Satu hari di holaqoh HongKong bersama BMI.
Anekdot Dakwah:
Hafalan Lenyap Lihat Paha Berseliweran
Haven Street-Li Wen Court, Hong Kong, 7 Oktober 2011.
Ketika pertama kali datang ke negeri beton ini, jujur saja aku sempat terkaget-kaget dengan perilaku warganya.
Mulai dari yang selalu memandang penuh curiga dan selidik ke arahku, apalagi jika pakai jilbab putih, terutama yang nenek-neneknya. Hatta, menurut kepercayaan mereka bahwa warna putih identik dengan kematian. Bahkan ada sebagian lansia yang sepertinya takut, kalau diriku akan meneluhnya alias menganggap si jilbaber putih sebagai dukun teluh. Hehe.
Pernah satu kali berpapasan dengan nenek 90-an, tiba-tiba dia meludahi mukaku;”Uhuk, uhuuuuk, crooot!” Begitulah kira-kira bunyinya.
Dan bagaimana cara jalan mereka yang bersicepat, gradak-gruduk!
Disiplin yang sangat dipatuhi. Wow, ini patut diacungi jempol. Sehingga kadang aku nyaris meragukan; apakah orang macam ini, disiplin tinggi begini bisa sekejam itu memperlakukan pembantunya, ya?
Aneh tapi nyata!
Suara yang selalu tinggi, terkesan temperamental. Ternyata orang Batak, eh, bangsanya bapak si Butet tak seberapa suaranya jika dibandingkan warga Hong Kong. Aha, kalahlah itu halak hita, bah!
Sampai urusan mempertontonkan aurat dan adegan romantis di tempat umum. Masya Allah, astaghfirullah….(gak pake alhamdulilah banget nrh, gaya Syahrini!).
Hampir di setiap sudut banyak ayam-ayam yang bisa bicara, bisa berbaju, bisa berlari. Ini istilahnya A Chin, si pemandu turku di Guangzhou. Mereka berbusana sangat minim, sudahlah mempertontonkan belahan dadanya sebelah sini, nah, sebelah sana pamer paha dengan nyaris hanya pakai secarik segitiga terbuat dari jins.
Ada guyonan yang kudengar dari seorang teman Ustadz.
“Bagaimana gak jadi dosa ya buat kita lelaki nih, Teteh. Lah wong, lirik kanan paha mulus, lirik kiri dada menantang. Hadeuh!” kesahnya, terdengar masygul.
“Pernah lihat yang horornya, ya Ustadz?”
“Huuu, seriiing! Hampir tiap sudut kota ada yang berciuman mesraaaaaa bangeeet!”
“Ya wis, anggap saja itu bonus,” ledekku menahan geli.
Nah, satu kali ada muridnya temanku ini datang dari Jakarta, aslinya dari Jombang, Jawa Timur. Ceritanya Ustadz yang masih lajang ini bertugas untuk memberikan tausyiah, pencerahan keliling negeri beton. Tentu saja di kalangan BMI muslimah, bukan non Islam, apalagi dengan cara pemaksaan yang mengarah pemurtadan.
Hari pertama perjalanan dari apartemen tempatnya menginap menuju taklimnya lumayan jauh, hampir sepertiga Hong Kong. Pendeknya jauh banget, dan tentu saja matanya dipaksa melihat berbagai hal. Heuheu.
Ketika malamnya mereka bertemu dan mengaji bersama, temanku terheran-heran dengan tingkah muridnya. Mendadak gugup, tergagap, dan yang mencolok dia tidak mampu membaca hafalan ayat-ayat suci yang biasanya sangat fasih dirafalkan di luar kepala.
“He, Fik, ada apa dengan ente?” tanya temanku. “Mengapa mendadak tergagap dan hafalanmu kacau-balau begitu?”
“Begini, Ustadz,” sahutnya dengan wajah memerah.”Selama perjalanan itu, ana sudah berjuang keras biar gak perlu melihat pemandangan seronok. Ana selalu menunduk, menunduk dan menunduk….”
“Baguslah begitu,” puji temanku.
“Tapi justru gara-gara menunduk terus itulah, ana jadi sering lihat betis-betis berseliweran.”
Nah loh, baru lihat betis saja sudah banyak hafalan yang lenyap dari memori otaknya. Apatah pula andai yang berseliweran lebih dari itu. Alamak!
@@@
Posting Komentar