairo.
Konon, inilah gedung terbagus dan megah milik komunitas
Indonesia yang berasal dari Jawa Timur. Belum lama diresmikan oleh Profesor
Bahtiar Aly, Dubes RI untuk Mesir.
Selama tiga hari kami menginap di Wisma Nusantara. Karena
keberadaan kami ditunda lima hari lagi, sedangkan Wisma Nusantara akan diisi
oleh pihak lain, maka kami pun boyongan ke Graha Jatim yang kondisinya jelas
jauh lebih representatif.
Kami bertiga, aku, Erna dan seorang akhwat utusan FLP Mesir,
berangkatlah pada petang yang masih sangat terang dan gerah itu. Punten jadi
lupa deh namamu, duh! Adikku yang pakai cadar putih, sekali lagi punten pisan, ya!
Beberapa menit kami beriringan menuju jalan raya. Sementara
Indra Gunawan (Ketua FLP Mesir 2005-2006), Yayan Suryana, Udo Yamin, Edi, Teguh
Hudaya dan lainnya telah lebih dulu menuju TKP.
Gola Gong tentu saja bersama rombongan Indra. “Kita berjalan
kaki saja, ya, itung-itung ngalempengkeun cangkeng!” kata GG yang selalu tampak
semangat dan enerjik itu.
Bayangkan saja! Di tengah terik pun GG bisa-bisanya dolanan
ke stasiun kereta bawah tanah. Dan itu dilakukannya sejak hari pertama. Sepertinya
jiwa tualangnya si Roy (Balada si Roy) kambuh!
“Kenapa jarang yang punya payung di sini, ya Er?” usikku
keheranan.
Satu-satunya payung yang dipinjami seorang ikhwan, malah
rusak terkoyak angin hebat ketika kami jalan-jalan ke Pyramid pagi tadi. Kami
tak berhasil meminjam payung lagi sejak itu.
“Mmm, bagaimana, ya… Mungkin karena gak ada hujan, Teteh.
Soalnya kalau panas, yaah, kami bisa tahankan saja,” sahutnya bikin aku nyengir kepanasan.
Sesaat kubayangkan, betapa menderitanya pasien lupus bila
tinggal di negeri 1000 menara ini. Masih mending thalasemia ‘kali yah, hehe,
ada-ada saja!
“Jangan kaget, ya Teteh, taksi di sini bukan seperti taksi
di Jakarta,” jelas si adik cadar yang segera diiyakan oleh Erna.
Tentu saja aku sudah tahu hal ini. Sebab aku termasuk
‘maniak’ bila urusan cermat-mencermati orang-orang, benda-benda dan situasi di
sekitarku. Satu hal yang sering menjadi kekesalan dan kemarahan bapak si Butet,
terutama di awal-awal pernikahan. Mungkin dia merasa cemburu atau terpinggirkan.
Sehingga akhirnya aku mengambil sikap pasif, banyak menunduk, apabila jalan
bareng ayah anak-anakku itu.
Model taksinya memang mengingatkanku akan sedan tahun 50-an,
kendaraan pribadi yang ada di film-film India. Kendaraan di jalanan Kairo
kulihat berseliweran, dikemudikan ngebut dan terkesan serampangan. Ada beberapa
kali mulutku berseru kaget, di depan mataku kerap nyaris terjadi tabrakan.
“Kayaknya galakan orang daripada sopirnya, ya? Hhhh!”
komentarku sambil berlagak ketakutan, membuat Erna dan rekannya tertawa geli.
“Tenang saja, Teteh… Masyarakat Mesir ini termasuk bangsa
yang santun kok,” kilah adik cadar.
“Iya, Teh. Kalau sudah berbantahan biasanya mereka segera
bersalaman dan lama berangkulan. Sama sekali gak ada dendam,” tambah Erna.
“Pssst… lihat tuh Arab satu itu, wuiiih! Ganteng-ganteng,
masih muda begitu kok darting, yah?”
“Darting apaan, Teteh?”
“Darah tinggi… gitu looooh!”
Dalam beberapa hari itu hatiku diliputi perasaan bahagia,
senang dan terharu. Aku bisa berjumpa dengan anak-anak muda yang memiliki
semangat tinggi, ekstra enerji dan idealisme. Mereka menganggapku sebagai
bunda, meskipun tetap memanggilku dengan sebutan Teteh. Biar berasa ikutan muda
deh, aah!
