Curcol Seorang Seniman: Bukan Mata Najwa
Jakarta,
28 Agustus 2016
Penulis memasuki wilayah DKI Jakarta
era peralihan Orde Lama ke Orde Baru, dibawa sekeluarga oleh ayah sang prajurit.
Itu terjadi di penghujung 1968, saat sistem siswa/siswi di Indonesia dinyatakan jauh
ketinggalan disbanding negara berkembang lainnya. Maklum, saat itu para
pemimpin kita hanya sibuk urusan politik, korupsi dan perebutan kekuasaan.
Sementara tatakenegaraan masih labil.
Memasuki masa remaja duduk di bangku
SMA kelas dua, 1974, penulis untuk pertama kalinya punya KTP DKI, berhak ikut memilih
dalam Pemilu. Karena keluarga ABRI, diwajibkan memiih Golkar secara diam-dam,
penulis ikut saja apa kata Bapak. Era Suharto pun dimulai sejak terpilihnya
mantan Pangkostrad sebagai Presiden RI ke-2.
Selama
era Orde Baru, keluarga penulis terbilang banyak diuntungkan. Dari tujuh
bersaudara, hanya penulis yang tidak sarjana, selebihnya bisa meraih titel
sarjana berkat beasiswa Supersemar. Bapak sebagai pejuang 45, jabatan terakhir
Kepala Biro Matdam Kodam V Jaya; Mayor CHB SM. Arief, dianugerahi Bintang
Ekapaksi dan Bintang Gerilya. Dengan status itulah adik-adik berhak beroleh
beasiswa Supersemar.
Pada
masa kepemimpinan Sang Smiling General ini pula, penulis sempat dimakmurkan
dengan program Inpres. Sejumlah buku cerita anak-anak karya penulis dibeli
Inpres. Sama sekai tanpa harus suap sana-sini, melainkan gol begitu saja
melalui penerbit.
Dari satu Pemilu ke Pemilu
berikutnya secara terus-menerus penulis dan keluarga sebagai pemilih Golkar.
Hingga Bapak pensiun dan keluarga selama itu tinggal d Cimahi, menyebabkan kami
memiliki dua KTP, DKI dan Cimahi.
Setelah
menikah 1981, penulis diboyong ke kawasan Depok. Ada satu masa di mana penulis
terpaksa Golput, disebabkan heboh rumah tangga yang amburadul alias berantakan.
Sehingga penulis nomaden, kadang tinggal bersama keluarga di Cimahi, kadang
pula di Jakarta dan beberapa kota di Jawa Barat.
Tahu-tahu
penulis melihat Bapak telah beralih sebagai pendukung PPP, bukan lagi Golkar. Hingga
akhir hayatnya 1991, Bapak tetap menyuarakan aspirasinya melalui partai
berlambang Kabah. Selain bertambah kuatnya mendalami keislaman, pengabdian
terhadap masyarakat pun berlandaskan keyakinannya.
Sementara
adik-adik terpecah belah. Ada pendukung PAN, PPP dan Golkar. Penulis masih Golput
sampai memasuki era reformasi dengan munculnya berbagai partai baru. Saat ini
penulis memiliki KTP Depok, tinggal di pinggiran kota menempati rumah mewah dan
mebur alias mepet sawah dan mepet kubur.
Terhitung
2012, penulis meninggalkan Depok dan kawasan Jawa Barat tercinta. Demi memudahkan
pengobatan di RSCM dengan JKN, terpaksa harus alih KTP ke DKI kembali. Dengan
demikian berhak, boleh ikut PilPres dan PilGub sebagai warga DKI.
Saat
PilPres meskipun sudah KTP DKI, tetapi panggilan memilihnya masih di kawasan
Depok. Kali ini penulis sebagai pendukung PKS saat PiLeg, tetapi saat PilPres memilih
pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Radjasa.
Eng
ing eng…. Serius banget nih menulisnya, Mbakbrow!
Tiba
saatnya penulis terseret dalam hiruk-pikuk, gonjang-ganjing PlLGub DKI. Ketika
PilGub sebelumnya, penulis sedang keluyuran di mancanegara alias Berkelana
Dengan Buku, mentoring para TKI di Hongkong, Macau, Malaysia, Singapura, Taiwan
dan beberapa negara Timur Tengah.
