Catatan Cinta Ibu dan Anak
Usia anakku tiga tahun setengah ketika kisuh-misuh dalam
keluarga besar SM. Arief terjadi. Adikku En bercerai, anaknya semata wayang
dititipkan di Cimahi, dan diasuh oleh ibuku. Sementara ayahku sakit-sakitan dan
menjelang masa purnawirawan.
“Adikmu mau meniti karier dulu. Kasihan, biar dia melupakan
perceraiannya,” berkata ayahku. “Di Jakarta anaknya kurang terurus, kita tak
bisa mengandalkan seorang pembantu…”
Tentu saja aku pun ikut prihatin dengan kondisi adikku. Perceraiannya
lebih merupakan hasil jebakan dan puncak intrik yang dilakukan oleh istri tua.
Tapi keprihatinanku tidak membuatku menyetujui En mengambil sikap untuk
menjauhkan anaknya dari dirinya.
“Apa enak hidup terpisah dengan anak semata wayang?”
tanyaku saat mendiskusikan situasi yang kami hadapi. Sama menyandang predikat
janda, single parent.
“Gak lah, tapi aku kan
gak bisa konsen kerja kalau harus sambil urus anak,” kilah En. Dia kelihatan
tegar dan siap berjuang mempertahankan anaknya… apapun yang terjadi!
“Mengapa tidak kita urus bersama saja anak-anak kita ini?”
“Maksudmu?”
“Kalau Teteh mau mengembangkan karier memang harus pindah
ke Jakarta ,”
tegas En.
Entah siapa yang memulai, tapi yang jelas kemudian aku dan
En menjadi lebih kompak. Sehingga aku memutuskan pindah ke Jakarta, menempati
rumah yang terletak di sebelah tempat tinggalnya. Ternyata di situlah aku
kembali bertemu ayah anakku. Dia tampak kurus, sekilas kelihatan lebih dewasa
dan sangat perhatian terhadap Haekal.
Beberapa kali bertemu, aku mulai mempertimbangkan untuk membuka kesempatan kedua bagi kami
bertiga; suami, anak dan diriku. Karuan keputusanku ini membuat adikku En
berang sekali.
“Ya sudah, kalau memang gak mau diurus, biar saja hidup
mandiri di luar sana!”
“Gak ada yang gratis di dunia ini!”
“Semuanya harus dibeli dengan perjuangan, air mata dan
darah!”
Dan banyak lagi perkataannya yang beraroma kapitalis,
hitung-menghitung untung dan rugi. Aku tak meladeninya. Yang terpikirkan olehku
saat itu adalah bahwa memang sebaik-baiknya seorang anak hidup dengan kedua
orang tuanya.
Aku telah merasakan bagaimana berat dan rumitnya melakoni
kehidupan menjanda, menanggung beban itu seorang diri. Bahkan belakangan aku
pun harus menanggung beban orang tua, ikut membiayai adik-adik dan membayari
utang ibuku kepada rentenir.
Beberapa peristiwa urusan sakit dan pengobatanku pun harus
kulewati seorang diri, ya, hanya ditemani anakku. Puncak kekecewaanku adalah
saat aku sangat membutuhkan biaya untuk berobat, uang yang kutitipkan kepada
ibuku ternyata sama sekali tak bisa kuminta kembali. Sehingga berhari-hari aku
harus merasakan kesakitan pada limpa, lemas yang tiada terkira, terkapar
seorang diri, hanya ditemani anakku yang masih Balita.
“Baiklah, semuanya terserah kepadamu,” berkata ayahku yang
tampak mulai lelah, karena harus beberapa kali keluar-masuk rumah sakit dengan
penyakitnya, urusan urologi yang sudah kronis.
Sebelum resmi rujuk, aku membawa anakku pindah ke sebuah
rumah sewa milik seorang ulama terpandang di Cibubur. Rumah sewa itu berukuran
empat kali lima ,
sebuah kamar, ruang depan, kamar mandi dan tanpa dapur. Beberapa bulan lamanya,
di sinilah kami berdua tinggal.