Komentar-komentarku, celetukan
yang ceplos-ceplos dari mulutku
sering membuat suasana semarak. Aura canda dan tawa seolah-olah gampang
menyebar ke sekitarku. Bahkan di seminar umum yang menembus 1000 orang itu,
manakala aku geumpeur alias gugup
luar biasa. Fheeew!
Akhirnya kalimat pertama yang terucapkan dari mulutku;
“Aduh, sebenarnya, terus terang saja yah, Saudara. Mohon dimaklumi, ini sayah
mah da geumpeur atuh berdiri di hadapan Saudara-Saudara teh…”
Geeeer! Termasuk Dubes Bahtiar Aly dan jajaran staf KBRI
kulihat tertawa lebar. Kalau sudah mendengar gema geeer demikian, biasanya
jantungku yang degdegplas, perlahan
tapi pasti kembali normal.
“Aduh, gimana nih? Taksinya pada gak mau ngangkut kita,
Teteh,” kesah Erna setelah beberapa kali menghentikan taksi, tapi tak satu pun
yang mau menyilakan kami naik.
“Terlalu dekat ‘kali, ya?” tebakku. “Kenapa gak jalan kaki saja?”
Erna menatap wajahku dengan iba. “Jangan, Teteh, buat kami
sih gak apa-apa. Tapi jarak sejauh itu lumayan buat Teteh. Jangan, ah, tadi kan
kita habis jalan-jalan.”
“Ya, sudahlah, pakai itu saja, apa namanya; tramko?” kataku
memutuskan.
Kendaraan ini juga mirip angkutan di Tapanuli Selatan,
kampung halaman bapaknya anakku. Begitu sebuah tramko lewat, kami pun bergegas
menaikinya. Adik cadar beberapa kali meminta maaf atas ketaknyamanan. Aku harus
menghiburnya dengan merangkul, dan mengusap-usap punggungnya, mengalirkan aura
persahabatan, cinta yang tulus.
“Bagus kan begini, Teteh bisa merasakan bagaimana naik
angkotnya Kairo,” ujarku serius.
Saat itu aku berpikir, Mesir memang perpaduan antara
kekunoan dengan kemodernan. Di satu sisi bangunan-bangunan apartemen menjulang
tinggi, pemukiman penduduknya tampak modern dan Barat sekali.
Tapi di sisi lain kendaraan kuno, sistem serba manual,
bahkan penghitungan nilai di Al Azhar pun masih mengandalkan tangan dan tenaga
manusia. Komputerisasi baru diterapkan di beberapa fakultas.
Sesampai di markas FLP Mesir yang ternyata menumpang di
sekretariat PPI, bersebelahan dengan tempat tinggal Dalih, Teguh, Edi dan
barisan FLPers sudah menanti. Wajah-wajah yang tulus, menawarkan semboyan;
“Mari kita belajar dan maju bersama!”
Satu per satu wajah-wajah yang baru kujumpai, tapi sudah
akrab dan sangat familiar melalui imel pun berdatangan. Aku mulai
jeprat-jepret, yaaah, kesempatan baik ini kapan lagi?
Sambil menanti lebih banyak yang berkumpul, ruangan pun
seketika diwarnai dengan canda dan tawa. Kalau kuperhatikan di sini lebih
banyak ikhwannya daripada akhwatnya.
“Hmmm, boleh juga nih ‘ta sambung-menyambungkan?” candaku
yang segera disambut dengan antusias oleh para ikhwan. Kelihatannya mereka
sudah siap dicarikan akhwat!
“Ke mana anakku, Nidhol?” selidikku tentang salah satu FLPers
yang paling sering chatting, terkait dengan kedudukannya sebagai sekretaris
panitia. Dia juga sebagai penyambung lidahku selama proses ‘mendatangkan
kwartet penulis Indonesia’ yang sangat alot itu.
“Kebetulan dia lagi sibuk LPJ di PPMI, Teh,” sahut Yayan
Suryana.
“Iya, sebentar lagi akan ada peralihan kepengurusan di PPM,”
tambah Saiful Bahri.
“Woooi… Indra Gunawan, San Maeza,” olokku tiba-tiba melirik
ke arah sang Ketua yang sibuk mengedarkan aqua sambil mengabsensi.
Mmm, Ketua yang sangat santun, rajin, baik hati dan jujur!
