Pipiet Senja
Lembaran baru, masa-masa pernikahan kedua kalinya, rujuk, ternyata tak seperti yang kubayangkan.
Ya Allahu Akbar, mengapa masih saja dibalun oleh kemelut?
Masalah pertama, perilaku suami dari hari ke hari memerlihatkan super egoisnya; ketakpercayaan, dan kecurigaan yang membuta. Parahnya kini selalu berakhir dengan tindak kekerasan.
Masalah kedua, ibu mertuaku yang selalu ingin ikut campur urusan rumah tangga. Namun, itu masih bisa kutahankan, bagaimana pun penghinaan yang harus kuterima dari ibu suamiku itu, tak mengapa. Kuanggap dia telah sepuh, mungkin sudah memasuki masa pikun.
“Jadi, kita sebagai anak muda harus banyak memahaminya, banyak memaafkannya,” demikian terngiang kembali wejangan ayahku.
Sungguh, tabiat suami yang pencemburu dan pencuriga parah itu sangat menyiksa lahir batin, jiwa dan ragaku.
Adik satu-satunya itu, seorang ayah dari dua anak yang menumpang di rumah kontrakan kami. Begitu kami memutuskan untuk membangun lahan di perkampungan Cikumpa, suami mempekerjakan adiknya untuk membuat sumur.
Dia mengatakan lebih baik uangnya diberikan kepada adik daripada kepada kuli.
Adiknya dibantu oleh seorang keponakannya yang juga datang dari kampungnya di Tapanuli Selatan. Urusan ini aku menyerahkan semuanya kepada suami. Aku hanya berusaha mencari dana dengan menjual naskah-naskahku kepada penerbit.
“Jangan kamu rusak adikku itu dengan kejalanganmu!” tudingnya satu hari dengan nada keras, menikam hatiku yang terdalam.
“Kenapa bicara begitu hina terhadapku?”
“Karena kamu memang tak bisa kupercaya!”
Entah berapa kali lagi aku harus mematuhi permintaannya untuk bersumpah setia, selalu dengan kesaksian Al Quran. Sebanyak itu aku bersumpah, tetapi sebanyak itu pula dia menyakiti hatiku, menghancurkan kehormatanku dengan tudingan-tudingannya yang tak masuk akal.
“Pokoknya, kalau mau rusak, ya, rusaklah dirimu sendiri! Jangan pernah libatkan adik kandungku, oke!” sergahnya dengan wajah kepiting rebus.
“Wow! Apa gak salah tuh? Tanpa dirusak siapapun, adikmu itu memang sudah rusak!” seruku dengan hati panas.
Itu memang benar, entah berapa orang yang telah melaporkan kelakuan adiknya yang suka mengganggu perempuan. Makanya dibawa dari kampung, dia sedang bermasalah dengan dua perkawinan yang kandas.
Saat itu, dia baru saja memulangkan istrinya yang kedua, konon, karena kesukaannya yang mata keranjang dan terlalu menurut terhadap ibunya. Maksudnya dalam konteks negatif, jika kata ibunya harus menceraikan istri, maka dia akan melakukannya tanpa membantah.
“Jangan lancang, ya, tutup mulutmu itu!”
“Aku berhak bicara apapun di rumah ini! Bukankah ini rumah yang kukontrak dengan uangku sendiri?” sindirku kian panas hati.
“Diamlah kau!” serunya menggeram.
“Aku takkan diam jika membela kebenaran…”
Plaaak, plaaakkk!
Dua pukulan keras menghantam wajahku dengan telak. Aku menjerit kesakitan. Haekal seketika terloncat dan berusaha menggapaiku.
“Diam kamu, anak kecil jangan ikut-ikut!” ancamnya dengan lahar angkara yang bisa membunuh jiwa seorang anak kecil.
“Jangan, jangan sakiti Mama, kasihan, Pa,” suaranya terdengar lebih merupakan erangan daripada seruan.
Aku mengawasi gerak-gerik lelaki itu. Ya, aku sudah bersumpah, apapun yang terjadi aku akan menjadi benteng anakku!
Meskipun tubuhku harus hancur-lebur, jiwaku luluh-lantak. Demi Allah, takkan kubiarkan dia menyakiti anakku.
Sekali itu, dia tak melanjutkan aksinya, langsung pergi lagi. Dia sedang menyelesaikan S1 yang bertahun-tahun tertunda. Tanpa dukungan finansial dariku, makanan dan keperluan sehari-hari yang harus kutanggung, kemungkinan sekali mimpinya itu takkan pernah terkabulkan.
“Anakku, Cinta, dengarkan Mama, ya Nak,” kataku setelah kuraih tubuh anakku yang meringkuk di sudut kamar, terasa gemetar saat berada dalam dekapanku.
“Mama, tidak apa-apa?” tanya bocah lima tahun itu, seolah tak mendengarku, matanya mencari-cari tapak yang mungkin membekas di wajahku.
“Tidak apa-apa, Nak. Sekarang dengar, Nak, Mama mohon kepadamu, ya Cintaku….”
