Anno Jakarta, 2016
Suasana
pagi hari di Jakarta Raya dengan nuansa khas Ibukota berawal dari Tugu Monas. Inilah
tugu termegah yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, dibangun pada era Orde Lama.
Dirancang spesial oleh Ir. Sukarno sendiri.
Hatta,
Sukarno merncang juga untk bangunan Masjid Istiqlal dan Gedung Sarinah. Ketika
ia dihadapkan dalam situasi harus memilih; apakah Anda akan membangun Masjid
Istiqlal atau Tugu Monas. Ia menjawab tegas; “Saya memilih membangun Tugu
Monas.”
“Mengapa?”
“Selagi
saya masih hidup, pembangunan Tugu Monas akan terus berjalan. Namun, ketika
saya sudah tiada, pembangunannya akan terbengkalai. Sedangkan pembangunan
Masjid Istiqlal, biarlah ummat yang akan membangunnya.”
Udara
mendung, langit kelabu dengan barisan awan hitam pertanda sebentar lagi hujan.
Meskipun demikian di jalanan utama kendaraan sudah berseliweran, tampak ngebut,
sampai di kawasan Tol mulai macet.
Gedung-gedung
pencakar langit tampak menjulang megah, terkesan angkuh, seakan tak sudi
terjamah oleh tangan si miskin. Tak jauh dari bangunan-bangunan megah di
kawasan Jakarta Utara ini, ada sebuah perkampungan, warga menyebutnya; Kampung
Nelayan.
Asep,
seorang anak laki-laki berumur 8 tahun, tampak bersama teman-teman sebaya
sedang asyik bermain gundu. Tiba-tiba datang pasukan Satpol dengan berbagai
peralatan berat.
Suasananya
Kampung Nelayan seketika terasa memanas. Teriakan marah campur dengan suara
tangis ketakutan meruap dari pelosok kampung.
“Tidak ada
peringatan…..”
“Kami sudah memberi
surat peringatan!”
“Kapan?”
“Dua minggu yang
lalu!”
“Kami sudah
mengajukan keberatan!”
“Tidak bisa!”
“Jangan main
bongkarlah, Pak, kasihanilah rakyat….”
“Ini sudah ada
perintah bongkar!”
“Teganya ya, teganya?”
”Ayo, gususuuuuur!”
“Jangaaaan!”
“Bongkaaar!”
“Heeei, heeei! Kalian
kejaaam!”
Tak
membutuhkan waktu lama, seketika warga telah berhadapan secara frontal dengan
pasukan Satpol.
Sebagian
warga memilih berlarian kesana-kemari, menyelamatkan barang milik mereka.
Sebagian lagi memilih bertahan, membentuk barikade. Asep sangat ketakutan, demi
dilihatnya suasana di sekitarnya semakin hingar-bingar.
“Lariiiii!
Ayo, lariiiii” teriaknya tiba-tiba menyadari bahaya mengintai mereka.
Teman-temannya
pun bagaikan baru terbangun dari mimpi, semua tersentak mengikuti gerakan
Asep..
“Lariiiiiii!”
“Pulaang!”
“Enyaaak!”
“Babeee!”
“Takuuuuut!
Sementara
peralatan berat terus bergerak memasuki kawasan Kampung Nelayan, siap merubuhkan bangunan-bangunan
permanen.
Di
dapurnya yang serba sederhana, Hindun, emaknya si Asep, sedang menyiapkan
gorengan untuk dijual. Begitu mendengar keriuhan di luar, ia pun tersentak,
mendadak mematikan kompornya. Kemudian ia mengintip dari jendela rumah.
Seketika
Hindun melirik surat edaran yang menempel di dinding dapur. Isinya
memerintahkan warga meninggalkan kawasan Kampung Nelayani karena akan digusur.
“Gila! Hanya dikasih
tempo dua minggu?!” gerutunya kesal sekali.
