Ilustrasi Kover Novel Pipiet Senja
Kisah Chacha
Ryma Fauzana
“Kenapa tak datang
jua, ya?” gumam Chaca
saat
terbangun dari tidurnya yang lelap.
Malas-malasan ia
menguap dan mulai duduk. Padahal enaknya melanjutkan tidur, berselimut kembali.
”Kamu sudah bangun, Chaha sayang?”
panggilan ibunya dari luar kamar.
“Sebentar, Ma!”
Hari ini Chacha
harus mendaftar ke SMA Babussalam yang berasrama. Hari-hari selanjutnya ia
harus tinggal di asrama bersama teman-temannya.
“Huh, sungguh
menyebalkan!” sungutnya sebal.
Sejak sebulan lalu
ia sudah menyatakan keberatan kepada orang tuanya. Ia tak mau masuk sekolah
berasrama. Tidak, tidak, tidaaaak!
“Chacha tidak mau
sekolah di sana, Ma, Pa!”
“Nak, itu sekolah
bagus sekali. Terkenal sudah banyak meraih kejuaraan-kejuaraan bahkan tingkat
Nasiona.”
“Iya, Nak,” tambah
ayahnya. “Di sama kamu akan banyak teman. Bergaul dengan teman-teman
perempuan.”
“Jangan gaulnya dngan anak
laki-laki saja.”
“Di Pesantren itu kamu akan
berubah, percayalah!”
“Berubah menjadi anak yang baik,
shalehah.”
Chacha membiarkan
orang tanya saling menyahut, menyemangati dan memberi pengertian. Ia bergeming
dengan kepusannya sendiri.
“Pokoknya, Chacha
tak mau sekolah di Babussalam. Titik!”
“Terserah!” Papa
mulai kesal dan bernada tinggi. “Kalau tak mau sekolah d sana, kamu tidak akan
sekolah di mana pun.”
“Haaaah”
“Ya, homeschooling saja!”
“Demikian keputusan kami. Habis
perkara!” Papa mengakhiri perdebatan.
“Yaaaa, kalian ini,” gerutu Chacha.
“Segitunya sama anak semata wayang?”
“Tapi dripada homeschooling, hiiiiy, amit-amit!
Mending menurut sajalah,” pikir Chacha kemudian. Terbayang dirinya hanya
sendirian dengan seorang pembimbing?
Sekarang Chacha si
anak manja semata wayang sudah berdiri di parkiran mobil kawasan Babussalam. Nah,
ihatlah!
“Sementara kami ke
ruang guru untuk urus pendaftaran dan administrasi,” ujar Papa. “Kamu bisa
lihat-lihat suasananya, ya Cha.”
“Boleh sendirian?” Chacha menatap
Mama dan Papa.
“Iya, kurasa boleh saja. Ayo, sana,
temui teman baru,” kata Mama.
Chacha mulai
berjalan sendirian, melihat-lihat suasana sekolah yang akan dihuninya mulai
bulan depan. Seketika ia teringat gengnya di sekolah lama. Nathan, Dilan dan
Rey.
Sejak kelas satu
mereka bersahabat erat. Mereka melakukan segala macam kegiatan bersama.
Taekwondo, atletik, tenis, renang, futsal bahkan relly GP. Maklum, gengnya
semua anak cowok!
“Kamu semakin seperti cowok kalau
temanmu hanya cowok,” protes Mama.
“Biarlah begini!” sahut Chacha tak
peduli.
“Kalau sudah lulus nanti, kamu
harus sekolah berasrama,” vonis Papa.
“Tidak, tidak,
tidak maaaaau!” teriak Chacha ketika itu.
Namun, akhirnya ia
harus mengucapkan selamat tinggal kepada gengnya. Mereka bertemu di kafe favorit.
“Aku tak mau homeschooling. Bisa sinting aku kalau
tak punya teman,” kilah Chacha di hadapan gengnya.
“Hmm, ada baiknya
kamu ikuti keinginan orang tua,” ujar
Nathan yang belum lama kecelakaan, tabrakan saat relly GP. Sejak itu
kelakuannya memang agak berubah. Setidaknya ia selalu menolak untuk ngebut dan
ugal-ugalan lagi.
“Iya juga sih,”
dukung Dilan. “Aku kapok selalu bangkang kepada Mama. Mana aku hanya punya Mama
seorang,” kesah Dilan.