Suatu malam di musim hujan, pukul dua dinihari tiba-tiba
air masuk dari lubang-lubang (baru kusadari keberadaannya) di tembok yang
menghalangi kamar dengan rumah sebelah. Aku tersentak karena anakku sudah
terbangun lebih dulu, kemudian mengguncang-guncang tanganku.
“Mama, kata orang ada banjir,” bisiknya dengan sorot mata
ingin tahu dan penasaran.
Samar-samar memang kudengar suara gaduh di luar. Agaknya
sungai kecil di belakang kompleks perumahan sewa ini meluap. Aku meloncat dari
dipan bertingkat, gegas kunaikkan jagoan kecilku itu ke bagian atas, dan aku
berpesan wanti-wanti kepadanya.
“Diam-diam di sini, ya Nak, Cinta…”
“Mama mau ke mana?”
“Mama mau lihat keadaan sebenarnya.”
Tapi akhirnya aku tak sempat lagi melihat-lihat, karena air
bagaikan bah menerobos masuk, dalam hitungan menit pun sudah melewati paha.
Kuselamatkan barang-barang kami yang tak seberapa. Sesungguhnya yang berharga bagiku
hanya mesin ketik, baju, sedikit makanan kering dan buku-buku.
“Mama, itu si Mot Monyet! Duh, basah, kasihan!” seru Haekal
menunjuk-nunjuk buku favoritnya, serial Mot Monyet yang sudah mengambang di
atas permukaan air.
Aku memungut dan memberikannya sambil kubujuk bahwa buku
favoritnya pasti bisa diselamatkan. “Kita akan menjemurnya kalau hari sudah
terang, ya Nak.”
“Makasih…” gumamnya seraya memandangi gambar Mot Monyet
yang mendelong kosong ke arahnya.
Aku memalingkan wajah dan mulai berpikir keras untuk sebuah
penyelamatan, tanpa harus membekaskan luka dalam jiwanya. Sementara di luar
hujan semakin deras, air kian meluap memasuki rumah petak kami.
“Lahaola walla quwwata ila billahi aliyyul adziiim…” Maka
kusingsingkan lengan baju dan mulai berjibaku.
“Hujan datang, hujan datang, banjirnya. Tuhan, jangan
lama-lama hujannya. Jangan lama-lama banjirnya, kasihani Mama, kasihani Ekal,
kasihani kami, duaan!” celoteh anakku.
Sementara aku berjibaku menyiuki air, membuangnya ke luar
rumah, anakku terus berseru-seru menyemangatiku. Kadang aku mendatanginya,
mengingatkan agar tidak berisik, kemudian kubuatkan perahu-perahu dari kertas.
Dia mempermainkannya dari atas ranjang tingkat dua itu dengan sapu lidi sebagai
pengaitnya.
Dua jam berlalu sudah, hujan masih turun bahkan semakin
deras, dan air tetaplah bergeming. Keringat, peluh, banjir dan air mata mulai
mengaduk-aduk perasaanku. Inilah saat-saat paling sengsara yang belum pernah kami alami.
Ketakutanku sesungguhnya lebih disebabkan sebuah tanggung
jawab yang harus kupikul, demi menyelamatkan nyawa kami berdua. Aku harus
jujur, sesungguhnya aku merasa takut sekali tak sanggup menunaikan amanah yang
telah diberikan Sang Pencipta di pundakku ini; anak!
Pikiranku serasa buntu dan membeku. Lelah lahir, lelah
batin. kupandangi wajah mungil yng kini tampak kelelahn pula, sepasang matanya
balik menatap sayu ke arahku, tapi mulutnya sudah berhenti mengoceh sejak
beberapa saat berselang.
“Sudah ya Ma, sudah, sini, kita doa aja,” ajaknya
tiba-tiba.
Di situlah, di atas ranjang tingkat, mengisi waktu
menjelang subuh, aku memeluk tubuh kecil sambil mulutku tak putus berzikir dan
berdoa.