“Ya, ada apa, Teh?” tanyanya serius sekali.
“Kaau lihat sepintas pertama kali, kesannya dirimu itu pendiam.
Tapi ternyata… ehem!”
“Ehem… apaan Teteh?” Indra menatapku ingin tahu, absensinya
sudah selesai dan duduk dengan rapi dekat Udo Yamin. Wuits, penasaran juga
rupanya dia!
Indra Gunawan yang memilih nama pena San Maeza masih
menunggu kelanjutan bicaraku. Beberapa kali wajahnya sempat kurekam dalam
kamera digital milik Seli, menantuku.
Sementara Neng Beth, sekarang aku diberi tahu Saiful Bahri,
tentang nama dara bercadar yang menjemputku dari Graha Jatim itu. Pssst,
barusan saja via SMS.
Neng Beth sibuk mengedarkan cemilan bawaan beberapa FLPers;
bolu, kripikan dan kacangan. Ada juga anggur hijau, bentuknya kecil-kecil,
harganya hanya tiga pound sekilo, satu pound sekitar 1900 rupiah.
Buah-buahan tropis yang eksotis itu harganya memang murah
sekali. Bandingkan dengan harga anggur di Indonesia yang bisa mencapai 30
ribuan per kilonya, karena termasuk barang imporan.
Konon, sepanjang musim, sepanjang waktu, bumi Kinanah
dibanjiri berbagai macam buah tropis. Luar biasa berkahnya Sungai Nil!
“Penasaran amat,” ledekku sekadar untuk berakrab-akrab.
Selama di Kairo, aku malah jarang sekali bertemu dengan
Indra juga FLPers lainnya. Maklum, panitia penyelenggaranya bukan hanya FLP,
jadi kami harus mengikuti protokoler; berbagai acara sudah dijadwal ketat sekali.
“Sosokmu
ini, wajahmu… eeh, tauk gak sih? Ada yang mirip kamu tuh di FLP DKI!”
“Siapa
tuh, Teteh?”
“Mmm,
Zae…”
“Siapa?”
“ZRT, Zaenal Radar yang nulis Lajanger,” ujarku sambil
ketawa. “Tapi si Zae mah hobi tebar pesona, ups, Butet yang bilang! Eh, Indra sih
gak ya?”
Tawa pun meledak. Ruangan yang sesak dan gerah diwarnai ger
kembali. Percakapan semakin renyah, kemudian bergulir menjadi serius manakala
yang datang semakin banyak.
Lesehan diawali dengan tilawahan. Kalau tak salah Abu Dzar,
suaranya merdu sekali. Belakangan kutahu, anak-anak Al Azhar memang memiliki
suara yang merdu-merdu.
“Sekarang, silakan satu per satu mengenalkan diri,” usul
Gola Gong yang selalu dikawal bergantian oleh ketiga ajudannya; Dalih, Tawali
dan Zaki. Tapi saat itu Zaki lagi belanja, mau cari oleh-oleh buat keluarganya
di Aceh. Dia akan pulang dulu selama liburan kali ini.
Bergiliran memperkenalkan diri, termasuk beberapa akhwat,
kalau tak salah ada lima orang. Ada Umi Kulsum yang membawa dede kecilnya.
Sayang sekali, aku tak melihat Muzayyenah, beritanya dimuat
di Harian Republika, peraih summa cum
laude tiga kali berturut-turut yang sekarang tengah S2. Mungkin karena
sedang hamil tua, harus menjadi kondisinya. Oke, selamat dan sukses selalu, ya
Muzayyenah!
Giliran kami bicara kupersilakan Gola Gong lebih dahulu.
Pengelola Rumah Dunia ini berbagi kisah seputar komunitasnya di Serang-Banteng,
pengalaman rohaninya; hijrahnya dari kepenulisan populer ke sastra Islami. Tak
lupa Gola Gong menularkan wabah menulisnya kepada adik-adik FLP Mesir.
“Kalian gak perlu selalu berpegang ke teori-teori yang sudah
ada…Jadilah diri kalian sendiri!”
“Jangan menjadi orang pinter, tapi kepinterannya hanya untuk
membodohi sesama.”
Dan banyak lagi kisah hikmah Gola Gong yang bisa diambil
ibrahnya oleh siapapun. Aku sendiri lama tercenung. Terutama mendengar
pengalamannya yang unik, ketika dia bertualang ke India dan Nepal, melihat
komunitas miskin, tempat Bunda Theresa mengabdikan hidupnya.
