Bisa pesan via WA 08111581956
Suatu kali aku diminta
menggantikan Asma Nadia untuk mengisi acara di kampus IPB, Darmaga. Oya,
belakangan itu aku semakin sering menerima tumpahan job dari Asma Nadia dan Helvy Tiana Rosa. Biasanya kedua bersaudara
itu sudah dijadwal untuk acara yang memang datang lebih dahulu.
Beberapa sangat menguntungkan,
setidaknya mengasah keterampilan dan keberanianku tampil di depan publik. Tapi
ada juga yang berakhir dengan kekecewaan. Umpamanya, sudah tidak diberi fee, harus datang sendiri pula. Padahal
acaranya termasuk berat; pelatihan kepenulisan beberapa jam!
Dan undangannya lebih sering
dadak-dadakan, seperti main todong begitu saja. Sama sekali tak ada persiapan,
hanya dua lembar wacana yang diketik beberapa saat menjelang berangkat.
Suatu kali pernah pula tampil di
komunitas noni, para pesertanya bertampang Chines,
bermata sipit dan tempatnya di sebuah aula untuk latihan taekwondo. Di tengah
rehat setelah acara talkshow,
tiba-tiba diputar sebuah film mini… esek-esek!
Anda bisa bayangkan bagaimana aku
lari tunggang-langgang, ngibriiiit, dan sesampai di luar tak tahan lagi uhek-uheeekan!
Nah, acaranya sekali itu pukul
delapan pagi. Menurut Haekal yang juga kuliah di IPB, tetapi kampusnya di
Baranangsiang, KRL jurusan Bogor pagi hari hanya dua kali.
“Kalo gak naik KRL yang jam lima
baru ada lagi paling jam tujuhan. Bisa telat tuh. Belum lagi ke Darmaga,
wuiiih, muaceeet!”
“Bisa antar Mama?”
“Gak bisa, Ma, ada ujian nanti
siang. Tapi belum siap nih, sori, ya Ma, soriii…” kilahnya menyesal.
Bada shalat subuh pun aku sudah
meninggalkan rumah.
Suasana di atas KRL Kota-Bogor
segera menyambar hidungku. Mengingatkanku akan nuansa serupa, meskipun bukan
KRL, ketika remaja sering bolak-balik ke Rangkasbitung.
Para pedagang dengan pikulan dan
gendongannya, para karyawan, para pelajar. Semua, tak terkecuali berdesakan
pada pagi buta!
Beberapa menit setelah kereta
bergerak, serombongan pelajar STM merangsek dari gerbong belakang ke gerbong
yang kutumpangi. Seketika aku merasakan sesuatu yang tak nyaman sekali. Mereka,
wajah-wajah remaja berseragam abu-abu putih itu, jelas sekali menyimpan hasrat,
nafsu tak terkendali…
“Awasss… Bentar lagi, Jek!” seru
seorang anak muda yang berdiri tepat di tentangan mukaku.
“Bereees!” sahut temannya yang
dipanggil Jek, Jek saja sejak tadi.
Sreeek, sreek…
Dan tahulah aku! Benda-benda yang
mencurigakan di pinggang, perut dan tas mereka itu tak lain tak bukan adalah
senjata tajam. Ya, mereka telah menyiapkannya dari rumah.
Agenda mereka hari ini tawuran!
Jantungku berdebaran kencang.
Pukul lima lewat lima belas!
Aneh, kelihatannya para penumpang
lain hampir tak ada yang ngeh dengan
perilaku ganjil anak-anak itu. Padahal, jelas-jelas gerakan mereka semakin
mencurigakan. Doyong sana, doyong sini, gerak sana, gerak sini. Kompak, tapi
sangat gelisah, diliputi hasrat dan nafsu… menghancurkan!
Ya Tuhaaan!
Mataku menangkap rombongan lain
di balik pintu pembatas antargerbong. Dengan spontan aku meloncat, berdiri
tepat di depan hidung si Jek.
“Adek-adek sayang, tolong,
mohooon… Jangan tawuran, ya, jangaaan. Ayo, mundur ke sana, munduuur,”
ceracauku memohon-mohon dengan telapak tangan ditangkupkan di depan dada.
