Ungu Hariku Jingga Hatiku
Pipiet Senja
Keadaan pernikahan tidaklah menjadi membaik setelah ada anak. Acapkali aku
menangisi anakku, apabila ayahnya tanpa tedeng aling-aling menuduhku, apa yang
disebutnya sebagai; melahirkan anak di dalam rumah tanggaku.
Usia 11 bulan anakku ketika aku jatuh sakit dan tetirah di rumah orang
tuaku. Ketika pulang kutemukan jejak perselingkuhan yang sangat keji kurasai,
dan amat melukai hati keperempuananku. Segala respek, kepercayaan yang begitu
kupertahankan atas dirinya, sekaligus senantiasa diagung-agungkan dalam setiap
ucapannya; hancur dalam sekejap!
“Jangan ambil keputusan sekarang, dengarkan, dengarkan dulu pembelaanku,”
dia sempat meratap, meminta maaf, tapi sama sekali tak pernah mengakui
kesalahannya sebagai suatu kekhilafan.
Aku menarik kesimpulan sederhana bahwa dia melakukan semuanya itu dengan
segala kesadaran, kesengajaan hanya untuk menghancurkan. Sebuah pernikahan yang
memang tanpa pernah dibangun dengan tiang-tiang yang kokoh.
Pengaduan para tetangga tentang keberadaan seorang perempuan saat aku tak
berada di rumah, terngiang-ngiang di telingaku. Bahkan berani-beraninya dia
mengakui bahwa perempuan itu adalah adikku dari Medan.
“Ya Tuhan, sejak kapan aku dan keluargaku tinggal di Medan ?” raungku hanya tertelan di
tenggorokan.
Hanya satu bulan dan itupun atas izinnya aku tetirah dalam kondisi sakit,
tanpa pernah dikunjungi apalagi memakai uangnya untuk pengobatanku. Tahu-tahu
sudah ada perempuan lain, bahkan sebelumnya melakukan transaksi dengan berbagai
perempuan nakal di kawasan Monas. Sebagaimana dia tulis dengan rinci di catatan
hariannya, entah sengaja atau tidak, dia menyelipkannya di dinding kamar.
Sehingga aku dengan mudah menemukannya dan membacanya dengan perasaan hancur
lebur.
Tuhan memang Maha Kasih, diperlihatkannya seluruh rincian catatan harian
yang sarat kejalangan, kemesuman dan kehewanannya itu. Demi Allah, dia sangat
menikmatinya!
Segala perasaan sayang raib seketika, timbul kebencian dan dendam yang tak
teperi, menyelimuti seluruh akal sehatku. Aku menyerahkan urusanku kepada
bapakku. Aku kembali ke rumah orang tua, menyerahkan pengayoman anakku kepada
mereka, bahkan bukan saja makanan, minuman melainkan juga hidup dan matiku.
Semuanya saja kuserahkan sepenuhnya, urusanku dan anakku kepada keluargaku.
Bahkan aku tak tahu menahu bagaimana proses gugat cerai itu berlangsung.
Tahu-tahu aku dipanggil beberapa kali ke Pengadilan Agama, tanpa dihadiri ayah
anakku, kemudian divonis; talak satu.
Berbulan-bulan diriku tenggelam dalam rasa sakit, lahir dan batin, jiwa dan
raga. Kubiarkan keluargaku mengurus diriku, semakin hari semakin tenggelam ke
lembah putus asa. Hidupku sempat bagaikan daun kering, melayang-layang tanpa
tujuan, hampa. Sampai suatu saat aku terbangun kembali, menemukan anakku sakit
keras.
“Anakku, maafkan Mama, Nak,” ratapku penuh penyesalan. “Duhai, buah hatiku,
maafkan Mama yang sudah lalai,” kuciumi wajah mungil berusia belasan bulan.
Ia mengalami demam tinggi berhari-hari tanpa ada yang mengobati selain
dikompres dan diobati alakadarnya.
Sekali itu Tuhan menuntun diriku agar sadar kembali, tidak jauh-jauh, melalui
ketakberdayaan anakku sendiri. Di rumah tak ada orang tua, adik-adik tak
berdaya. Tinggal nenekku yang telah tua dan sakit-sakitan, dan diriku yang
masih langlang lingling bagaikan perempuan sinting.