Seketika
ia bergegas salin dasternya dengan celana pangsi hitam dan kemeja putih. Ia pun
mengenakan jilbab putih, menyambar kain merah putih dasi Pramuka Asep, dan membelitkannya
di kepalanya.
Kemudian
perempuan berumur 30 tahun itu menyambar sebatang bambu, memasang bendera merah
putih di ujungnya. Dengan gagah perkasa ia pun keluar rumah, di tangannya membawa
bendera.
Sekilas
matanya menancap pada sebuah foto besar yang tergantung di ruang tamu. Inilah
foto seorang pejuang ‘45 dengan senjatanya bambu runcing. Sersan Adjat Sudradjat,
gugur dalam perang kemerdekaan melawan Belanda. Menurut cerita mendiang ibunya,
saat itu nenek sedang mengandung anak bungsu, yaitu emaknya Hindun, Nok Halimah.
Beberapa jam pasca melahirkan, Nok Halimah pun menyusul suami tercinta.
Hindun
dirawat dan dibesarkan neneknya sejak itu, hingga dinikahkan dengan Abah Sujai,
murid Habib Akmal, ayah Habib Akbar. Ketika nenek dan kakeknya meninggal, maka
kelarganya di Jakarta hanyalah suami dan anaknya semata wayang.
Hindun
menyongsong pasukan Satpol. Tepat di depan sebuah bulldozer, Hindun
mengibar-kibarkan bendera merah putih. Ia teriak-teriak lantang, menyuarakan
protesnya.
“Woooooi!
Ini tanah kami sejak zaman Belanda. Kami menempatinya sampai empat generasi! Kami punya sertifikatnya! Mengapa kalian gusur juga?”
Melihat
keberanian Hindun, mendadak semua warga tersemangati. Asep berlari menghampiri ibunya,
kemudian berdiri di sampingnya. Asep ikut gerak-gerik ibunya, lantas membeo
segala teriakan lantang sang ibu.
“Ini
tanah kami sejak zaman Belanda. Kami menempatinya sampai empat generasi! Kami
punya sertifikatnya! Mengapa kalian gusur juga?”
Sejurus
kemudian ibu dan anak itu tak gentar terus melakukan aksinya di depan
bulldozer. Satpol kebingungan, mencoba minta bantuan rekannya tak ada yang
peduli, semuanya sibuk, akhirnya ia berhenti bergerak.
Sementara
itu di bagian depan lawang Kampung Nelayan, Abah Asep dan warga berjibaku.
Mereka menghalangi peralatan berat, agar tidak bisa melanjutkan penggusuran.
Bentrok antara pasukan Satpol kiriman Penguasa dengan warga miskin di Kampung
Nelayan, tak bisa dielakkan.
“Ayo,
saudara-saudaraku senasib dan sepenanggunan! Kita harus lawaaaan!” seru Abah
Asep, menyemangati warga Kampung Nelayan.
“Ya, lawaaaan!” sambut
warga.
“Ini pelanggaran hak
azasi kemanusiaan!”
“Benaaaar!
Pelanggaran HAM!”
“Jangan takut!”
“Mati syahid lebih
baik daripada diam saat dizalimi.”
“Mari, kita berjuang,
saudara-saudaraku!”
“Allahu Akbaaaar!”
“Allahu Akbaaaar!
Takbiiiiir!”
“Allahu Akbaaar!”
sambut semua warga,
Mereka serempak menyuarakan
protes dan semakin kompak.
Pasukan
Satpol berlapis-lapis telah dirurunkan bersama peralatan berat penggusuran.
Mereka tetap bersikeras menjalankan tugas semata. Menurut berita di kemudian
hari, tertulis ada 1000 petugas yang diturunkan hari ini. Sementara penghuni
Kampung Nelayan hanya 100-an, artinya satu orang diawasi oleh sepuluh petugas!
Abah
Asep masih terus menyemangati warga agar melawan. Tiba-tiba ada bongkahan beton
menimpa tubuhnya. Ia tak sempat menghindarinya. Lelaki tinggi kurus itu seketika
rubuh, tetapi mulutnya masih menyuarakan protesnya. Sebelum rubuh terkapar di
tanah, ia masih berteriak lantang: “Allahu Akbaaaaar!”