“Mama jangan mohon-mohon segala,” rintihnya terdengar menyayat hatiku.
“Harus, dengar sekali lagi, Mama mohon. Kalau Mama dan Papa lagi berantem, Ekal jangan pernah mendekat, jangan pernah, jangan pernah! Pergilah jauh-jauh, ya Nak, ya, sungguh Mama mohon….”
“Tapi, bagaimana kalau Mama diapa-apakan?” Sepasang matanya yang bening penuh dengan kecemasan dan ketakutan.
“Tak mengapa, Cintaku. Mama akan menghadapinya sendiri, sepakat ya Nak, sepakat?”
Aku tak tahu apakah dia memahami perkataanku atau sebaliknya membuatnya bingung, ketakutan dan ngeri. Kurasa, saat itu aku telah melakukan suatu ikhtiar, sesuatu yang datang dari naluri keibuanku.
Acapkali aku harus melakukan semacam mencuci otak anakku. Mengatakan berulang kali, ratusan dan ribuan kali bahwa yang terjadi di depan matanya; tidak pernah ada, tidak pernah ada, tidak pernah ada. Semuanya akan baik-baik saja!
Situasi yang kuhadapi ternyata lebih parah dari bayanganku.
Di sini, aku tak punya pembela, para tetangga warga Depok asli itu sungguh sama sekali asing bagiku. Mereka terkesan lebih suka mencemooh dan iri terhadap para pendatang seperti kami.
Sementara keluargaku, sampai beberapa waktu kemudian, tak seorang pun yang muncul.
Kecuali surat-surat Emak, itupun isinya hanya berupa keluhan; tak punya duit, dan menuntutku untuk membantu biaya sekolah adik-adik. Sesuatu yang telah membuat suamiku berang setengah mati, hingga menuntutku untuk bersumpah; bahwa aku takkan pernah mengeluarkan duit sepeser pun tanpa sepengetahuan dan atas izinnya.
Suatu hari, ketika aku sedang menyelesaikan sebuah novel yang akan dimuat secara berkala di salah satu majalah Selecta Grup. Ruang kerjaku, sebuah meja belajar yang kubeli dari loak, terletak di sudut kamar. Tak jauh dari situ, anakku asyik pula membaca buku sambil berbaringan di lantai.
Aku sedang asyik-masyuk, mengarungi semesta kata, meraih selaksa mimpi dan harapan demi inspirasi yang bermakna untuk pembaca.
Tiba-tiba tanpa babibu, braaakkk!
Pintu kamar ditendang keras sekali hingga menimbulkan suara yang menggelegar dahsyat di kupingku.
“Dasar perempuan murahan! Perempuan jalaaang! Tak tahu malulah kau, setan, iblis betina yang merasuki otak dan hatimu itu…”
Belum sempat kutata keterkejutanku, tak sempat pula kutanya alasannya, begitu selesai menyemburkan kata-kata beracunnya itu langsung; braaak!
Dia telah menghantam meja, mesin ketik pun kontan terjungkal, kertas berceceran. Itulah hasil kerjaku selama berbulan-bulan, kini berserak ke segala penjuru kamar!
Baaak, buuuk, buuuk… deegggh… desss!
Pukulan beruntun tanpa mampu kutahan menyergap diriku, menghantam dada, kepala, tengkuk, kaki, paha dan entah apalagi. Tubuhku limbung, kucoba meraih sesuatu, tapi yang kulihat sosok mungil kesayanganku itu telah bangkit, bergerak cepat sekali ke arahku.
Ya Allah, mau apa dia?
“Jangan, Nak, sana pergiii!” seruku tertahan.
Telanjur, dia telah meraihnya dan melemparkannya ke atas kasur!
“Ibliiiiis!” jeritku meradang tak tertahankan lagi. “Jangan sakiti anakku, jangan sakiti anak kecil, setan, biadab! Pecundang parah!”
Kurasa jeritanku yang meraung-raung bagaikan hewan terluka, berhasil mengejutkannya, terbukti dia berhenti melakukan aksinya. Aku yang telah terjajar, berjuang keras untuk bangkit, kemudian merangkak ke arah anakku. Begitu berhasil menyatukan tangan kami, kuhela tubuhnya agar mendekatiku dan aku mendekapnya, mendekapnya erat-erat.
Bukankah aku telah bersumpah untuk memasang badan di antara lelaki jahim itu dengan tubuh mungil buah hatiku? Demi Allah, ke mana sumpah atas nama Tuhan itu?
“Maafkan Mama, Nak, maafkan. Mama tak bisa melindungimu, ya Nak, maafkan, ampuni, ampunilah Mama,” erangku menciumi wajahnya yang jelas syok berat.
Berhenti sejenak agaknya bukan berarti akan mengakhirinya.
Lelaki itu, orang yang telah mengucap sumpah saat walimahan (kedua!) itu, bagaikan tersengat kembali. Ia bergerak menghampiri kami, sekali ini aku berhasil meraih kekuatan, entah dari mana kekuatan itu!