Kujual cincin kawin yang masih kumiliki, dengan itulah kubawa anakku ke
dokter spesialis anak. Pulang dari dokter, sambil dipayungi oleh Ed, adik
laki-laki kelas satu SMA, aku menyatakan sumpah dalam hati.
“Demi Allah, langit dan bumi akan menjadi saksiku, sejak saat ini hanya
akan kufokuskan hidupku demi anakku, ibadahku dan hidup di jalan kebenaran,
sesuai syariat yang diajarkan Nabiku Muhammad Saw.”
Sejak saat itulah, kubenahi langkah-langkahku, kutata hidupku berdua
anakku. Kami menempati pavilyun yang pernah kubangun sebelum menikah. Namun,
tak jarang apabila ada adikku, En, suaminya beserta anak berkunjung, kami
berdua akan mengalah menempati setelempap sudut di loteng, berkawan cecurut,
tikus dan kecoa yang berseliweran.
Aku menerima segala kondisi yang harus kujalani, sebab ini kesalahanku
sendiri, sebagaimana kerap disindirkan ayahku terhadapku. Menyandang status
janda sungguh tak mengenakkan bagi perempuan mana pun. Tak terkecuali diriku, dengan segala
ketakberdayaan; penyakitan, sama sekali tidak rupawan dan menawan secara
lahiriah.
Anehnya, hari-hariku sempat diwarnai kecurigaan, kecemburuan di antara para
perempuan tetangga di kampungku. Mereka mungkin merasa heran dengan kondisiku
yang sepintas kilas tampak tenang-tenang saja, berbahagia berdua anakku.
Aku
memang mulai menangguk laba, sebab ada banyak kucuran honor dari dunia
kepenulisan. Emas dan berlian mulai menghiasi pergelangan tangan, jari-jemari
dan leherku. Mereka tidak pernah tahu bagaimana aku meraih semuanya itu.
Bermalam-malam begadang, mengetik, menulis, menulis dan menulis hingga
jari-jemariku kebas.
Inilah kondisi yang sangat traumatis dalam sejarah hidupku. Ungu hariku
jingga hatiku, mungkin demikianlah judul yang tepat kupilihkan untuk episode
hidupku ini.
Suatu hari, ada seorang ibu paro baya sekonyong-konyong mendatangiku, dan
memaki-maki diriku tanpa sebab. Setelah usut punya usut ternyata dia salah
orang. Tujuannya adalah salah seorang famili yang juga memiliki nama sama,
(Etty) dan telah menggoda suaminya.
“Saya Pipiet Senja bukan Etty, Bu,” kataku menahan kemarahan yang nyaris
meledak di ubun-ubunku. “Aku memang janda, tapi juga seorang penulis, yakinkan
hal itu!”
Bagaimana tidak, dia memaki-maki di depan orang banyak, di tengah pasar
tanpa ba-bi-bu lagi. Lusinan nama
hewan di kebon binatang, dan semua sebutan beraroma kejalangan dimuntahkan dari
mulutnya, ditujukan kepada diriku.
Sungguh perbuatan yang tak termaafkan!
“Mama… angis ya, angis… ngapa Ma? Acit yah, Ma, aciiitnya mana cih?”
Haekal, usianya saat itu dua tahun, baru belajar bicara, memandangi wajahku
yang niscaya pucat bagaikan mayat.
Aku menunduk, memandangi wajahnya yang fotokopian bapaknya. Seketika aku
merasai lagi kepedihan, perasaan terhina, ketakberdayaan, semuanya itu nyaris
menguasai diriku.
“Tidak, tidak, jangan pernah menyerah kembali!” jeritku segera mengusir
setan pelemah iman.
“Ngapa Mama diem… Mama ga awab Etan ciiih?” gugatnya sambil
mengguncang-guncang tanganku, digenggam erat-erat oleh tangannya yang mungil.
Sementara aku belum sempat belanja, jadi kutuntun anakku menyingkir dari
tempat yang mendadak bagaikan disaput lautan neraka itu.
