Pagelaran Roro Jongrang di National Central University
Taipei, 14 Maret 2016
Diajak Dina Nur Ningrum Anggraeni, mahasiswi
program Master Biomedical ke acara Indonesian Curtural Day 2016 di kampus NCU,
National Central of Univercity Taiwan.
Dari
apartemen dijemput oleh Alex Wang dengan sedan jadulnya yang masih lancar dan
nyaman. Kami berangkat pukul dua siang, cuaca lumayan cerah kisaran 17 derajat
Celsius, setelah berhari-hari diguyur hujan dan suhu 12-14 derajat Celsius.
Sempat
terkaget-kaget dengan cuaca Taipei yang ekstrim, kita sedang enak hangat mendadak dingin
sekali dan diguyur hujan sepanjang hari. Pagi hujan dn dingin sekali, eh, siang cerah dn lumayan gerah. Jadi jangan kaget kalau kita sering salah kostum datang di acara formal.
Bayangkan saja, tampil sebagai pembaca puisi dengan jaket tebal panjang, padahal di luar gerah, Semoga ada yang menyadari kalau paginya memang dingin sekali. Hadeuh, sesuatu banget tuh!
Selama hampir sepekan tinggal di Negeri Formosa ini, tak sekalipun penulis melihat bulatan matahari keemasan, sebagaimana layaknya di daerah khatulistiwa, Indonesia.
Sima Kuan Ting Wu, yang bertanggung jawab mengurus penulis selama sebulan di Taipei, berpesn wanti-wanti sekali dan berulang kali. Agar penulis tidak lupa memakai baju hangat, bawa payung dan air panas di termos. Beberapa lembar pemanas tangan pun tak lupa dimasukkan ke tas.
Bayangkan saja, tampil sebagai pembaca puisi dengan jaket tebal panjang, padahal di luar gerah, Semoga ada yang menyadari kalau paginya memang dingin sekali. Hadeuh, sesuatu banget tuh!
Selama hampir sepekan tinggal di Negeri Formosa ini, tak sekalipun penulis melihat bulatan matahari keemasan, sebagaimana layaknya di daerah khatulistiwa, Indonesia.
Sima Kuan Ting Wu, yang bertanggung jawab mengurus penulis selama sebulan di Taipei, berpesn wanti-wanti sekali dan berulang kali. Agar penulis tidak lupa memakai baju hangat, bawa payung dan air panas di termos. Beberapa lembar pemanas tangan pun tak lupa dimasukkan ke tas.
Sima
turun di perpustakaan Briliant Time, penulis bersama Alex melanjutkan perjalanan. Jumpa Dina dan
Lina di seberang stasiun Nanshijiao. Barulah kami meluncur menuju kampus NCU di
kawasan Toyuan.
Poster di Parkiran
“Tiap
tahun mahasisa Indonesia selalu menyelenggarakan Indonesian Curtural Day di
kampus NCU,” jelas Dina. “Rekan-rekan Dosen sampai heran dan bertanya, mengapa
kalian itu senang sekali pamer seni dan kebudayaan Indonesia? Lah, kita kan
memang orang Indonesia harus bangga dan promo kebudayaan Indonesia. Hehe.”
Ini Baju Adat Aceh atau Minang
Duo cantik penjaga konter makan siang
Gerimis berhenti ketika kami memasuki areal kampus.Alex Wang ternyata hobi sekali jeprat-jepret, di berbagai sudut dia mengambil foto kami. Samar-samar musik Bali sudah terdengar. Ada properti yang mereka sebut Ogoh-ogoh, meskipun tdiak mirip sama sekali,menyambut kami di depang edung pertunjukan theater kampus.
Ini Baju Adat Aceh atau Minang
Duo cantik penjaga konter makan siang
Gerimis berhenti ketika kami memasuki areal kampus.Alex Wang ternyata hobi sekali jeprat-jepret, di berbagai sudut dia mengambil foto kami. Samar-samar musik Bali sudah terdengar. Ada properti yang mereka sebut Ogoh-ogoh, meskipun tdiak mirip sama sekali,menyambut kami di depang edung pertunjukan theater kampus.