Tiba giliranku berbagi pengalaman, seketika ada keharuan mendalam
yang menyentak dari dada, parat terus ke sudut-sudut mataku. Aku tak pernah
membayangkan bisa melanglang ke mancanegara, lesehan dengan FLP Mesir. Ya Robb,
betapa Engkau sangat Kasih kepada hamba-Mu yang dhaif ini
Mereka ingin tahu bagaimana awalnya aku bergabung dengan FLP,
apa saja yang telah kulakukan dalam menerbitkan karya-karyaku, komunitas apa
saja sebelumnya dan sebagainya. Aku mencoba memuaskan rasa penasaran mereka
dengan lugas, seperti biasa masih diwarnai guyonan
khasku.
Dengan senang hati pula kukisahkan seputar proses
kreativitasku, semangat dan motivasi yang kumiliki; mengapa aku masih bertahan
dalam usia 49, pasien tertua di komunitasku yang lain, yakni komunitas kelainan
darah bawaan.
“Pernah loh aku jadi buronan Profesor, dia minta DNA-ku.
Konon, DNA-ku akan diperiksa di Amrik. Gak sudi aku! Gimana coba kalo tiba-tiba
ada kloningnya Pipiet Senja? Kan berabe tuh…”
Geeer!
Tak lupa aku me-warning
mereka tentang kebangkitan neokomunis, generasi muda kiri radikal. Sebab
tahun-tahun terakhir aku mengalami kejadian-kejadian aneh, teror di beberapa
wilayah. Bahkan di perguruan tinggi Islam sekalipun, jaringan Islam liberal
dengan gagahnya bercokol!
“Kalau kalian sudah kelar sekolah, S1, S2, S3, pulanglah! Bangunlah
kampung halaman kalian.” Gola Gong pun mengingatkan.
“Indonesia membutuhkan kalian!”
“Semakin merebak orang-orang yang mengaku kyai-dukun, kyai
pikun…”
“Sebenarnya aku tahu bahwa yang dikatakannya, juga sikapnya
itu tidak benar. Sayang sekali, aku gak punya ilmunya untuk berdebat dengan
mereka.”
Silih berganti kami menyemangati. Kelihatannya wajah-wajah
muda itu sangat terkesan. Namun yang paling kami inginkan tentu saja bukan
sekadar terkesan, melainkan kesadaran untuk secara terus-menerus memperkuat
barisan mujahid pena, dakwah bil qolam, melahirkan karya-karya berkualitas yang
membawa pencerahan bagi umat.
Acara ditutup dengan doa dipimpin oleh Saiful Bahri.
Kemudian potret-potret bersama, mengganyang cemilan dan minuman segar. Aku
sempat membeli dua buah kaos bergambar Al Azhar yang dijual oleh Teguh.
Meskipun sempat diingatkan oleh Dalih bahwa kaos-kaos itu disablon dan dibawa
dari Tanah Air.
“Tidak apa-apa, anakku,” kataku tertawa kecil.
Aku tidak akan melupakannya. Terutama ketika kami menuruni
tangga apartemen itu. Ada yang berkecamuk liar di benakku; apa ini untuk
pertama dan terakhir kalinya kami bertemu, kira-kira masih ingatkah mereka
ketika sudah kembali ke Tanah Air?
Dua-tiga… lima tahun lagi, sepuluh tahun lagi, mereka akan
menjadi para pemimpin bangsa! Akan ingatkah mereka kepadaku? Ah, ada-ada saja
imajinasiku ini!
Kami kembali ke gedung Graha Jatim untuk rehat. Sebelum
kemudian kami akan dijemput untuk memenuhi undangan jamuan makan malam di rumah
Bapak Mukhlason, staf lokal KBRI.
“Euleuh-euleuh… dahar wae ieu mah,
yeuh!” komentar Gola Gong
sambil mengelus-elus perutnya yang tampak sekali mulai membuncit.
Dia bercanda, perutnya selama di Mesir sudah dizalimi dengan
berbagai macam penganan yang enak-enak. Hal ini diakui juga oleh Fauzil Adhim
dan Irwan Kelana. Diam-diam aku pun mengakui bahwa rok panjangku sudah tak bisa
dikancing dengan baik lagi.
@@@
Posting Komentar