Pipiet Senja
Medio 1974, aku kembali masuk rumah sakit.
Aku dan Mak seperti ditakdirkan untuk bergantian diopname. Acapkali kami dirawat satu kamar. Mak dengan macam-macam keluhan, sakit kepala, maag, dan darah tinggi.
Sementara
aku dengan takdir kelainan darah bawaan. Sekali ini aku sampai berbulan-bulan
diopname. Jangan heran kalau sampai berhari-hari tak ada seorang pun yang
besuk.
Orang
serumah mungkin sudah bosan harus saban hari besuk aku. Mulanya aku merasa
sedih diabaikan begitu. Bayangkan saja, sementara pasien lain dibesuk oleh
banyak orang, aku bengong sendirian. Bahkan tanpa pakaian yang layak, tanpa
persediaan makanan di luar ransum rumah sakit.
Tak
jarang aku kelaparan, bosan, lelah dan nyaris putus asa. Ya, demikianlah warna
masa-masa remajaku. Sarat dengan rasa sakit, derita, dan tanpa masa depan.
Keadaanku
yang demikian tak jarang menimbulkan rasa simpati dan iba pasien lain. Ada saja
ibu-ibu yang mengulurkan tangan, memberi aku penganan, kue-kue kering atau
buah-buahan.
Ketika
itulah aku punya seorang sahabat. Namanya Betty, umurnya sebayaku berasal dari
Ambon. Betty mengidap kelainan jantung. Dia sedang menunggu kesempatan untuk
dioperasi jantung.
Betty
putri bungsu seorang Bupati. Tak heran kalau persediaan makanan dan buah
impornya setumpuk, memadati lemari kecilnya. Sebagian sering dibagikan kepada
pasien lain, termasuk aku yang paling kenyang.
Kami
menempati sebuah kamar bernomer tiga di pavilyun kelas perwira itu. Status kami
yang sama-sama pasien, itulah agaknya yang merekatkan hubungan kami menjadi
erat. Bahkan dari hari ke hari terasa lebih erat, sudah bagaikan saudara
kandung saja.
Untuk
mengusir rasa sepi, biasanya kami mengisinya dengan macam-macam permainan. Main
catur, ular tangga, mengisi TTS, tebak-tebakan. Macam-macamlah!
“Kamu
senang, ya, banyak adiknya,” cetus Betty suatu hari.
“Kamu juga pasti senang kan, punya banyak kakak.”
Betty
tiba-tiba menangis pilu, kubelai-belai punggungnya dan tak tahu apa yang harus
kukatakan sebagai penghiburan. Ucapannya ada benarnya, memang yang sering
membesuknya adalah paman dan bibinya. Terakhir Mami Betty besuk sekitar sebulan
yang lalu.
Betul,
Betty dibekali banyak uang saku. Namun, saat-saat sakit begini siapa lagi yang
butuh duit? Kasih sayang, perhatian, simpati, dan dorongan semangat keluarga.
Itulah yang paling kami butuhkan!
Mereka
bukan tak sayang kamu, Betty. Mami dan Papi kamu mungkin saat ini sangat sibuk
di Ambon,” hiburku.
“Pokoknya, beta iri sama kamu. Orangtua kamu dan adik-adikmu penuh perhatian
sama kamu!”
“Iya,
tetapi kami miskin, Betty. Mereka juga terpaksa jarang besuk aku….”
Kami pun merunduk dalam bisu. Senyap sangat menyergap kalbu kami.
Dari
balik tirai jendela kamar, kami akan memandangi suasana di luar. Para pasien
yang ramai dikunjungi sanak saudara. Sementara kami sangat kesepian, aaah!
Betty
akan membujukku, agar mau menemaninya jalan-jalan ke luar. Minggat! Ya, sejak
saat itulah aku mengenal istilah Minggat dari rumah sakit. Kami melakukannya
kalau hari libur. Karena penjagaannya jadi longgar.
Seperti
yang terjadi hari Minggu itu.
“Kita pigi ke Senen, yuuk?” ajak Betty tak lama setelah makan pagi.