Rino dari Malang si Bandung Bondowoso
Anak-anak
mahasiswa kemudian mengusung Ogoh-ogoh dan menarikannya dengan penuh semangat
sekali. Kadang musiknya diganti dengan Degung Sunda. Mendengar Degung Sunda dengan
kecapi dan sulingnya, seketika ada semacam sensasi ajaib memenuhi dadaku. Tak
bisa dijabarkan, ada haru-biru, semangat kebangsaan yang meremas kalbu. Entahlah.
Ini dia Ogoh Ogoh Taiwan
Dina
tiba-tiba berkata, “Rasa kebangsaan dan ghirah agama malah muncul mengalir
dengan kuat selama berada di Taiwan.”
Ia telah dua tahun berada di negeri ini bersama suami dan seorang anak.
“Ada saja yang suka melecehkan dan bilang, ngapain jilbaber menuntut ilmu di negeri kafir? Mereka tidak tahu, di sinilah justru banyak yang menemukan hidayah-Nya. Dari yang semula baju asal, kemudian berubah pake busana Muslimah, jilbaban.”
Ia telah dua tahun berada di negeri ini bersama suami dan seorang anak.
“Ada saja yang suka melecehkan dan bilang, ngapain jilbaber menuntut ilmu di negeri kafir? Mereka tidak tahu, di sinilah justru banyak yang menemukan hidayah-Nya. Dari yang semula baju asal, kemudian berubah pake busana Muslimah, jilbaban.”
Setelah
mengisi buku tamu kami diberi kupon, voucher makan siang menunya nasi
kuning, karedok, telor dadar dan pencuci mulutnya klepon. Di lantai atas ada
beberapa konter, sekadar pameran cinderamata. Ada juga makanan dan penganan
khas Indonesia yang dijual.
Roro Jongrang dari Batak
Selama
menanti pagelaran, pengunjung yang terdiri dari berbagai bangsa, tidak melewatkan
kesempatan ini. Kami saling berkenalan, bertukar kartunama, bahkan beberapa
terlibat diskusi mulai dari kesenian, budaya sampai politik. Penulis jumpa
dengn wakil Ketua KDEI, Bapak Siswandi dan Bapak Agung dari Dinas Pendidikan
dan Kebudayaan.
“Silakan
bikin seminar kepenulisan, di KDEI, kami siap memfasilitasi,” ajak Bapak Agung dengan
ramahnya.
Bagi
yang hendak menunaikan sholat, disediakan sudut untuk melaksanakan sholat
Maghrib. Tanpa terasa tibalah pagelaran kesenian yang diberi judul; Roro
Jongrang.
Semula
mengira akan menonton semacam teater, mengambil cerita Roro Jongrang. Ternyata
ini merupakan pagelaran kesenian tari, lagu dan musik dari Sabang sampai
Merauke, dibalut dengan sekilas pintas legenda Roro Jongrang. Tarian demi
tarian dan lagu demi lagu dari Aceh, Minang, Batak, Dayak, Manado, Jawa, Sunda,
Bali dan Papua, digelar silih berganti.
Berkapasitas 500 Penuh!
Bagus
dan sangat kreatif, dalam keterbatasan sibuk dengan kuliah, thesis, skripsi atau
mengajar dan penelitian ilmiah, mereka masih bisa berkarya. Padahal mereka sama sekali bukan
seniman, bukan artis profesional. Namun,
mereka menata dan mengekspresikan semuanya nyaris sempurna.
Setidaknya
pagelaran Roro Jongrang diperankan oleh Nancy Batubara dari Medan, Bandung Bondowoso
oleh Rino dari Malang, bersama para penari lainnya, berhasil mempromosikan
keindahan alam Indonesia beserta seni dan kebudayaannya.
Ada film pendek lengkap dengan subtitle dalam bahasa Inggris yang melatarbelakangi pementasan Roro Jongrang ini. Gedung theater berkapasitas 500 orang pun penuh!
Ada film pendek lengkap dengan subtitle dalam bahasa Inggris yang melatarbelakangi pementasan Roro Jongrang ini. Gedung theater berkapasitas 500 orang pun penuh!
Bravo
mahasiswa NCU Taiwan! (Pipiet Senja, Taipe, Maret 2016)
Posting Komentar