- Apa yang Ompung Cari, Bah?
- Pipiet Senja
Bada shalat subuh Rumondang keluar dari biliknya. Hawa
dingin segera menyergap wajahnya begitu kakinya menuruni tangga kayu sopo godang1
milik kakeknya. Sebuah rumah adat Batak berbentuk panggung tinggi, terbuat dari
kayu-kayu jati yang kokoh. Biliknya dari anyaman bambu dengan atap rumbia.
Ketika dirinya masih kecil, di bawah panggung itulah sudut favoritnya tempat
bermain rumah-rumahan bersama sepupu-sepupunya.
Di kampungnya sopo
godang milik Ompung2 terbilang bangunan paling bagus. Sebab Ompung Ni Sahat
adalah orang yang sangat kayaraya. Sabak3-nya tak terhitung banyaknya, lumbungnya
yang selalu penuh berada di tiap sudut pekarangan dengan luas entah berapa
hektar. Belum lagi hewan peliharaannya, kambing, sapi, kerbau, ayam,
bebek, angsa dan berbagai jenis burung.
“Guuuk! Guuuk! Guuuk!”
“Nguuuk! Nguuuk! Waaau! Waaau!”
Monyet-monyet
bergelantungan dari pohon yang satu ke pohon lainnya sambil menjerit-jerit
riuh.
“Iiih,
bikin halak4 kaget
saja!” gumamnya.
Rumondang
Siregar, dara berumur 16, dengan rambut panjang lebat tersembunyi di balik
jilbab kaos berwarna putih. Tubuhnya yang tinggi ramping terbalut dalam stelan
baju olah raga.
Dia baru usai Ujian Nasional SMA di Padang Sidempuan,
masih harap-harap cemas, apakah nilai-nilainya akan sebagus prestasi sebelumnya
atau sebaliknya jeblok? Rasa cemasnya sesungguhnya tidak perlu. Sebab siapapun
sudah tahu, Rumondang hampir tiap tahun menyabet peringkat pertama di
sekolahnya.
“Guuuk!
“Nguuk!
“Waau!”
Ia
tersenyum simpul sendiri. ”Kalian itu tak bisa kompak pula rupanya, ya?”
katanya sambil memerhatikan makhluk-makhluk lucu yang bergelayutungan tak jauh
dari atas kepalanya. Dia sama sekali tidak merasa takut. Sebab sejak kecil
dirinya sudah akrab dengan binatang-binatang lucu itu.
”Rindu
pula rupanya kalian itu sama aku, ya? Hihi, sudah lama juga tak ketemu kita nih.
Salah siapa coba? Aku sibuk Ujian Nasional, sementara kalian sibuk bergelantungan
terus, ya?” Rumondang terus berceletoh dalam hatinya.
Mulanya dia berjalan santai, menapaki jalan setapak
menuju Utara kampungnya. Hanya saat dia melintasi sungai tiba-tiba entah mengapa,
bulu romanya meremang. Sepi, senyap dan memang sungguh lengang.
Ke mana saja orang-orang itu? Kan biasanya juga ramai di
sungai ini?
“Wuiih! Wuiih….”
Tangannya sibuk menepis-nepiskan rumput ilalang yang
menghalangi jalannya. Ilalang setinggi orang dewasa begitu lebat bagai tak
bertepi. Namun tubuh ramping itu terus menyelusup di antara ilalang, pepohonan
dan semak belukar.
“Ooh, iya, ya…. Ini musim panen raya,” gumamnya membatin.
Rumondang baru teringat kembli percakapannya tadi malam
dengan Bou5
Taing, saudara perempuan ayahnya.
“Tiap subuh orang sini sudah berangkat ke sabak. Bagaimana dengan kau? Apa kau mau
ikut kami besok itu, Butet?” tanya Bou Taing.
“Iya, bantulah kami panen, Butet!” kata Tigor, suami
Taing.
“Maaf,
kalau besok aku tak bisa. Aku mau ke kubur Ompungboru7,” sahutnya tegas.
Tak ada yang melarang atau membantah, bahkan tak ada yang
berkata-kata lagi. Memang sejak dulu pun sikap mereka selalu begitu. Tak
pedulian terhadap dirinya. Biarlah, daripada mendengar omelan dan sumpah
serapah Bou Taing. Sebab sekalinya angkat
bicara, omongan perempuan itu sering amat melukai hatinya.
“Anak
Cina itu takkan kerasanlah lama-lama di kampung. Seharusnya kau tinggal di kotalah itu, Amoy!”
“Pergilah ke keluarga Cina kau itu di Medan!”