Tatkala
hujan mulai turun, suara warga seketika saling bersahutan, mengabarkan perihal Abah
Asep tertimpa bongkahan beton.
“Wooooooi!
Abah Asep ketiban tembooook!” teriakan yang sangat histeris menggema.
“Abah Asep ketiban
tembok!” sambung teriakan panik lainnya.
“Saudara-saudaraku,
ada yang tewas!”
Kabar
itupun sampai di telinga Hindun dan Asep.
“Ayo,
Sep, ini pasti berita bohong!” ajak Hindun, mencoba menghibur hatinya sensiri
yang mendadak gundah. Firasat buruk seketika menyelusup relung hatinya.
“Kalau
bohng buat apa kita ke ssana” dengus Asep, tak paham.
“Pokoknya
kita buktikan!”
“Ya,
Mak, semoga Abah tidak apa-apa….” Asep menggumam.
Dari
kejauhan tampak orang berkerumun. Sesuatu yang mengerikan ada di sana!
Hindun
berlari menyeruak massa, menghambur ke arah tumpukan reruntuhan bangunan di bagian
depan Kampung Nelayan. Ternyata benar saja, Abah ditemukan telah berlumur
darah!
Susah
payah Abah Asep berusaha mnyampaikan pesan terakhirnya kepada istrinya.
“Maafkan semua kesalahanku, Hindun. Titip si Asep, ya Istriku. Didiklah dia
sesuai keyakinan kita.”
“Laa ilahailallah
Muhammadarrasulullah….”
Hindun
berusaha membimbing suaminya. Abah Asep mengikutinya, terus mengikutinya hingga
jantungnya berhenti bedetak.
Abah
Asep pun menutup mata, menghembuskan napasnya yang terakhir. Anehnya, Hindun
sama sekali tidak menangis. Hanya menundukkan wajahnya, lembut mengecup pelan
kening Abah. Kemudian menyedekapkan kedua tangan Abah. Semesta doa ia gelorakan
dalam dada.
Detik
itulah, Hindun bersumpah untuk melaksanakan wasiat terakhir Abah. Seraya menengadahkan
kedua tangannya ke langit, suaranya menggeletar.
“Ya
Allahu Robbi, hamba bersumpah, ya Allah! Demi Allah! Hamba akan melaksanakan
wasiat suami hamba!”
Hujan
turun semakin deras, membasahi wajah perempuan tangguh itu. Demikian pula dengan
Asep, sekujur tubuhnya sudah basah kuyup. Ia hanya bisa mnangis sesenggukan
memeluk jazad ayah yang disayanginya.
Warga
Kampung Nelayan mengeurmuni keluarga kecil yang malang itu. Semua diam membisu.
Hujan turun semakin deras dan semakin deras.
Tampak
Satpol diam-diam melarikan diri, meninggalkan kawasan Kampung Nelayan. Tak
peduli dengan peralatan berat bawaannya.
Nestapa
warga Kampung Nelayan luput dari pemberitaan media Nasonal. Namun, di media sosial
seperti situs-situs Islam, Facebook, Twitter dan Instagram menjadi viral.
Penguasa sudah melewati batas kewajaran seorang pemimpin.
Sosok
Penguasa muncul di televisi, memberi statement
sbb:
“Nah,
catat, ya Itu kan kawasan memang kumuh banget. Kita mau memanusiakan manusia.
Kita kasih warga miskin itu tempat di Rusunawa. Gratiiiis loh! Nah, kurang baik bagaimana kita?”
Reporter
televisi swasta memperlihatkan potret Hindun dan anaknya yang sedang menangisi tubuh
berlumuran darah.
“Halaaah!
Ibu itu lebay, nangis kayak di sinetron saja!” komentar Penguasa enteng sekali.
@@@
Posting Komentar