Untuk pertama kalinya aku
menjejakkan kaki di kantor redaksi Selecta Group. Di sini ada redaksi majalah
Selecta, Nova, Senang, Humor, dan Detektif & Romantika.
Karya-karyaku berupa
cerpen dan novel yang dicerberkan, acapkali nampang di kelima majalah Selecta
Group.
“Oh, Anda ini yang memakai
nama pena Pipiet Senja itu, ya? Aku sangka Anda lelaki dan sudah berumur,”
komentar Bang Azhar yang menerima aku di lantai bawah.
“Yeeeh… cewek asliiii loooh!”
sahutku jengah.
“Anda dicari Mbak Susy di
Nova, tuh,” katanya pula sesaat menelpon redaksi majalah Nova di lantai dua,
mengabarkan kedatanganku.
“Ada apa, ya… kok nyariin
aku?”
“Mbak Susy kepingin
wawancara Anda, katanya. Ayo, aku antar ke atas.”
Berita kemunculanku
langsung merebak. Buktinya, aku segera dikerumuni oleh para karyawan. Mereka
mengaku fans Pipiet Senja. Subhanallah, aku tak pernah mengira.
Pengaguman seperti itu,
sungguh bikin hati berbunga-bunga. Sekaligus miris, mengingat kembali
tulisan-tulisan yang pernah terlahir di tangan ini. Uuuh, bagaimana kalau
membawa pengaruh buruk? Bagaimana tanggung jawab moralku?
Seharusnya sejak saat itu,
aku segera menyadari bahwa media massa sangat berpengaruh bagi masyarakat.
Hati-hatilah menulis, hati-hati, hati-hati… Namun, aku manusia biasa, banyak
keterbatasan, banyak kekurangan dan banyak kelemahan.
Saat itu, aku `dituntut
untuk selalu menulis supaya aku bisa membiayai diri sendiri, membantu keluarga.
Jadi, aku masih menulis apa saja yang ingin aku tulis. Hampir tanpa mengemasnya
dengan ruh Islami. Sebatas memagarinya dengan tidak vulgar, ponografi, berbau
esek-esek. Itu saja. Ampunilah hamba-Mu yang papa ini, Allah!
Masih tentang Selecta
Group. Bapak Syamsuddin Lubis, pemimpin perusahaan penerbitan, sangat baik
memperlakukan para penulis. Beliau telah memberikan kesempatan besar untuk
mengembangkan bakat kepenulisanku. Harus diakui, melalui Selecta Group aku bisa
menyalurkan kreativitas di awal-awal karier kepenulisan.
Aku diberi banyak kemudahan
di sini. Bahkan diperlakukan secara khusus, saban minggu selalu ada honorarium
yang menanti di Selecta Group buatku. Pimpinannya sangat memahami kebutuhanku
sebagai seorang penyintas penyakit tak tersembuhkan.
Melalui majalah-majalah
terbitan Selecta Group, entah berapa ratus cerpen dan berpuluh cerita
bersambung karyaku yang pernah terlahir. Tiga buah novelku di terbitkan oleh
Selecta Group; Adzimattinur, Orang-orang Terasing, Kembang Elok Rimba Tampomas.
Aku masih terus menulis
untuk Selecta Group hingga bertahun-tahun kemudian. Sampai perusahaan penebitan
itu mengalami pailit menjelang krismon.
Suatu saat ada beberapa
orang redaksi yang mengira aku sudah meninggal. Seperti yang aku alami saat
muncul di majalah Zaman dan Femina.
“Anda bukannya sudah
meninggal?”
“Anda Yatty M. Wihardja,
kan? Yang dari Ciamis itu, ya kan?” Oh, itulah kuncinya!
Mereka agaknya keliru.
Mungkin karena karya-karya kami sering muncul di Selecta Group? Mungkin juga
karena kami sama-sama penulis Sunda. Cimahi dikira Ciamis? Atau barangkali
karena kelemahan fisik kami?
Yang jelas, aku termasuk
pengagum Yatty M. Wihardja. Karya-karyanya baik dalam bahasa Indonesia maupun
Sunda sudah sering kubaca sejak kecil. Sayang sekali, sampai Yatty dipanggil
Sang Pencipta, aku tak pernah punya kesempatan bertemu dengannya.
Saat itulah, aku mulai
merasakan nikmatnya menjadi seorang penulis. Banyak sahabat, dikenal banyak
orang dari berbagai tempat. Terutama mendapatkan pemasukan lumayan tanpa keluar
rimah. Tinggal di sudut kamar saja, honorariumnya mengalir melalui wesselpos.
Bicara soal persahabatan
antara penulis. Aku memiliki seorang sahabat, seorang penulis wanita Sunda.
Holisoh ME, penulis bahasa Sunda yang sangat produktif.
Sekitar tahun 1978-an, aku
sering menginap di rumahnya di Cileunyi. Kepadanya aku sering curah hati, dari
si Ceuceu inilah aku berguru. Terutama dalam menulis bahasa Sunda.
Aku mengagumi kreativitas
Ceu Holisoh. Sebagai seorang guru SD sekaligus penulis wanita, dia sangat
intensitas bila sudah menulis tentang masyarakat kampung di bumi Pasundan.
Dia begitu membaur dengan
karakteristik dan nuansa perkampungan. Bahkan sampai berpuluh-puluh tahun
kemudian, gayanya itu merupakan trade-mark seorang Holisoh ME.
Berbelas tahun kemudian
barulah aku mempraktikan ilmu yang pernah diajarkannya kepadaku. Meskipun di
depan publik ibu guru itu kelihatannya tak pernah mengakui aku sebagai
muridnya. Aku tetap menganggapnya sebagai salah seorang guruku yang baik.
Posting Komentar