***
Seminggu hujan turun
terus-menerus, air bagaikan dicurahkan dari langit. Banjir di mana-mana, meluap
di kawasan perkampungan belakang kompleks perguruan Islam milik ulama besar
itu. Berkali-kali air datang di malam hari, kemudian surut menjelang siang.
Acapkali kami berdua sama sekali tak bisa berbuat apa-apa
untuk mencegah air masuk, atau menyiukinya saat banjir datang. Paling kami
hanya memandangi pemandangan ajaib itu dari ranjang bertingkat selama
berjam-jam, tak jarang harus menahan rasa haus dan lapar hingga air surut
kembali.
Suatu petang yang terbebas dari hujan, saat kami sudah
kehabisan bekal, tak ada makanan kering, tak ada beras sebutir pun. Kocek pun
kosong sama sekali!
“Mama, gak punya uang lagi, ya?” usik anakku.
Sepanjang hari itu hanya kuberi semangkuk bubur pemberian
tetangga, dan beberapa potong kue basah.
“Iya, Nak. Baru besok pagi kita bisa ke kantor redaksi
mengambil honor,” sahutku sambil berpikir keras, bagaimana mendapatkan makan
untuk mengganjal perutnya malam ini.
“Kenapa besok?”
“Yah, karena naskahnya belum jadi nih.”
Tidak, bukan itu alasannya. Aku tak punya ongkos!
“Oh…” kesahnya mengambang di antara genangan air di bawah
kami. Kutahu dia mulai tersiksa dengan bunyi lagu keroncong yang setiap saat
diperdengarkan oleh perut kami.
Aku kembali melanjutkan menulis cerita bersambung sambil
menekan rasa bersalah yang meruyak. Kulihat sepintas makhluk kecil itu mulai
mencari-cari sesuatu untuk melampiaskan pikiran dan perasaannya. Ya, kutahu
persis demikian kebiasaannya!
Benar saja, begitu dia berhasil menemukan buku Mot Monyet
dan robot-robotan Megaloman, maka dengan cekatan tangannya memainkan si robot.
“Alkisah di jaman sekarang, si Mega lagi musim kebanjiran
jrek-jrek jrek-jrek, nooong!”
Bibirku niscaya mengerimut menahan senyum.
“Emak si Mega lagi sibuk kerja, bikin cerita biar bisa
dijual, jrek-jrek jrek-jrek, nooong!”
Bibirku niscaya kian mengerimut, menahan geli.
“Uangnya nanti bakal beli makananan anaknya, jrek-jrek
jrek-jrek, nooong!”
Ah, anak ini bisa saja kalau sudah menghibur ibunya,
pikirku. Jari-jemariku semakin sibuk ngebut menulis. Tinggal satu bab lagi dan
selesai!
“Aduuuh, si Mega sekarang lagi kelaparan… jrek-jrek jrek
jrek… duuuh, duuh…”
“Soalnya berhari-hari cuma makan bubur… jrek-jrek
jrek-jrek… nnnn… mmm, mmm…”
Dadaku mulai berdebar, tapi kutahankan untuk tidak
terpengaruh. Jari-jemariku, pikiran dan perasaanku masih berkutat pada ending
cerita tentang sebuah keluarga yang berbahagia…
Ya Rob, kuatkan anakku, jeritku mengawang langit.
“Adduuh… Tuhan… Ekal kepingin makan… Tuhan… di mana
makanannya?”
Aku masih melanjutkan menulis, tapi tak ada suara apapun
lagi dari sebelahku. Kuhentikan berjibaku dengan si Denok, kulirik dalang
jejadianku tersayang yang telah membuat ibunya merasa geli. Ya Tuhan, kenapa anakku,
begitu?
Anak itu, buah hatiku tercinta, belahan jiwaku tampak
menekuk kedua lututnya, memeluk robotnya erat-erat, sedang buku Mot Monyet
sudah terlepas dari tangannya, mengambang di permukaan air yang menggenang di
bawah kami.