Persis seorang hamba sahaya
memohon kebijaksanaan dari Sang Maharaja!
Sementara kulihat di balik pintu
pembatas itu anak-anak sudah teriak-teriak, menantang. Caci-maki,
sumpah-serapah dengan istilah-istilah tak senonoh dan hanya mampu diucapkan
para preman, berandalan yang tak kenal etika pendidikan… campur aduk!
“Awaaas, mingggiiiirrr!” si Jek
menarik gobang panjang dari ranselnya.
Ups, dia menabrak bahuku keras
sekali, sehingga aku terjajar, tepat menimpa seorang kakek!
“Mending nyelamatin diri,
ayooook!” himbau si kakek.
Kepanikan, ketakutan dan
kengerian dalam sekejap menyilih kantuk yang semula sempat merayapi mata para
penumpang KRL.
“Neeeng…, cepetan lariiii!”
Si Kakek itu lagi. Dia
berteriak-teriak mengingatkan orang di sekitarnya agar menyelamatkan diri.
Bersamaan dengan teriakan-teriakan angkara yang semakin riuh saling menyahut
dari dua kelompok, tak pelak lagi aku pun terseret massa.
Sekilas kulihat para pedagang
yang pikulannya direbut anak-anak, secara serentak melakukan perlawanan. Yap!
Mereka mempertahankan pikulan, sekaligus dagangannya!
“Enak saja maen rebut… Ini
pembawa rezeki, taaauuuk!”
Baaak, buuuk, baaakkkk!
Kereta mendadak diperlambat.
Gerombolan tawuran di gerbong belakang, semuanya, dihalau turun oleh para
pedagang buah-buahan dan pengasong.
Ketika kereta kembali bergerak,
mataku menyambar beberapa anak berteriak-teriak histeris dan menantang. Mereka
mengacung-angungkan gobang, rantai besi dan senjata tajam lainnya ke arah
pelajar di gerbong depan. Beberapa di antaranya melempari kereta dengan
batu-batu besar.
Ya Tuhan, inikah cermin buram
para pelajar kita dewasa ini?
Jumadi,
ketua panitia menyambut kedatanganku di lokasi, tepat pukul tengah delapan. Dia
tersipu-sipu malu, menyatakan penyesalan karena peserta belum datang.
“Kita ke
sekretariat saja dulu, ya Teteh,” ajaknya santun.
Tempat
yang dinamakan sekretariat adalah sebuah warung, tepatnya ada ruangan sempit di
belakang warung makanan di luar kawasan kampus itu. Beberapa akhwat sedang
sibuk menyusun kertas-kertas, 50 cerpen!
“Bagaimana
maksud kalian?” balik aku bertanya, pikiranku belum jejeg ketika disodori tumpukan naskah itu.
“Kami
menyelenggarakan sayembara menulis cerpen dan puisi dalam tiga bulan terakhir.
Inilah hasilnya. Kami berharap Teh Pipiet berkenan menjadi jurinya,” jelas
panitia lomba.
“Tema
acara kita ini Pekan Seni Islam, dalam rangka menyambut tahun baru Hijriyah,
Teteh,” tambah ketua panitia.
“Pembicaranya selain Teh Pipiet
nanti ada juga seorang personil Izzatul Islam…”
“Sebetulnya
naskah-naskah ini sudah akan dikirimkan bulan lalu. Tapi pembicara yang sangat
kami harapkan justru menyatakan gak bisa datang. Kami juga bingung banget loh,
Teh…”
“Padahal
acara yang kami gelar ini untuk mengimbangi aktivitas anak-anak kiri. Mereka
semakin agresif!”
Mungkin
itu benar. Sekilas kulihat baliho raksasa mejeng
di pintu gerbang sana. Gelar acara ajaib seperti; bedah buku bertema
sekuler, ngesek. Bahwa seni demi seni
en soon…
“Baik,
Teteh paham…”
Tapi 50 naskah harus kubaca,
sekaligus kunilai dalam tempo sangat-sangat singkat? Ajaib juga nih!