Maklum, ayah Dilan meninggalkannya
entah kemana, sejak ia masih bayi.
“Kamu bagaimana?” tanya Chacha
gantian menatap Rey.
Rey garuk-garuk
kepalanya yang tak gatal. Wajahnya yang ganteng memikat setiap gadis yang
melintas d sekitar mereka. Belakangan ia mulai serius terjun ke dunia entertainment. Ia menjadi bintang iklan
produk baju remaja yang sedang trendy.
“Sepertinya aku
tak punya saran. Aku lagi fokus mau ke Jakarta,” akhirnya Rey mengucapkan selamat
tinggal juga kepada mereka.
“Kurasa aku jadi
ikut Mama ke Belanda saja. Hidup di Indonesia semakin susah, kata Mama,” keluh
Nathan menyerah.
Gengnya memang sudah berakhir!
“Selamat tinggal masa-masa kacau
dan galau di SMP,’ gumam Chacha saat
berpisah dengan gengnya.
“Ha, kamu santri
baru, ya?” sapa seorang anak sebayanya dengan senyum manis dan sepasang lesung
pipit di pipi-pipinya.
“Ya, begitulah,” sahut Chacha.
“Kenalan, ya, namaku Fatirah,”
sambungnya tetap ramah dan murah senyum.
Dalam
sekejap Chacha merasa tertarik untuk mengenal lebih jauh.
Chacha menerima uluran tangannya.
“Panggil aku Chacha saja.”
“Ayo, aku temani untuk lihat-lihat
sekitar sekilah,” ajaknya pula tulus.
Mereka berkeliling
di sekitar sekolah. Banyak tanaman dan bunga warna warni, indah dan segar
hawanya. Di kawasan ini diterapkan disiplin untuk sama ramah lingkungan. Tak
boleh buang sampah sembarangan. Tong sampah sudah tersedia di berbagai sudut.
Keran dan selang air pun tersedia di mana-mana agar mudah menyirami tanaman.
“Sejak kapan kamu tinggal di sini?”
“Sejak kecil.”
“Hah?”
“Nanti
kuceritakan. Sekarang kita ke kantin, ayo Chacha,” ajak remaja berbusana
Muslimah itu ketika sudah berkeliling. “Cari minuman segar, ya?”
“Tapi aku tidak bawa uang.”
“Jangan kuatir. Aku yang jualan minuman segar di kantin. Kali ini
gratis!”
“Hah?”
Belakangan Chacha
tahu juga identitasnya. Fatirah anak asuh Ibu Kantin. Ia dibawa Ibu Kantin saat
masih kecil dari kawasan bencana alam di Jambi. Keluarganya semua tewas dalam
bencana alam itu.
“Serius, kamu
tidak punya orang tua lagi?” tanya Chacha penasaran.
“Orang tua kandung
tidak ada, tetapi aku puya orang tua asuh. Mereka memperlakukanku dengan baik
sekali. Seperti anak mereka sendiri,” jelas Fatirah dengan mata berbnar-binar,
bahagia.
Chacha tertegun.
Di hadapannya ada seorang anak sebaya dirinya, sudah tak punya keluarga. Namun,
ia tampak berbahagia. Bukankah seharusnya ia pemurung, mengenang nasibnya yang
malang itu?
“Tentu saja kita harus bersyukur,
Chacha.”
“Oh, ya, bersyukur!”
Itulah kunci kebahagiaan, pikir
Chacha.
“Segar! Terima
kasih, ya Fati, minumannya sungguh menyegarkan. Rasanya hati dan pikiranku
langsung kinclong,” puji Chacha tulus.
“Semoga kerasan
tinggal di sini,” kata Ibu Kantin, yakni ibu asuh Fatirah dan beberapa anak
lainnya.
Alhasil, ada
subsidi silang di sekolah ini. Bagi mereka yang mampu dipatok uang masuk
lumayan tinggi. Namun, bagi anak tak
mampu digratiskan semuanya. Tanpa ia sadari, pertemuan ini telah
memberinya satu pelajaran sangat berharga. Terutama tentang makna bersyukur.
“Fatirah dan
teman-teman dhuafa bisa bertahan di sini berkat para dermawan yang rutin
menyetor sumbangan. Kalau Lebaran kami juga berlimpah kebahagiaan. Menikmati
zakat para donator,” kisah Ibu Kantin panjang lebar tentang kehidupan Fatirah
dan teman-teman senasib.