"Lagi? Rasanya belum lama kita ke sana. Jummat lalu itu, kamu borong
makanan dan baju …”
“Liburannya sekarang jadi sering, ya?”
Betty tertawa. Dia langsung membeli beberapa potong baju yang bagus dan mahal
harganya.
“Kamu harus memilih satu,” desaknya.
“Nggak, ah, nanti Bapak marah,” elakku.
Bapak
memang suka marah kalau mengetahui ada anaknya yang mau menerima begitu saja pemberian
orang. Kata Bapak, kita jangan bermental pengemis. Jangan merasa malu karena
miskin. Lebih baik memberi daripada sebaliknya dan …. Bla, bla, bla!
Aku
pun menyembunyikan penganan atau buah-buahan pemberian orang. Kalau pun
membagikannya kepada adik-adik, aku akan mewanti-wanti mereka agar tidak usah
menceritakannya kepada Bapak.
Sikap
Bapak ini pula yang membuat hubungan Mak dengan keluarganya tak harmonis. Bapak
tak suka kalau Mak sampai meminta-minta kepada saudara-saudaranya.
“Biarlah
mereka sadar sendiri kalau mau bantu,” kata Bapak.
Sejauh itu paling hanya seorang adik Mak yang terkadang membantu.
“Bapakmu
itu aneh,” kata Betty mendumel. “Kamu kan tak meminta, tapi dikasih demi
persahabatan, please, please ….”
Aku
tersenyum sambil mengamati wajahnya yang hitam manis dengan dua lesung pipit.
Rambutnya kribo dipangkas pendek. Kalau tersenyum sederetan gigi putihnya akan
terpampang bagus. Seuntai kalung emas dengan liontin salib menghiasi lehernya.
Ya,
Betty seorang Protestan. Namun, itu sama sekali bukan penghalang sebuah
persahabatan yang tulus.
“Kamu ini seperti mamakasih aja!” aku seketika nyeletuk.
“Apa itu mamakasih?”
“Hmm,
itu bahasa Sunda. Seseorang mendadak bertingkah, berkeinginan nyeleneh, dan
aneh-aneh. Ditujukan buat orang yang akan pergi selamanya, eh, sorry!” Seketika
aku menutup mulut.
Untuk
sesaat aku pandangi wajah si Ambon manise. Tak ada reaksi, bersikap wajar saja.
“Oh, barangkali beta ini mau mati sebentar lagi, ya?” katanya sambil tertawa
lepas.
Aku
terkesiap, menyesal telah kebablasan bicara. “Maaf….”
“Biarlah begitu. Yah, daripada banyak menyusahkan keluargaku di Ambon!”
Entah kenapa, tiba-tiba bulu romaku meremang. Hiy, ada apa nih?
"Ssst, sudahlah. Maafkan aku, lupakan omonganku itu.”
Kami
pun naik bajaj. Bawaan kami cukup banyak. beberapa kantong berisikan baju-baju
Betty. Satu kantong besar berisikan majalah-majalah, buku-buku dan novel
buatku. Sebelum di depan pintu gerbang rumah sakit, Betty tiba-tiba minta
turun. Aku memandangnya keheranan.
“Kenapa?”
“Takut kepergok Tanteku. Beta lupa. Kemarin dia janji mau datang siang ini.
Eeh, bagaimana kalau lewat jalan belakang saja, yuk?”
“Iya, ayo …. “
Aku
protes keras. Habiiis, jalannya akan memutar jauh sekali. Aku pandangi
wajahnya. Masya Allah, kenapa wajah Betty berubah begitu? Tampak kebiru-biruan
dan bibirnya ungu. Aku menyentuh tangannya. Diii-ngiiin!
“Betty,
kamu teh ini kenapa atuh?”
“Aduh, Bunda Maria…. Dada beta mendadak sakiiit!” Betty berseru, mengaduh
sambil mendekap daddanya sebelah kiri.
Sebelum
aku menyadari apa yang tenagh terjadi, tiba-tiba … bruuuk!
“Betty! Kenapa pingsan?” pekikku panik.