“Begini saja, kalau boleh
menawar,” ujarku setelah menimbang-nimbang. “Kalian tentu sudah menilai
naskah-naskah yang masuk. Tentu ada karya-karya terbaik menurut kalian, bukan”
“Iya, sudah ada sepuluh, Teteh.”
“Bagus. Beri Teteh waktu untuk
menilai yang sepuluh itu.”
“Jangan lama-lama, ya Teteh
sayang,” pinta seorang akhwat.
“Limabelas menit, bisakah?”
“Insya Allah…”
Dalam hati aku mengucap
istighfar. Juri, amanahnya besar sekali. Semoga saja tidak menjadi masalah dan
fitnah di kemudian hari. Maka, sambil menunggu peserta dan pembicara lain
datang, aku pun berjibaku untuk bertindak seadil-adilnya, meskipun itu hampir
tak mungkin.
Aku tetap mencermati sepuluh
cerpen yang dalam sekejap telah menyedot seluruh pikiran dan perasaanku.
Bagus-bagus ternyata, temanya variatif dan segar. Tapi ada juga beberapa yang
mengambil tema mirip; kisah romantika mahasiswa kos-kosan, nyaris tergelincir
tapi kemudian tobat, mendapat hidayah-Nya.
Akhirnya dengan sangat berat
hati, dan sedikit menurut perasaan bimbang, kukembalikan juga naskah-naskah
tersebut. Hanya lima yang terpilih, memenuhi kriteriaku sebagai cerpen yang
laik muat, dan laik terbit di majalah remaja Islam.
“Aduuuuh, entah bagaimana kami
mesti berterima kasih sama Teteh,” ujar Jumadi yang mengaku sempat hampir putus
asa bisa mendatangkan seorang penulis ke acara mereka.
“Jangan bilang begitu. Teteh
sudah senang kok melihat semangat dan ghirah adik-adik,” tukasku tulus.
Acara berlangsung dengan semarak.
Diskusi tentang seni Islam menggulirkan berbagai pemikiran dari anak-anak muda
yang haus pencerahan itu.
“Afwan, ya Teteh… Kami tak bisa
menjamu Teteh dengan baik. Semoga Allah Swt senantiasa memberkahi perjuangan
kita,” itulah yang tertera di es-em-es, ketika aku sudah berada di atas KRL
untuk pulang.
Di kemudian hari, ternyata
hal-hal dadakan hasil kepanitiaan yang grasa-grusu
di kalangan mahasiswa semacam itu, bukan satu-dua kali saja terjadi.
Pernah bersama Asma Nadia di
bulan Ramadhan, ada kepanitiaan kampus ‘mengusili’ kami. Padahal kami sudah
berkemas sejak lima jam sebelumnya!
Sebelum diminta Asma Nadia untuk
buka bareng di rumahnya, aku telah menanti di pintu gerbang perumahan Mutiara,
dari pukul satu hingga pukul lima!
Betul-betul menunggu, duduk di
pinggir jalan, berkali-kali mengontak panitia melalui ponsel hingga pulsa nol
dan… Cengo abiiisss!
“Maaf, ya Mbak… Acaranya batal!”
Apakah aku jera karenanya?
Tidak, selama mereka percaya
memberi amanah. Tidak, selama kepenulisan semakin diminati, dan ghirah sastra
Islami kian berkembang di muka bumi ini. Insya Allah, tak ada istilah jera
untuk kami, barisan penulis Islam. (Pipiet Senja, Bekasi)
***
Salut deh membaca kisah ketulusan penulis kayak buk Pipit. Nggak mengutamakan bayaran tapi dengan tulus berbagi ilmu pada sesama. Saya berharap para panitia acara yang bertindak kurang profesional, yang dimaksudkan dalam tulisan ini membaca curahan hati buk pipit. Supaya lebih menghargai para penulis dan memperlakukan pemberi ilmu dengan sebaik-baiknya.
BalasHapusMaasyaaAllah, Bunda..
BalasHapusYa Allah berkahilah segala aktivitas Bunda Pipiet Senja...
Posting Komentar