Ilustrasi di Kuala Lumpur
Causeway Bay, Kamis, 6 Oktober 2011
Kemarin hari libur bersama di Hong Kong, sekolah dan kantoran tutup, mereka menyebutnya sebagai Hari Kuburan. Orang-orang (terutama) yang sudah tua, dan memang sudah mendekati tanah kubur, hatta, berbondong mendatangi kuil-kuil dan kubur leluhur.
Setelah acara workshop kepenulisan di St. Mary’s, aku diantar seorang anak BMI, tepatnya ditaksikan oleh Bertha Siagian dari Sheung Wan, pulang ke kawasan Causeway Bay. Rehat sebentar untuk sholat, kemudian menerima kedatangan seorang remaja (19) yang ingin curhatan.
Sesungguhnya aku enggan menulis urusan murtad dan pemurtadan, tepatnya dari Muslim dipaksa memeluk agama lain. Hal ini pun saya hindari ketika setahun yang lalu, pertama kali datang di negeri beton, meskipun beberapa anak di shelter curhatan perihal pemurtadan. Bahkan saya memiliki rekaman acara pemurtadan tersebut, dilakukan di sebuah shelter di kawasan Tin Hau.
Pada buku Kepada YTH Presiden RI, besutan aku, sama sekali tak merambah ke urusan yang satu ini. Banyak sahabatku non Muslim, kami berhubungan dengan baik-baik saja, saling menghormati. Pendeknya; agamamu ya agamamu, agamaku ya agamaku.
Ya, aku tidak menuliskannya, kuatir malah menjadi SARA.
Namun, kali ini, ketika aku kembali ke Hong Kong, dan ternyata aroma itu telah berubah menjadi gerakan hebat; pemurtadan, pemaksaan dari BMI Muslim menjadi non Muslim. Bahkan sudah menjurus kepada urusan melukai hati, jiwa, sama sekali tak ada hormatnya sedikit pun. Akhirnya aku tak tahan, ingin menjerit juga, menyeru asma-Mu; Allahu Akbar!
Sebagai seorang Muslimah tak urung hati ini hancur, berontak dan timbul semangat ghirah keislaman yang menggebu. Jelas sekali, pemurtadan di kalangan BMI Hong Kong semakin menjadi-jadi. Mulai dari diiming-iming sesuatu barang yang diinginkan, disekolahkan ke luar negeri sampai dihipnotis, bahkan dengan cara-cara; mendatangkan para pemuka agamanya, langsung diminumi air yang diyakini suci sambil bernyanyi; Haleleuyah!
Inilah curhatan Siti (bukan nama sebenarnya) kepada kami, relawan Dompet Dhuafa, beberapa jam yang lalu.
Siti berasal dari Tulungagung, lima bulan yang lalu memasuki negeri beton sebagai BMI. Agen menempatkannya di sebuah keluarga yang taat, boleh dibilang fanatik non Islam. Sejak hari pertama kedatangan Siti di apartemen kawasan North Point, majikan pasustri secara bergantian langsung memberi pengarahan perihal agama.
"Kamu Islam, ya? Buat apa beragama Islam?” tanya majikan perempuan.
“Islam kan identik dengan teroris. Apa kamu tidak takut dicap teroris?” tambah majikan lelaki dalam nada menyudutkan.
Siti hanya tersenyum, tidak mengiyakan dan tidak juga membantah. Dia pikir, paling majikan sekadar ngetes saja, besok juga bakal lupa. Ternyata tidak demikian, dari hari ke hari, waktu ke waktu, setiap kali ada kesempatan bertemu, kedua majikan secara rajin dan aktif sekali; menyebar ajarannya, mencekoki otak Siti dengan ayat-ayat kitab yang dianutnya.
Siti mengaku bahwa dirinya pun sebenarnya sekadar Islam KTP alias Islam keturunan, ikut orang tua belaka. Siti tidak sempat memperdalam agamanya, keyakinannya, sesuai syariat sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah Saw. Dia hanya lulusan SD, langsung sibuk bekerja untuk membantu keluarganya yang di bawah garis kemiskinan.
“Tapi aku suka mendengar Simbok mengaji, merafal Al Quran, dan aku hafal surah-surah pendek, suka solat juga biar masih bolong,” paparnya mengaku. “Mungkin karena itu, tiap kali majikan memaksa minum air, entah apa namanya itu, aku merasa tersiksa. Rasanya sekujur tubuhku mendadak lemas sekali, seperti ada yang melolosi tulang-tulang….”
Selama itu pula Siti bekerja, bersih-bersih rumah, memasak dan hanya mengurusi suami-istri yang tak punya keturunan itu. Majikan tidak membolehkannya keluar rumah, tidak beri cuti dan melarangnya pergi ke pasar. Siti tak ubahnya disekap dan tak bisa berkomunikasi dengan siapapun.
Tiap hari Minggu majikan mengajaknya pergi ke tempat peribadatan.
Di situlah Siti bisa menyaksikan prosesi pemurtadan. Teman-teman sesama BMI dibawa oleh majikan masing-masing, sebagian ada juga yang datang sendiri, mereka telah dibaptis sebagai pemeluk Kristiani. Biasanya mereka mengajak para korban bujuk rayunya.
Siang itu, semuanya tanpa terkecuali, harus mengikuti tata-cara peribadatan mereka.
“Wahai, jiwa-jiwa yang kosong, masuklah kalian dalam ruh yang kudus…, bla, bla!”
Puncaknya, Siti dipaksa minum air suci. Demikian menurut pemuka agama yang didatangkan dari daratan Eropa. Jadwalnya dia pun akan dikukuhkanlah sebagai pemeluk Kristiani.
“Suasananya heboh sekali, teman-teman itu seperti kesurupan, kejang-kejang dan berteriak-teriak; ada ulat, ada ulaaaaat! Mereka dihipnotis, terus-menerus dicekoki minuman dan teriakan-teriakan agar mengakui Dia sebagai Tuhan,” celotehnya terdengar gemetar, seolah-olah menyaksikan kembali prosesi pemurtadan yang harus dialami teman-teman sesama BMI.
Saat itulah, Siti yang sudah lemas, tiba-tiba merasa mendengar suara Simbok mengaji. Ada satu kekuatan ajaib merasuki tubuh Siti. Dia bangkit dan beralasan hendak pergi ke kamar mandi. Keluar dari kamar mandi, dia tidak kembali lagi ke ruang pengukuhan itu melainkan minggat!
“Ya, Bun, aku lari dan lari terus dari kawasan Tin Hau itu. Tahu dari mana kekuatan itu datangnya. Pokoknya, di mataku bayangan Simbok, di kupingku suara Simbok mengaji, terus mengejar ke manapun kakiku melangkah. Allahu Akbar!”
Kini Siti tinggal di shelter di kawasan Causeway Bay, menanti uluran tangan berbagai pihak, agar bisa bekerja di negeri beton tanpa harus dipaksa berganti keyakinan. (Causeway Bay, Hong Kong)
@@@
Posting Komentar