Pipiet Senja
Awalnya kelima relawan panti asuhan itu merasa keberatan dengan usulnya itu. Bahkan Fuad dan Yus menolaknya mentah-mentah. Itu sama saja dengan mengemis, protes keduanya keras.
“Dan mengemis, menadahkan tangan itu sungguh memalukan!”
“Iya, itu hina sekali!”
“Rasulullah pun berkata bahwa yang memberi itu lebih mulia daripada yang menadahkan tangan. Bla, bla…”
“Kalau kalian tak mau, ya sudah. Biar aku saja yang jalan sendiri,” cetus Syifa tetap tenang, seakan-akan mengatakan sesuatu yang biasa.
“Teteh akan bantu Dik Syifa, insya Allah,” dukung Hayati. Sulis dan Azimah pun akhirnya mengangguk. Meskipun dalam hati sungguh menjerit pilu.
“Gak mungkin kami biarkan kalian, para akhwat jalan malam-malam!” sentak Fuad.
“Kami akan mengawal kalian!” Yus pun mengalah.
“Tapi izinkan kami menunggu di luar saja, ya Dik?” pinta Fuad.
“Gengsi nih, gengsi?” sindir Sulis, tapi kedua pria itu tak menggubris lagi.
Sejak malam ke-9 bulan suci Ramadhan, Syifa dan rekan–rekan melakukan apa yang mereka sebut sebagai; muhibah cinta.
Mereka menyisir hotel-hotel di jantung kota Sumedang, mengambil makanan pemberian orang. Sesungguhnya makanan itu masih segar dan bagus. Sama sekali bukan sisa yang tak termakan di piring kotor. Melainkan makanan yang sudah mereka masak, hanya saja tidak habis.
Biasanya mereka berangkat dari Az-Zahra lewat tengah malam. Secara diam-diam, agar tidak menimbulkan keributan dan reaksi anak-anak. Sebuah angkot milik mertua Aqil, digratiskan untuk keperluan mereka. Aqil sendiri yang mengemudikannya.
Ketika orang-orang sedang terlelap di bawah selimut tebal, anak-anak tengah menganyam mimpi. Angkot yang membawa mereka perlahan melaju, membelah jalanan lengang, menembus gelap malam menuju kota.
Menjelang makan sahur rombongan itu telah kembali ke Az-Zahra. Secara diam-diam dan ekstra hati-hati, mereka pun mengangkuti kantong-kantong berisi makanan yang berhasil mereka kumpulkan.
Acapkali Fuad dan Yus menggemeretakkan geraham. Terutama bila ada suara-suara sumbang, mengiringi gerakan keempat akhwat saat keluar hotel. Suatu kali mereka nyaris menghajar seorang preman yang usil mencolek Sulis.
“Sabarlah, Aa, tabahkan dan ikhlaskan hati Aa. Kita harus istiqomah,” Syifa menenangkan rekannya.
Padahal dadanya sendiri berdeburan kencang, meningkahi suara beduk ditalu di Masjid-Masjid yang mereka lewati. Ia segera bertakbir riuh dalam hati. Tak ingin ketinggalan meraih berkah malam demi malam di bulan suci.
Sekali dua kali memang tak diketahui anak-anak. Malam ke-14, tatkala rombongan mereka baru saja menurunkan kantong-kantong makanan dari angkot yang diparkir di luar pintu gerbang.
“Nah! Ketahuan, ya, ketahuan!” Bayu Cadel tahu-tahu muncul di belakang Syifa, diikuti anak-anak lainnya.
Tentu saja Syifa dan rekan-rekan tersentak kaget. Namun Syifa cepat mengantisipasi situasi tak nyaman.
"Silakan lanjutkan ya Aa, Teteh, bawa masuk semuanya!” perintahnya.
Fuad dan Yus jelas memilih kerja keras daripada harus menghadapi anak-anak. Keduanya berlagak acuh tak acuh, mengangkuti bawaan ke dapur. Diikuti oleh ketiga rekan perempuan.
“Assalamu’alaikum!” seru Aqil cepat-cepat melajukan angkotnya.
“Wa’alaikumussalam!” Balas semuanya tak bersemangat.
Rekan-rekannya tak tahu persis, entah apa yang dikatakan oleh Ketua kepada anak-anak. Yang jelas anak-anak itu kelihatannya cepat tenang. Bahkan Bayu Cadel, kembali memasuki kamarnya, jalan menunduk mengikuti kakak-kakaknya.
Makan sahur kali ini terasa berbeda dari sahur-sahur sebelumnya. Tak ada yang berbicara. Semua menyantap makanannya dengan diam dan menundukkan kepala.
Syifa tak berhasil memancing siapa pun untuk bersikap ceria seperti biasa. Ia sungguh merasa tertekan karenanya. Cepat-cepat menghabiskan makanannya. Kemudian, ia berlalu menuju ruangan yang telah disulap sebagai mushala.
”Ya Allah, ajarilah hamba untuk selalu bertindak sesuai syariat Islam!” jeritnya mengawang langit.
***
Posting Komentar