Aku
berlari dan menjerit-jerit menuju pos penjagaan. Dua orang prajurit segera
mengulurkan tangan.
“Naaah, kalian habis minggat lagi, ya?” tanya salah seorang prajurit.
Dia
mengenali kami. Tanpa banyak bicara, mereka segera mengangkut Betty ke ruang
isolasi. Saat ini belum ada ruangan ICCU.
Sementara
aku bagai linglung kembali ke ruangan perawatan sambil menjinjing kantong
besar. Mereka tak membiarkan aku menunggu, karena aku sendiri pasien. Mereka
tak mau mengambil resiko agaknya. Khawatir kalau kemudian aku pun ambruk.
Ketika
aku akan memasuki kamar, dua orang perawat sedang bercakap-cakap. Aku menguping
diam-diam.
“Anak-anak
itu nakal sekali… Gak bisa dilarang, ya!”
“Hmmm …. Entah berapa kali mereka minggat!”
“Padahal dua-duanya pasien gawat, tuh!”
“Iya,
yang satu jantungnya sudah parah. Satunya lagi kanker darah, barangkali ya?
Ditransfusi melulu kerjanya, tuh …”
"Kalau kanker darah, paling banter umurnya beberapa bulan lagi!”
Degggh!
Lututku
terasa goyah, lemas sekali. Langit seakan runtuh di atas kepalaku. Namun, aku
memaksakan diri melanjutkan langkah menuju kamarku dan merebahkan tubuhku di
pembaringan. Lama aku merenungkan percakapan kedua perawat itu.
Kanker
darah, katanya. Apakah itu aku? Bukankah di kamar ini hanya aku yang suka
ditransfusi melulu?
Jadi, ceritanya aku mengidap kanker darah? Begitukah?
Apa karena itu, Mak, Bapak, dan adik-adik suka memanjakan aku?
Sejuta
tanya berkecamuk dalam otakku. Tak terjawabkan. Semuanya menjadi gelap. Tak
berpengharapan. Tak ada masa depan sama sekali.
Esok
harinya aku mendapat kabar duka cita itu. Betty tak tertolong lagi. Dia telah
dijemput Sang Pencipta. Betty telah terbebas dari derita, rasa sakit,
ketakutan, dan kesepian yang menyiksa.
Selamat
jalan, sahabat tersayang. Semoga kamu mendapatkan tempat yang layak di
sisi-Nya.
“Tolong
Dokter, izinkan aku pulang. Kalau gak pulang aku bisa mati di sini,” pintaku
kepada Dokter Qomariyah. Air mataku bercucuran hebat.
Syukurlah,
dokter perempuan berwajah jelita dan asli Sunda itu, akhirnya mengizinkan aku
pulang. Untuk sementara aku merasa tenang bisa berada di tengah-tengah
keluarga. Kalaupun aku memang akan mati, biarlah di tengah kehangatan kasih
sayang mereka, pikirku pasrah.
Kelak
setelah menjadi seorang penulis, aku merangkai kisah nyata ini dalam dua cerpen
indah. Kuberi judul; Kamboja Berguguran, Desember Kelabu.
Cerpen
yang telah membuat pembacaku bercucuran airmata. Mungkin karena saat
menuliskannya pun aku sambil bercucuran airmata. Menulis dari hati, maka
sampainya pun langsung ke hati, makjleb!
Oya,
tak berapa lama aku kembali masuk rumah sakit. Kali ini hanya sebentar, tiga
hari saja. Karena kelelahan mendada sering mimisan. Nah, saat itu pula dokter
Qomariah memberi pesan sbb;
“Neng,
tenang saja jangan putus asa. Janganpernah menyerah, ya. Insya Allah, kamu bisa
bertahan, asalkan disiplin transfusi. Kelak, kalau cari suami carilah lelaki
Batak.”
“Batak?
Kenapa begitu, Dok?” tanyaku seraya menatapnya, penasaran sekali.
“Karena
orang Batak tak ada yang Thallasemia!”
Alhasil, kubawa serta kemanapun daku melangkah. Mencari lelaki Batak, heloooow!
@@@
Posting Komentar