Sepanjang jalan
menuju ke kantor, Chacha merenungkan semua cerita tentang kebahagiaan dan
berkahnya tinggal di kawasan Babssalam. Baru menyadari bahwa selama ini
hidupnya aman-aman saja, sejahtera dan berkeimpahan kemanjaan.
Tetapi, mengapa
dirinya tidak bersyukur?
Oh, ya, tentu saja
sebab selama ini ia terbawa arus pergaulan yang tidak benar. Nathan, Dilan, Rey
dan teman lainnya. Mereka lebih suka mengajaknya hura-hura, menganggap ringan
semuanya.
Ya Allah, pastinya itu dosa, ya
Tuhan, bisiknya kini dalam hati.
“Bagaimana, Nak? Sudah
lihat-lihat?” Mama menanyai kesannya.
“Iya, Ma, aku suka suasananya,”
kata Chacha jujur.
“Sudah punya teman?” selidk Papa.
“Pasti belumlah, Pa,” kata Mama.
“Yeeeeh, siapa bilang?
Aku sudah punya teman baik. Namanya Fatirah. Keren anaknya, Ma, Pa. Meskipun
dia sudah yatim-piatu, korban benccana alam, tampaknya bahagia saja,” ceracau
Chacha dalam nada riang.
Papa dan Mama
saling pandang. Hampir tak percaya mereka akhirnya bisa melihat Chacha tampak
riang dalam tempo relatif singkat.
“Sering-sering
tengok aku, ya Pa, Ma?” pinta Chacha sebelum melepas orang tuanya pulang.
“Kelas baru akan
dimulai awal bulan. Selama itu kamu bisa pengenalan lingkungan sekolah,” jelas
Papa.
“Kalau ada apa-apa, minta Pembina
hubungi kami, ya Nak,” pesan Mama.
Betapa sedih
sesungguhnya hati Chacha. Seumur-umur ia tak pernah berjauhan dengan orang tua.
Ke mana-mana ia selalu ikut mereka. Mama dan Papa dinas ke mancanegara pun
pasti dibawanya serta. Sekarang ia harus berjauhan dengan Mama dan Papa.
Namun, sebelum
terjebak dengan perasaan sedihnya, sosok Fatirah kembali mendatanginya. “Sudah
beres semua urusan?” tanyanya ramah.
“Sudah.”
“Ayo, kuantar kamu ke Asrama kita,”
ajaknya.
Sesampai di pintu
gerbang Asrama Putri, anak-anak baru harus diperiksa barang bawaannya. Satu per
satu mereka menyodorkan koper masing-masing. Beberapa senior melakukan tugas,
memeriksa isi koper dengan cermat.
“Tablet ini tak
oleh dibawa ke kamar. Kami ambil, nanti minta dibawa orang tuamu, ya,” ujar
seorang senior.
Hati Chacha langsung menciut.
Tablet kesayangan, selamat tinggal!
Rupanya aku memang harus hijrah,
pikirnya.
“Nah, kita sekamar di Aisyah,”
cetus Fatirah.
“Baguslah,”
komentar Chacha masih merasakan sesuatu yang hilamg dari dalam dadanya.
“Kuharap kamu mau mengajariku menjadi seorang santri yang baik di sini.”
“Insya Allah,” tawa Fatirah renyah.
Ada lima ranjang
bertingkat di kamar bernama Aisyah. Penghuninya ada 10 orang, tetapi yang sudah
datang baru separuhnya. Fatirah mengajak Chacha memilih ranjang mereka.
“Aku suka di dekat
jendela. Serasa tersambung dengan dunia luar,” gumam Chacha.
“Baik, kita ambil tempat tidur yang
ini,” kata Fatirah menyetujuinya.
Fatirah
membantunya memasukkan barang ke lemari. Mujurlah, Chacha menuruti saran Mama
agar tidak bawa banyak baju. Lemarinya mungil, hanya cukup untuk beberapa baju
saja.
“Baju-bajuku bisa
ditaruh di lemari Kantin. Jadi, kamu bisa pakai lemari ini sendiri.”
“Oh, jangan. Ini
sudah cukup. Bagian atas untukku, ya?”
Aku harus mulai
beradaptasi dan mensyukuri kondisi apapun di sini, pikir Chacha.