Baiklah, anak Cina, katanya tandas. Tanpa tedeng aling-aling.
Ibu yang melahirkan dirinya memang seorang wanita keturunan Tionghoa. Wu Siao
Lien nama Tionghoanya. Nama pribuminya Maharani Sanjaya.
Cantik jelita wajah ibuku itu dalam potretnya, pikir
Rumondang. Ya, dia hanya mengenalnya dalam potretnya. Sebab dia sudah
ditinggalkan oleh ibunya sejak berumur setahun. Bukan ditinggalkan ke alam
baka, tapi entah pergi ke mana.
Rumondang
takkan melupakan hari-harinya ketika kanak-kanak. Perilaku neneknya dan
saudara-saudara ayahnya sering menyakiti perasaannya. Bahkan bukan saja secara
batiniah melainkan juga fisiknya. Serasa masih terngiang-ngiang di telinganya
omongan Ompungboru.
“Ibu kau itu minggat, Butet!”
“Kalau
sudah besar nanti, kau pun akan benci sama ibu macam si Siao Lien itu.
Percayalah sama aku!” ujarnya ketika Rumondang kelas enam SD.
“Tapi kenapa, Pung?”
“Si Siao
Lien itu bukan boru8 baik-baik,
mengerti?!” cetusnya bernada penuh kegeraman dan kebencian.
“Eh…. Jadi, macam perempuan mana pula ibuku itu, Pung?”
“Pokoknya
perempuan tak baiklah Ibu kau itu, Butet!” dengusnya mengulang-ulang, entah
untuk ke berapa kalinya.”Dia itu tak bisa diajak hidup sengsara sama suami….”
“Artinya,
dulu memang betul orang tuaku itu pernah hidup sengsara di kampung kita, ya Pung?”
tukas Rumondang penasaran sekali.
“Hanya sebentar. Tak ada kerjanya pula selain mengurung
diri di kamar. Entah bikin apa itu, mengetik?”
“Mengetik, Pung?
Mengetik apa? Sebenarnya apa pekerjaan ibuku dulu, Pung?” kejarnya semakin
penasaran.
Ini kesempatan baik untuk mengorek perihal orang tuanya.
Biasanya tak ada seorang pun yang mau menyinggung perihal mereka. Terutama
tentang ibu kandungnya. Seakan-akan telah menjadi tabu, pantangan berat bagi
keluarga besar ayahnya.
“Kurasa
dia itu cuma ikut-ikutan anakku saja,” kata perempuan tua itu sambil menumbuk
padi dengan kekuatannya yang luar biasa.
Sering Rumondang merasa heran dengan kekuatan fisik yang
dimiliki perempuan tua berperawakan tinggi besar itu. Ompungboru mengerjakan segalanya seorang diri!
“Kata Uda Tigor, ayahku itu seorang
seniman, Pung?”
“Iyalah, betul itu! Sudah jadi seniman terkenal anakku
itu sebelum kawin sama si Siao Lien. Orang bilang penyair, begitulah. Gara-gara
kawin sama halak Cino, kacau pulanya hidup anakku itu! Jadi Sampuraga8-lah
dia itu. Bah!”
Tiba-tiba perempuan tua itu berhenti
menumbuk. Sepasang matanya dilayangkan ke kejauhan, ke ufuk langit berwarna
biru bening. Rumondang sering berpikir, adakah Ompungboru pernah merindukan putranya? Anak laki-lakinya semata wayang? Sebab
seingatnya, neneknya tak pernah memperlihatkan kerinduannya kepada siapapun.
Kesibukannya sebagai ibu rumah tangga, penyokong utama keluarga besarnya sudah
menguras seluruh enerjinya.
Namun, kalau untuk urusan sumpah serapah, bah!
Dialah biangnya!
“Hei,
sudahlah jangan mau tahu cerita orang tua kau. Sekarang kau ini kan sudah lama
ditinggalkan sama mereka. Kau ini dibuang, Butet. Makanya kau harus bisa
menitipkan diri. Jangan banyak main. Sekolah juga tak usahlah tinggi-tinggi.
Diam sajalah kau di rumah. Kerja di sabak,
mencangkul, panen, menggembala ternak, bantu-bantu aku yang sudah tua ini. Cukuplah
begitu kehidupan kau itu, Butet!” ceracaunya tak tertahankan lagi.
Syukurlah,
Sang Maha Pencipta menjemput neneknya tak lama setelah Rumondang lulus SD dan
sangat menginginkan melanjutkan sekolah. Neneknya meninggal akibat dehidrasi, muntaber. Tak mau dibawa ke Puskesmas
atau dokter. Bahna malas dan kikirnya mengeluarkan isi kocek yang selalu
disimpannya dengan sangat telaten di lemari tuanya.