“Jangan sakiti anak tak berdosa ini, demi Allah, demi Rasulullah!” seruku lantang, kurasa menggema ke pelosok tetangga di kawasan itu.
Namun, ajaib sekali!
Kutahu persis, tiada seorang pun sosok yang muncul, sekadar menanyakan keadaanku dan anakku. Tiada, tiada seorang pun!
Taaap!
Tangannya telanjur telah terangkat, tapi aku berhasil menangkapnya. Kemudian gigiku menggigit kuat-kuat kepalan tangan yang semula diarahkan ke kepala anakku itu.
Kreeekkk!
“Lepaskaan!” teriaknya, terdengar bunyi gemeretak sekali lagi; kreeek!
Aku melepaskannya saat terasa gigi-gigiku menancap sesuatu yang keras, mungkin di tulangnya, entahlah. Sosok itu kemudian bergegas mengambil sesuatu dari lemari, kurasa uang yang selalu disembunyikannya. Sementara mulutnya terus menceracau.
“Apa salahku?” bisikku nyaris tak terdengar.
“Kami tadi berpapasan di jalan….”
“Siapa?”
“Adikku tentu saja! Tampak dia sudah rapi, pasti baru mandi keramas. Dia bersenandung, kulihat bahagia sekali. Berapa kali kamu sudah memuaskannya, hah?!”
“Astaghfirullah al adziiim…”
Kuseru nama-Mu dengan segenap azamku, seluruh keyakinan akan Kasih-Mu, demi nama-Mu; aku sungguh tak rela!
Tubuhku menggigil hebat dan berujung dengan perasaan hampa luar biasa. Seluruh jiwa-ragaku seolah membeku, kukatupkan rahangku yang terasa sakit. Ada darah yang mulai merembes melalui gigi-gigiku. Kurasa dua gigi depanku nyaris lepas, entahlah.
Namun, aku tak sudi lagi mengaduh, tak sudi!
Karena aku tak menjawabnya, dia pergi sambil terus menyumpah serapahiku, menudingku sebagai tukang selingkuh, perempuan keji yang telah menyeleweng dengan adik ipar.
“Semoga Tuhan membalas perbuatanmu ini. Demi Allah, sumpah serapahmu akan berbalik menjadi bumerang kepada dirimu,” desisku menyertai langkahnya.
Bunyi derap kakinya terasa berdebam-debam, menjauhi kami. Bunyi langkah yang di kemudian hari lama sekali menjadi momok menakutkan dalam hidupku. Selalu menimbulkan perasaan ngeri tak terjabarkan setiap kali mendengarnya.
Sebuah luka hati yang lama tersembuhkan!
Kemarahan terasa telah mencapai ubun-ubunku. Namun, sesungguhnya, rasa sakit yang melanda sekujur tubuhku tak seberapa dibandingkan dengan kepedihan yang menghunjam di hatiku, begitu dalam, sangat dalam!
Beberapa menit aku masih memeluk anakku, tak tahu harus berbuat apa, sampai kemudian kurasai ada yang menetes dari sudut-sudut mulutku. Aku menyusutnya dengan jari-jemariku sambil kucermati sesuatu yang terasa basah dan asin; darah!
Anakku mendongak dan memandangi wajahku lekat-lekat.
Sepasang matanya yang bening seketika membelalak, tangannya tampak gemetar saat terangkat dan menyentuh wajahku.
“Mama berdarah, dari mulut Mama ada darah mengalir. Tuhan! Bagaimana ini, bagaimana? Kita ke Dokter saja, ya Ma, ya?” ceracaunya terdengar panik.
Aku meraih telapak tangannya, kugenggam erat-erat. “Gak perlu, Nak, ini hanya, mm, kayaknya gigi Mama mau copot.”
“Copot? Gigi Mama yang mana, ayo, coba lihat?”
Kututup mulutku dengan telapak tangan. “Gak apa-apa, bukan copot…”
Kurasa-rasai sesuatu, dua, ya dua gigi depan yang bergerak-gerak, goyang di mulutku.
“Cuma bergeser, baik, sudahlah, kita pergi ke Dokter, Nak!”
Kalau aku memutuskan pergi ke Dokter itu bukan karena dua gigiku yang hendak berlepasan.
Kurasa, lebih karena kekhawatiranku dengan jiwa anakku. Ya, kusadari betul tentu ada imbas kekerasan itu terhadap jiwanya yang mungil. Hanya menuruti naluri seorang ibu, kubawa anakku keluar rumah dan menjauhi TKP. Setidaknya untuk sementara.
“Ini obat untuk menguatkan gigi-giginya. Kita lihat dalam beberapa hari ini, kalau masih goyang juga terpaksa harus dicabut,” demikian kata Dokter gigi yang kami datangi.
Gigi-gigi itu sempat menjadi masalah buatku selama beberapa bulan kemudian. Hingga akhirnya aku merelakannya untuk melepaskannya; selamat tinggal gigi-gigi tersayang!
Sejak itulah aku memakai dua gigi palsu untuk menutupi ompong pada umur menjelang 30-an.
@@@
Posting Komentar