Ia merasa
ketinggalan banyak hal oleh Fatirah. Bayangkan, dalam kondisi serba terbatas,
Fatirah ternyata telah meraih berbagai prestasi. Tiap tahun peringkat satu,
sering mewakili berbagai lomba dan Olimpiade Sans.
Lantas, apa yang
telah kamu peroleh selama ini, Chacha? Semua hobi dan kegiatan selama ini
bersama gengnya, tak ada yang menghasilkan. Hanya kesenangan, hura-hura belaka.
Tak pernah ada piala, trophy dan sebagangsanya. Malah beberapa kali ia nyaris
celaka akibat ngebut.
Gengnya memang
gila-gilaan. Masih SMP sudah berani bawa mobil sendiri. Tanpa SIM, tanpa STNK,
mereka gantian ngebut di jalanan protokol. Astaghfirullahal adziiiim, gumamnya
kini berulang kali mengucapkan permohonan ampunan kepada Sang Pencipta.
Malam itu untuk
pertama kali dalam hidupnya, Chacha merasakan suasana sebuah pesantren. Ia
menemukan satu hal yang sangat terasa dan berbeda, yaitu kebersamaan. Ya,
semuanya dilakukan secara berjamaah.
Ibadah bersama,
sholat, mengaji, sholawatan, bahkan makan pun berjamaah. Semua kebagian secara
merata. Tak ada yang heboh karena tidak kebagian jatah. Semua kebagan jatahnya
masing-masing.
Ia pun bisa tidur
dengan lelap. Ketika terbangun dinihari, ada kenyamanan dan kelapangan dalam
dadanya. Rasanya segela kesedihan itu telah meruap dari hatinya.
“Semangaaaat!” serunya takpa sadar
membangunkan teman sekamar.
“Ya, semangaat!” sahut tean-teman
sekamar kompak.
Azan memanggil
anak-anak unutuk sholat Subuh di Masjid. Usai sholat, Chacha pun mendapat
teman-teman baru. Baik kakak kelas maupun anak seangkatan. Kembali ke kamar,
segera menyiapkan diri untuk menjalani Pengenalan Lingkungan Sekolah.
Orientasi, istilahnya kalau di sekolah negeri.
Usai sudah masa
Pengenalan Lingkungan Sekolah. Mereka mulai belajar di kelas. Chaha memilih
kelas IPS, karena sangat menyukai semua mata pelajarannya, terutama bahasa
asing.
“Apa cita-citamu,
Fatirah?” tanya Chacha saat mereka berada di ruang Lab Komputer.
“Programer
komputer seperti senior Reyna yang sekarang sekolah di Jepang.”
“Oya, dapat
bea-siswakah dia?”
“Iya, Kakak Reyna
anak Duri itu memang hebat. Selalu peringkat satu dan hafizah pula.”
“Apa itu hafizah?” Chacha
mengerutkan kening.
“Penghafal Al Quran perempuan.”
“Oh, apa kamu juga menghafal Al
Quran?”
“Tentu, semua santri d sini
diwajibkan belajar Al Quran.”
“Waduuuh!” seru
Chacha terkejut. “Aku hanya pernah belajar juzama waktu di SD. Wajib, ya,
bagaimana ini?”
“Janan panik,
tenang saja. Kita bisa belajar mengaji bersama. Kamu anak pintar juga.”
“Hanya sesekali peringkat pertama.”
“Nah! Artinya banyak kesempatan
untukmu, oke?” Fatirah menyemangatinya.
“Berapa anyak hafalan Al Quranmu,
Fatirah?”
“Baru 25 Juz….”
“Memangnya semua ada berapa juz?”
Fatirah menatapnya keheranan. “Kamu
tidak tahu?”
“Maaf, selama ini
aku memang tidak mengaji,” ujar Chacha polos. “Orang tuaku juga tidak pernah
mengajariku mengaji.”
“Semuanya 30 juz.”
“Artinya kamu
tinggal 5 juz lagi? Aiiiih, sejak kapan mulai menghafal Al Quran?”
“Sejak kecil mengaji,
tetapi serius menghafal baru kelas satu SMP. Nah, itu juga gara-gara lihat Kak
Reyna yang berhasil juara MTQ tingkat Kabupaten.”