“Naaak, Cintaaa, maafkan Mama, ya, maafkan Mama!” kuraih
dan kupeluk tubuh mungil yang sudah tak tahan rasa laparnya itu erat-erat.
Ada gigilan yang aneh mengalir dari tubuhnya. Ya Tuhan,
jangan, jangan biarkan anakku sakit. Jangan saat-saat begini, jangaaan!
Benteng pertahananku pun jebol sudah, air bening meluap
dari sudut-sudut mataku, seolah-olah ingin menyaingi air banjir yang telah
menggenangi tempat mukim kami selama berhari-hari.
“Ke mana kita, Ma?” lirihnya lemah saat kugendong dia
dengan segala kekuatan yang masih kumiliki, tak peduli kusibak air sebatas
lutut yang telah membuatku merasa terhalang untuk mencari nafkah lebih keras
lagi.
“Pssst, diamlah, Nak. Kita berdoa, kita akan cari makanan,”
bisikku di telingaku.
“Siiip!” serunya mengagetkan. “Turunkan Ekal, Ma, nanti
limpa Mama sakit lagi,” pintanya pula serius sekali.
Berjalan kaki menembus tanah becek yang tiada terkira,
kuperas otakku sedemikian rupa, bagaimana caranya mendapatkan makanan untuk
anakku? Nah, ada warung nasi, tapi dari mana uangnya?
“Tunggu dulu di sini sebentar, ya Nak,” kulepaskan
genggaman tangannya beberapa meter dari warung nasi itu.
Tanpa banyak tanya, ini sesuatu pengecualian, biasanya
sangat cerewet, dia mengangguk, membiarkanku berlalu. Maka, kulempar segala
perasaan malu, kudatangi pemilik warung nasi.
“Ibu, Ibu, hmm, maaf, bisa saya minta tolong ya Bu?”
Perempuan paro baya bertubuh subur itu memandangiku. Apakah
dia masih mengenaliku? Ada
beberapa kali aku membeli makanan ke sini.
“Ya, ada apa?” tanyanya.
“Saya butuh makanan, sebungkus nasi rames, ya Bu. Tapi
bayarnya besok, ya Bu. Boleh, ya, Bu, boleh?”
“Ooooh…”
Tidak, kutekan terus rasa malu itu, mumpung tak ada
siapapun selain si ibu.
“Ibu kan kenal saya yang nyewa di rumah Ustad Fahri. Nah,
ini, kalau gak percaya, mmm, saya jaminkan KTP ini, ya Bu.”
“Oalaaa… Neng, Neng, ya wis … pake jamin-jaminan KTP segala,”
tukasnya sambil tersenyum ramah.
“Tapi, saya emang lagi….” Kutelan air mata yang seketika
terasa asin, dan berjejalan hendak tumpah berderai dari sudut-sudut mataku.
“Monggo, mau apa saja.. Jangan sungkan-sungkan tho, Neng…”
Begitu sayang Gusti Allah kepada kami, kataku dalam hati.
Maka, kujinjing dua bungkus nasi rames lengkap dengan lauknya; ayam goreng dan
perkedel.
“Makanannya dapat, ya Ma?” sambut anakku sambil menatap
kantong kresek di tanganku lekat-lekat.
Aku mengangguk dengan mata membasah.
“Horeee, asyiiik!” serunya berjingkrak kegirangan.
“Pssst, Alhamdulillah, begitu,” tukasku sangat terharu
melihat anakku girang tak terkira.
“Eh, iya, ya, Alhamdulillah wa syukurillah….”
Kami bergandengan tangan kembali ke rumah petak, masih
terendam oleh air sungai yang meluap ke mana-mana.
Malam itulah aku memutuskan untuk menyerahkan kembali
anakku kepada bapaknya, termasuk diriku. Meskipun harus menanggung nestapa
selama puluhan tahun kemudian, disebabkan kecurigaan membuta, paranoid yang
sudah berurat dan berakar dalam jiwanya.
***
Sediiih 😢
BalasHapusPosting Komentar