Alhasil
sama sekali tidak ikut PilGub pertama kali tersebut, tahu-tahu telah ngejogrok
saja Jokowi sebagai DKI1 dan Ahok DKI2. Begitu
ringkas waktu berlalu, tiba saatnya PilPres, eh, ndilalah, berkat
kecurangan-kecurangan, terpilihlah Jokowi sebagai RI1 dan Jusuf Kalla RI2. Note;
kita tunggu doanya dimakbulkan Allah Swt. Amin ya Robbal alamin.
Dalam
masa gonjang-ganjing jelang PilGub 2017, mau tak mau sebagai seniman yang cinta
kebudayaan dan terutama keyakinan, penulis pun sontak tergerak dan ikut
menggelegak dalam pusaran arus bawah. Serbuan kabar tentang calon DKI1, dia
yang doyan mengumbar kata-kata dari jamban, makian seluruh penghuni Bonbin. Ternyata
bukan sekadar isu atau gosip, kelakuan, sepak terjangnya sunguh pantas
dikategorikan sebagai; tukang zalim jahanam!
Rabu 24-8-2016 dilaksanakan Deklarasi RAR
(Rumah Amanah Rakyat). Lokasi RAR Jl. Cut Nyak Dien No.5, Gondangdia
Menteng Jakpus. RAR sebagai kelompok aksi menggunakan 5 (lima) kriteria bagi
Gubernur DKI Jakarta. Yakni: 1. Jujur, 2. Bersih, 3. Tegas, 4.
Cerdas, dan, 5. Beradab.
Jika digunakan lima kriteria RAR ini Ahok sangat tak
layak.
Kriteria pertama, “jujur”, bermakna: a. Orang
berkarakteristik benar dan membenarkan hal benar, bukan pembohong,
sesuai perkataan dan perbuatan, komunikatif, persuasif, terampil
meyakinkan orang, dan bermusyawarah/ bernegoisasi. b. Orang
bersikap selalu berupaya sesuaikan atau cocokkan
Informasi (ucapan dan aturan) dengan fenomena/realitas
obyektif”.
Ahok tergolong tak jujur, suka kambinghitamkan fihak lain dan
anak buah. Sebagai contoh: 1. Banjir karena PLN mematikan aliran listrik; 2.
Banjir karena ada sabotase kulit kabel; 3. Permainan oknum kalau banjir
datang; 4. Kemenpora penghambat pembangunan MRT; 5. Kambinghitamkan
kelemahan BPK atas Opini Wajar dengan Pengecualian (WDP);
6. Penerbitan Pergub karena tak mampu pecahkan masalah; 7.
Larangan Pengajian di Monas alasan Pedagang Kaki Lima (PKL); 8. Gagal
mengembangkan Transjakarta, Direktur dipecat; 8. Kalau gagal sebagai
calon perorangan Pilkada 2017 karena KPU tak professional; 9. Tuntut Gubernur
Foke cuti waktu Pilkada DKI lalu, saat dia Gubernur nuntut tidak harus cuti
Pilkada 2017 bahkan ajukan gugatan judicial review UU terkait ke MK;10.
Gembor2 mau Cagub Perorangan dgn 1 juta KTP dan jelekan parpol
korup, ternyata mau jalur parpol malah minta2 PDIP dukung
dirinya sbg Cagub; dsb.
Kriteria kedua, “bersih”, bermakna al: tak
tercemar terkena kasus KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dan
penyalahgunaan kekuasaan. Ahok tak memenuhi kriteria ini. Sebagai
contoh, DPRD nilai Ahok melanggar: 1). UU No. 11/2013 Psl 34 ayat
1; 2). UU No. 23/ 2014 ttg Pemda; 3). Satu PP terbit 2008; 4). Menerbitkan
Pergub No. 138 ttg Honorarium Anggota TNI/POLRI, melegalkan pemberian dana
honorarium kepada personil TNI dan Polri sebesar Rp.288.000,-/ orang (uang
saku Rp.250.000 dan makan Rp. 38.000); 5. Pemberian Izin Reklamasi
langgar UU No. 27/ 2007 jo UU No. 1/ 2014, Perpres No. 122/ 2012, dan
Permen KP No. 17/ 2013 jo. Permen KP No. 28/ 2014 ttg Perizinan Reklamasi di
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Sikap langgar hukum terkhir, yakni
Penetapan Walkot Jakut Wahyu Hariyadi tanpa pertimbangan DPRD, diduga melanggar
UU No. 29/ 2007 ttg Provinsi DKI Jakarta.