Kapala Chacha
langsung serasa dipukul palu. Bagaimama dirinya bisa hafal Al Quran? Kalau
seumur ini, 15 tahun, mengajinya masih terbata-bata karena tak pernah
dipraktekkan?
“Tenang saja, itu
Nek Aish yang suka bantu-bantu di dapur pesantren, umurnya sudah lansia. Belum
lama beliau datang sini. Kepingin
menghafal Al Quran. Tahu tak, Cha, dalam setahun ini dia sudah menghafal 10
juz.”
“Masya Allah, adaha sudah nenek?”
“Makanya, niat, niat itulah yang
penting.”
“Baik, niat, kucatat dalam
memoriku!” janji Chacha.
“Ada cara cepat
menghafal Al Quran. Aku punya bukunya. Sering dipraktekkan juga dengan
teman-teman. Bukunya berjudul Menghafal Al Quran Semudah Tersenyum.”
“Wah, bagus sekali! Boleh, ya, aku
ikut gengnya….”
“Gengnya apa?”
“Eh, maksudku teman-temanmu belajar
dan menghafal Al Quran.”
“Ayo, siapapun boleh ikut!”
Di LabKom mereka
boleh berselancar. Sambil mengerjakan tugas pertamanya, Chacha mengintip status
gengnya. Tampaklah Dilan sedang selfiean dengan teman-teman baru di Medan.
Nathan entah di mana, statusnya berhenti sebulan yang lalu. Mungkin jadi ikut
ibunya ke Belanda. Rey banyak postingan foto debutnya sebagai model iklan
professional.
“Psssst, itu
temanmu?” bisik Fatirah. “Lihat, itu statusnya siapa yang dimakksud dengan si
Anak Kampung nan Malang?”
Sekilas Chacha
mencermati status Rey.
“Kasihan anak
Kampung nan Malang, akhirnya menyerah djebloskan ke pesantren. Hidupnya
sekarang pasti seperti tahanan. Coba nurut kabur bareng gw ke Jakarta. Kereeeen
nih, tahu!”
“Dia pernag mengajakmu kabur, ya?”
tanya Fatirah.
“Iya, dasar sinting!”
“Kalau begitu,
buktkan kepadanya bahwa Chcha bisa lebih keren,lebih hebat dan lebih barokah
tinggal d pesantren!”
“Benar sekali.
Bantu aku mewujudkannya, ya Fatirah!”
Ya, sejak itulah
Chacha memiliki satu tekad dalam dadanya. Bahwa sekolah di pesantren keputusan
terbaik untuk dirinya. Bahwa Chacha akan berubah total!
Chacha berjuang
keras meraih ketinggalannya. Ia sangat ketat mengatur jadwal mengaji, jadwal
menghafal Al Quran, sholat wajib, sholat sunah, puasa Daud. Dari hari ke hari
ibadahnya semakin terpelihara dengan baik.
Mengatur ulang
tujuan olah raganya pun dilakukannya. Kalau sebelumnya ia bermain bulu tangkis,
tenis, atletik sekadar iseng. Kini karena fasilitas di pesantren bagus, ia
memanfaatkannya dengan baik. Hingga ia terpilih mewakili sekolahnya untuk atlit
panahan. Ia satu-satunya atlit panahan berjilbab mewakili sekolahnya ke tingkat
Provnsi.
“Inikah putri kita
yang manja dan suka merengek itu, Pa?” Mama memeluknya erat dengan bersimbah
air mata saat jumpa di Gedung PON.
“Sini, peluk Papa
juga, Nak,” pinta ayahnya dengan mata berkacakaca.
Ini pertemuan
mereka yang pertama sejak enam bulan Chacha di pesantren. Chacha sengaja
memilih tidak sering bertemu orang tua. Ia hanya menelepon jika sudah rindu
sekali. Sudah ditekadkan dalam dadanya. Ia hanya akan berani menjumpai orang
tuanya, jika sudah sukses meraih prestasi.
“Ini baru
permulaan, Pa, Ma,” bisik Chacha. “Masih banyak yang ingin kuraih. Terutama aku
ingin bisa menghafal Al Quran. Membuktikan betapa besar cintaku kepada Islam,
cintaku kepada Al Quran….”
“Seberapa besar, Nak?” tanya Papa
dan Mama.
“Tak terhingga, Ma, Pa.”
(Babusalam, Maret 2017)
@@@
Keren cerpenny manini👍👍
BalasHapusPosting Komentar