“Mama gak sakit, sehat-sehat saja, Nak, lihat nih! Ayo, semuanya, segala
setan belau ,
jin Tomang, siapa takut?!” Aku mengacungkan kedua tinjuku, sehingga mengepal di
atas kepalanya.
Seketika dia terkekeh-kekeh menggemaskan. Haekal memang tumbuh dengan
sangat baik, jarang sakit dan kecerdasannya sudah terlihat sejak kecil. Sejak dalam kandungan aku sering mengajaknya
bicara, tak peduli dianggap sinting sekalipun. Begitu dia lahir tiap saat pun
kuajak bicara. Seakan-akan dia bukan makhluk tak berdaya, aku mendudukkannya
sebagai seorang teman, sahabat yang bisa kuajak curah hati.
Mungkin karena itulah Haekal lebih mudah memahami perkataan orang dewasa.
Pada usia sebelia itu, perbendaharaan katanya sungguh menakjubkan. Banyak orang
terheran-heran dengan gaya
bicaranya yang lugas, bernas dan cerdas.
“Ini dia anak ambing… nah, atunya agi embu ambing… Mmm, atunya agi sapa,
Ma?” tanyanya suatu pagi, ketika kami berjalan menyusuri kebon, sawah dan
melintasi sebuah kandang kambing.
Memang ada tiga ekor kambing di dalam kandang itu. Agaknya dia
mencermatinya dan ingin menarik kesimpulan sendiri. Langkahku yang sudah agak
menjauh, seketika terhenti, kembali berbalik ke arahnya dan menyahut; “Oh, itu
bapak kambinglah, Nak…”
Kami kembali melanjutkan langkah, kulihat anakku masih tertegun-tegun,
sesekali pandangannya diarahkan lagi ke kandang kambing. Sedangkan
jari-jemarinya seperti tengah menghitung-hitung, lalu tiba-tiba dia menunjuk ke
arahku, menepuk dadanya, dan menepuk keningnya keras-keras sambil berseru
lantang.
“Maaaa! Ambing ada embu, ada bapak… Etan (dia menyebut dirinya demikian)
mana bapaknya, Ma?”
“Oooh, bapak Haekal lagi cari kerja di Jakarta , ya Nak,” sahutku sejurus tercengang-cengang,
tak pernah menduga akan mendapatkan pertanyaan demikian secepat itu.
“Ohhh… ada bapak Etan, ya Ma, ada…”
“Iya…” Aku masih tergagap bahna terkejut. “Terus, mau nanya apalagi, Nak?”
Sementara dadaku terasa berdebar keras sekali. Bukankah ini belum saatnya?
“Mm, ya dah… ayan agi Ma, ayoooo!” ajaknya sambil menyambar tanganku,
seolah-olah telah puas dengan jawaban yang telah lama dicari-cari oleh otaknya
yang mungil.
Ya Allah, ada yang runtuh jauh di dalam hatiku. Tak bisa kubayangkan, entah
apalagi yang ingin dipertanyakannya kelak, tentang dirinya, tentang bapaknya,
tentang keluarganya dari pihak bapaknya. Namun, kemudian kulihat anak itu sudah
berlari-lari riang dan penuh sukacita, menyusuri pesawahan. Sebuah lahan
favorit kami berdua yang hampir tiap pagi kami susuri, selama beberapa tahun
kemudian.
Beberapa waktu kemudian, entah siapa yang mengajarinya, mungkin dia
mengingat sekali pernyataan sadis, atau mungkin pula hanya keisengan belaka.
Yang jelas, apabila ada yang menanyakan perihal bapaknya, maka demikianlah
jawabannya; “Oh, bapak Etan… Ati abak ebek!”1
Binatang yang paling ditakutinya adalah unggas, terutama bebek dan ayam.
Suatu kali ada seekor ayam jago menyambar kerupuk, makanan kesukaannya, yang
tengah dipegangnya. Anakku berhasil mempertahankan kerupuknya, tapi jidatnya
tepat dipatok si jago. Sejak itu dia selalu berusaha menghindari hewan yang
bernama ayam, bebek, burung dan angsa.
Posting Komentar