Kasus lain adalah pembelian lahan RS Sumber Waras, diduga merugikan negara dan Ahok tak laksanakan atau tak tindaklanjuti Rekomendasi BPK. Selanjutnya, pembelian tanah negara di Cengkareng untuk Rusunawa.
Kriteria ketiga, “tegas”, bermakna al: orang berprilaku jelas
dan terang menderang, konsisten dgn misi, visi, sasaran, target dan
amanah rakyat melalui regulasi, Perda dan bertanggungjawab kuat laksanakan
amanah rakyat.
Ahok juga tak penuhi kriteria ketiga ini. Alasan,: 1. Ahok laksanakan kebijakan tak mengacu Perda No. 2/2012 ttg RPJMD 2013-2017. Contoh program penataan kawasan kumuh, dilakukan penggusuran paksa rakyat dan langgar HAM. Ahok seakan tegas ke rakyat miskin, tapi menghamba Konglomerat pengembang Cino. Ahok sampe konflik terbuka dgn Menko Maritim Rizal Ramli krn Menko membatalkan reklamasi utk para pengembang Podomoro. Ia menolak terbuka keputusan Menko.
Kriteria keempat, “cerdas”, bermakna al:
berkapasitas dan mampu atasi permasalahan dan tantangan/kendala, punya
keahlian (kompetensi) dan dapat buktikan keberhasilan urus
pemerintahan.
Ahok historis tak mampu urus pemerintahan DKI, indikator al: 1. Rakyat nganggur kian meningkat;
2. Rakyat miskin meningkat terus menerus;
3. Ketimpangan sosial makin melebar;
4. Pertumbuhan ekonomi terus merosot dan gagal;
5. Realisasi Belanja Daerah sangat rendah;
6. Gagal capai IPM dan penghargaan Adipura;
7. Kemacetan terus berlangsung bahkan Kota paling macet sedunia;
8. Banjir jalan terus, belum berkurang
signifikan;
9. Pembangunan infrastruktur terhenti;
10. Kualitas manajemen dan perlindungan asset Pemerintah
rendah;
11. Kinerja sangat buruk dan rapor merah.
Kriteria kelima, “beradab”, bermakna al:
1. Mempunyai adab, budi bahasa baik; berlaku sopan;
2. Pribadi berpotensi;
3. Berlaku sopan, berakhlak, berbudi pekerti luhur
4. Termasuk dalam gagasan;
5. Orang yg bisa menyelaraskan antara cipta, rasa dan karsa.
Ahok sangat jauh dari kriteria kelima ini. Alasan, Ahok sering
ngeluarkan kata-kata atau tutur kata kotor dan kasar seperti: ‘lu bajingan’,
‘dasar maling lu’, ‘brengsek’, ‘bego’, ‘kalau miskin tahu dirilah’, dan
‘taik’, dll. Tutur kata kotor, kasar dan tak santun sesungguhnya
bertentangan dengan konsep politik demokrasi krn tak bikin ketenangan
dan kejelasan publik. Penyelenggara negara harus tetap menjaga kesantunan .
Kesimpulan, atas lima kriteria RAR (Jujur, Bersih,
Tegas, Cerdas, Beradab), kualitas Ahok "sangat tak layak"
lanjut sebagai Gubernur DKI.
Bahkan, satu kriteria pun Ahok tak bisa penuhi. Para pendukung
buta dan pimpinan parpol calon pengusung Ahok Pilkada DKI 2017 harus tahu
itu!
Share dari; Muchtar Effendi Harahap (Ketua Dewan Pendiri NSEAS,
Network for South East Asian Studies)
Alhasil, sebagai Muslim, penulis niscaya akan memilih Gubernur
Muslim yang jujur, bersih dan amanah. (Pipiet Senja, Penulis 185 Buku,
Founder Pipiet Senja Publishing House)
|
Posting Komentar