Sinopsis Cerita
Kisah Jihad El-Fauzi, menceritakan tentang perjuangan seorang anak yatim-piatu di masa revolusi fisik. Umur Fauzi 8 tahun. Emak-Abah dan kakak perempuannya telah gugur oleh kekejian NICA. Saat peristiwa tragis menimpa keluarganya terjadi, Fauzi sedang berada di luar kota. Dengan semangat jihadnya, Fauzi bertekad untuk menuntut balas. Ia pun kembali ke kota dan bergabung dengan para mujahid Hizbullah.
Di pesantren Al-Fallah, markas pasukan Hizbullah, Fauzi digembleng oleh para seniornya. Baik jiwa dan raga, maupun lahir dan batinnya. Meskipun dalam situasi perang, tapi Fauzi masih menemukan keriangan bocahnya.
Para senior itu; Hasan, Ahmad dan Tibana, lalu membentuk kelompok mujahid cilik. Yang di kemudian hari dikenal sebagai kwartet Jang Jahid. Mereka terdiri dari; Fauzi, Cecep, Ucok dan Damang. Mereka bahu-membahu dalam membantu para pejuang, gerilyawan kita. Acapkali Fauzi bersama tiga rekannya menyelundup ke kawasan musuh.
Mereka terlatih sebagai mata-mata cilik yang sigap, cekatan, berani dan mandiri.
Mereka tak pernah lupa akan iman Islam dan kewajiban sebagai Muslimin.
Inilah kisah jihad empat mujahid cilik dari pesantren Al-Fallah.
Sekali lagi, mereka adalah kwartet Jang Jahid.
Yel-yel mereka; Allaaaahu Akbaaar!
Atas Nama Allah, Merdekaaa!
***
Para Tokoh di Sekitar Kwartet Jang Jahid
Fauzi; bocah laki-laki berumur delapan tahun. Sepintas seperti serius dan pendiam. Tapi kalau sudah kumat penyakit riang dan ngocolnya, jangan dibilang lagi deh. Pokoknya, asal ada anak ini suasana tegang bakal mendadak heboh, malah sering dramatis. Hehe, kayak cerita sinetron Indonesia aja nich. Fauzi dianggap para seniornya paling cerdik dan punya ilmu lari kancil. Punya segudang ide dan gagasan buat ngebabat leher musuh, ooiii… syeraaam!
Berkat keberaniannya, dia dipercayai menjadi komandan Kwartet Jang Jahid. Tubuhnya pendek kekar, tapi gerak-geriknya amat cekatan Makanya, dia digelari Jenderal Kancil. Cita-citanya memang menjadi seorang Jenderal… kancil ‘kali ya?
Cecep; paling sepuh di antara ketiga sohibnya (12 tahun). Cuma kelakuannya kadang lebih mbocah dibanding anggota Kwartet Jang Jahid lainnya. Kepalanya selalu dibiarkan gundul. Soalnya ia pernah bersumpah; gak bakalan pelihara rambut sebelum Tanah Air Merdeka, cieee… Gayanya tuh!
Perawakannya bongsor alias tinggi gede. Paling doyan ubi rebus dan hobinya ngetepel kepala NICA dengan sisa ubi rebusnya, atau telor busuk. Pernah lho, dalam sehari dia sukses nimpukin selusin kepala NICA… gak ketahuan lagi! Konon, cita-citanya kalau Indonesia sudah merdeka, mo jadi Al-Ustaz.
Ucok; (9 tahun) satu-satunya anak Batak yang nyasar di tanah Pasundan kala itu. Gabung dengan Kwartet Jang Jahid dengan alasan sepele, kepingin puas melototin ikan-ikan gurame di empang milik Ajengan Satibi. Ditambah biar kenyang ngelalap macam-macam daun di kebon belakang pesantren Al-Fallah. Tapi urusan mata-matain musuh, dia paling-paling deh semangat mbataknya…
Sering ngelamun, kalo Indonesia sudah merdeka, dia mo naik kapal laut nengok tanah leluhurnya di Mandailing. Kalo ditanya di mana tuh Mandailing, dia sendiri kagak nyaho!
Damang; (8 tahun) ini anak asli ortunya dari Irian. Rambutnya keriting bonyok alias kribo. Karena pas bayi sering sakit-sakitan, ada tetangga yang beri saran sama ortunya. Supaya nama aslinya yang Suebu… apa gitu, diganti aja jadi Damang. Ini bahasa Sunda, artinya sehat sejahtera. Sejak diganti namanya, anak ini gak pernah sakit lagi. Takut diganti lagi namanya ‘kali, ya? Bakal ngerepotin ortunya lagi, bikin bubur merah bubur putih lagi. Cita-citanya kepingin jadi Gubernur Irian, katanya, hehe…
Kang Hasan; (17 tahun) keponakan Ajengan Satibi yang paling heboh. Dia mahir mengpo, alias pencak silat tradisional Sunda. Pas banget dengan perawakannya yang jangkung tegap. Dia menguasai segala macam jurus silat, mulai dari Cimande, Cisangkuy, Cimindi, Cibabat, Cimahi… emang ada jurus silat begitu, ya?
Dia digelari Si Belut Putih, karena sering banget sukses mengecoh musuh. Amanat Ajengan yang sangat dihormatinya, agar menggembleng habis empat bocah ajaib itu, dilaksanakan Hasan dengan sungguh-sungguh. Hasan menerapkan disiplin yang ketat, tanpa ampun kepada keempat bocah gemblengannya. Kharismanya berhasil mempengaruhi bocah-bocah itu. Mereka menyayangi sekaligus… nggemesinnya!
Aa Ahmad; (l6 tahun) santri paling pendiam di antara puluhan santri yang menghuni pesantren Al-Fallah. Tapi sekalinya pidato, wuaaah deh, memukau para pendengar dengan semangat jihadnya. Wajahnya mirip Bung Hatta, tapi dia gak suka urusan koperasi. Lebih suka nyowel sambel terasi bikinan Amih Ikah aja, katanya, syadaaap! Dia kebagian menggembleng empat bocah itu untuk urusan taktik dan strategi penyerangan. Fauzi sangat mengagumi ide-idenya yang dianggap cemerlang.
Aa Tibana; (15 tahun) adik bontot Amih Ikah. Suka digelari Al-Daud, karena suaranya yang sangat merdu. Pasih tilawahnya, banyak bacaan Al-Qurannya. Kalau dia sudah berdiri di podium, melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran, konon bahkan angin pun berhenti berdesir… Aa Tibana kutu buku, gak heran wawasan dan ilmu pengetahuannya suangaat luaaas. Anak-anak pasti terpukau kalau sudah nanggap dia ngedongeng.
Imas; (7 tahun) putri semata wayang Ajengan Satibi. Rambutnya panjang bergelombang. Wajahnya bak bulan purnama dan imut-imut, perilakunya yang lemah lembut… sungguh memikat siapapun yang melihatnya. Termasuk anak-anak Kwartet Jang Jahid. Kadang suka berebut cari perhatian Neng Imas. Hobinya bersenandung-ria, eeh, kalo sekarang mah bernasyid ‘kali ya? Cita-citanya, mau jadi dokter, katanya.
***
Posting Komentar