Memang
ada bagusnya bagi Rumondang ditingalkan oleh Ompungboru. Karena perilaku dan keinginan sang nenek sangat berbeda dengan
nenek-nenek temannya.
Apabila nenek temannya punya keinginan melihat dan
memajukan anak cucu, mengejar cita-cita. Seperti Ompung si Liani, meskipun sangat miskin, bersikukuh menyekolahkan anak
dan cucu ke perguruan tinggi. Dibela-bela walaupun harus berutang sana-sini,
menggadaikan bahkan sampai menjual seluruh harta benda.
“Kalau Ompungboru
masih ada, tentu aku takkan bisa sekolah di Sidempuan macam sekarang, ya Pung?” cetus Rumondang ketika diantar oleh kakeknya
ke tempat kos di Kabupaten.
Saat itu dia akan melanjutkan sekolahnya ke tingkat SMA.
Di kampungnya belum ada SMP. Jadi ketika SMP pun dia harus berjalan kaki
sepuluh kilometer pulang dan pergi ke Kecamatan.
“Iyalah. Aku pun takkan kawin lagi
sama si Joruk, bekas teman kau itu,” sahut kakeknya sambil terkekeh.
Rumondang
mesem dan menggoda kakeknya.”Jadi,
lebih suka mana, Pung? Saat masih ada Ompungboru atau sekarang?”
“Ah,
macam mana pertanyaan kau itu? Menggoda aku saja, ya?” elaknya tersiup malu,
tapi sesaat kemudian dilanjutkannya. ”Tapi Butet, kalau aku pikir-pikir pula,
bah! Enakan sekaranglah kita ini, ya Butet? Tak ada lagi tukang sumpah-serapah di
rumah. Artinya, dingin kuping bening matalah kita ini. Iya kan, Butet?”
Rumondang tertawa tergugu melihat
kelakuan kakeknya. Belum 40 hari meninggal Ompungboru, ketika Ompung menikah
lagi. Joruk, bekas sobat kecilnya, teman bermain di sungai dan mengaji di
surau. Tentu saja mulanya tindakan kakeknya itu menjadi gunjingan orang
sekampung. Namun, kemudian reda sendiri.
Siapa pula yang berani ganggu-gugat kakeknya? Orang yang
paling berkuasa, banyak harta, baik budi, ringan hati dan selalu berbagi dengan
masyarakat sekitarnya. Seorang pelopor pendidikan di desa mereka. Karena pernah
berkelana ke Malaysia, Makkah, Iran dan Irak.
Biarlah Sang Khalifah punya istri lagi, pikir mereka.
Lagipula, memang diwenangkan meski dia ingin punya istri sampai empat
sekalipun. Iya kan? Apalagi ini sedang melajang kembali. Siapa pula yang mau
kedinginan sendirian, menjelang hari-hari senja dalam hidupnya? Nah, yang
penting dia tetap baik hati, selalu ikhlas berbagi hartanya dengan masyarakat.
Walau mendapat tentangan hebat juga dari anak-anak Ompungboru. Ompung tetap melanjutkan niat dan hasratnya, menikahi remaja belasan
sebaya cucunya. Dia merasa sudah cukup adil, membagikan sebagian hartanya
dengan anak-anaknya. Hidup masih terus berlanjut baginya. Setelah dua per tiga
hidupnya dihabiskan dengan seorang istri nyinyir. Dia masih ingin menikmati
sisa-sisa hidupnya dalam suasana yang
sangat berbeda.
“Hmm, Ompung… Ompung,”
gumam Rumondang sambil mesem-mesem
sendiri.
Teringat kembali bagaimana saat kakeknya begitu keras
kepala, melaksanakan keinginannya menikahi Joruk. “Tak takut dimusuhi
anak-anaknya, tetap berkeras menikahi Joruk. Hm, sebenarnya alasan apa, ya Ompung itu? Segitu umurnya
konon sudah 105 tahun?!”
Ah, tapi meskipun sudah lebih seabad begitu, penampilan
kakeknya tampak tegar. Gigi-giginya masih banyak, rapi dan kokoh. Matanya pun
masih awas, tanpa kacamata. Perawakannya juga sama sekali tidak bungkuk,
apalagi peot. Ompung masih gagah,
kuat dan tegar sekali.
Suaranya bila sedang mengajari anak-anak mengaji atau markobar9
itu; subhanallah, begitu lantang dan bening!
***
Posting Komentar