Saudaraku sekalian.
Kalau sdra hanya punyai waktu untuk membaca hanya satu rencana hingga akhir tahun ini,
sdra pilihlah untuk membaca rencana ini : GAGAHLAH SEPERTI MANINI, ANAKKU , karya ZHIZHI SIREGAR. Rencana ini akan membuat sdra bermunasabah diri.
Membaca rencana ini membuat aku sendu, terkenangkan almarhumah ibu dan ayahku yang saban hari membanting tulang empat kerat, demi mencari rezeki untuk keluarga .
Ibuku tidak pernah bersekolah, maka itu dia tidak bisa menulis dan membaca dari lahirnya pada tahun 1924 dan meninggal pada tahun 2006.
Ibuku kerjanya mengkarek getah (menoreh getah/tap rubber) sewaktu pagi, dan menanam padi setelah matahari tegak diatas kepala. Selesai menanam padi , ibu akan pulang ke rumah memasak, membasuh pakaian , mencuci pinggan mangkuk, mengemas gobok( rumah kecil diatas tanah).
Ayahku ikut mengkarek getah, menanam padi bersama ibu. Tetapi apabila cahaya matahari mulai redup, ayah akan mengayuh beca bagi menambah rezeki.
Ayah bekerja begitu kerana seperti juga ibu, dia tidak pernah bersekolah, dan tidak bisa membaca atau menulis.
Dia dan isterinya buta huruf.
Orang tidak memandang mereka.
Walau begitu, ayahku adalah seorang suami yang baik kepada isterinya , dan bapa yang baik kepada anak-anaknya.
Bilamana aku pulang ke kampung ke tanah asalku, ke rumah ayah dan ibuku yang masih berdiri disitu, akuakan tidur di katil mereka. Terasa benar mereka berada di sampingku.
Aku rindu padamu ayah. Aku rindu padamu bu.
Dato Profesor Emeritus Dr Hashim Yaacob,
Mantan Rektor,
Universiti Malaya, Malaysia.
19 September 2023.
Gagahlah Seperti Manini, Anakku
Zhizhi Siregar
Banyak literatur yang mengatakan, Hari Ibu di Indonesia punya sejarah yang berbeda dengan Hari Ibu di negara lainnya.
Pada 22 Desember 1938, "Hari Ibu" yang punya sejarah lebih kuat, mandiri dan berani. Karena di hari itulah para wanita mengadakan Kongres Perempuan Indonesia yang pertama.
Terlepas dari literatur ataupun celotehan kaum akademisi tentang Hari Ibu, memang seperti itu pulalah aku mengingat Mama: kuat, mandiri dan berani.
Aku menulis ini di malam hari, setelah selesai mencuci. Padahal baru saja tiba dari perjalanan subuh yang melelahkan.
Entah karena lelah terlalu lama menyetir atau jongkok terlalu lama kala mengucek baju sendiri, bayi di perut ini mendadak berontak. Mendera dengan rasa sakit luar biasa. Hingga sesak, ya Allah!
Otomatis, aku memekik mengaduh. Lelaki yang ada di sebelahku menoleh. Bukan cemas, bukan juga prihatin.
Hanya bereaksi;"Kenapa sih teriak-teriak?" Lantas pergi setelah mengomel lagi sedikit.
Pasti karena dia juga capek dan mengantuk. Aku seketika tertegun. Lama sekali termenung sambil terus mengucek dan menunggu cucian selesai.
Mungkin karena terlalu lama dimanja, atau memang sensitif sedang hamil, pikiranku mendadak melayang kemana-mana. Ah, selama ini betapa dimanjanya aku, semua serba mengandalkan suami.
Mungkin dia juga capek dengan istri manja, sejak hamil sakit terus, berisik, banyak maunya, minta tolong terus. Tanpa terasa berurai airmata, tetapi, aku terus melanjutkan mencuci.
Kalau boleh bela diri, aku juga tidak minta sering kontraksi dan sakit begini. Apa dia menyesal ya nikah sama aku?
Aku juga tak nyangka nikah sama dia. Padahal dulu, ah, pikiran yang tidak-tidak bermunculan di kepala. Jadi penyakit. Sambil sesenggukan dan menahan sakit di perut, aku lanjutkan penyesalan berlarutnya. Apalagi suasana sekeliling mendukung sekali.
Laba-laba besar yang sesekali lewat, nyamuk yang mengerubuti, sampah pohon, tumpukan rongsokan. Dulu aku mampu menikah dengan yang lebih baik dari ini. Namun kusia-siakan. Aku juga tak minta takdir bawa ke tempat seperti ini.
Kenapa hidup begini amat?
Capek. Ingin tutup mata dan tak dibuka lagi!
Tiba-tiba saja teringat Mama. Aku ini, sungguh anak manja, ya!
Baru mencuci, pake mesin cuci pula, masih saja mengeluh. Aku teringat kembali, Mama cuci semua baju, piring, masak pula, beres-beres, dan semua pengabdiannya untuk keluarga.
Semua dikerjakan dalam diam tanpa keluhan atau bantingan tidak ikhlas. Tidak ada dalam catatan sejarah hidupnya, Mama minta tolong suami jemurin baju. Atau bantu apapun, sekecil apapun itu, sekalipun sedang sakit!
Aku takkan pernah lupa, Mama dengan kaki pincang sehabis dipukuli lelaki bergelar ayah itu. Sehingga lututnya retak, tersaruk-saruk ke Jakarta, demi mengambil honor. Demi mengganjal perut anak-anaknya, bahkan makannya si sosok yang telah menganiayanya itu!
Entah tak terhitung berapa kali di masa kanak-kanakku, Mama jinjing aku yang cengeng dan suka mabok darat ini. Mama akan mengetuk satu per satu pintu kantor penerbit. Bukan mengemis. Cuma minta hak royalti yang dijanjikan entah sejak kapan.
Ya! Hanya minta honor yang seharusnya sudah diberi sekaligus, begitu resmi dibeli oleh Inpres. Namun, penerbit sialan itu tak pernah sudi membayarnya sekaligus, melainkan dicicilnya sedikit demi sedikit.
Kami akan menunggu berjam-jam, acapkali bahkan hanya mendapatkan sedikit saja. Sungguh tak sesuai dengan waktu yang tersia-siakan yang seharusnya bisa dipakai Mama untuk menulis.
Pulangnya, Mama sisihkan sedikit uang untuk beli roti miskin. Kuberi nama seperti itu, bentuk rotinya panjang, ada keju murah di atasnya, tapi seringkali kutemui hijau-hijau jamur di sela-selanya.
Meski begitu, sering aku tak bilang-bilang. Kujejalkan ke mulutku sambil nyengir karena ada rasa asam-kecut begitulah.
Aku sudah mengerti sedari kecil bahwa hidup itu keras, dan jangan pernah biarkan hal kecil layaknya sakit perut, membuatmu takut atau menangis.
Di kemudian hari, betapa banyak orang memuji-muji Mama, lantas mengidolakannya, menjadikannya sebagai Bunda inspirasinya. Kurasa, mereka menganggapnya beken sejak dulu.
Padahal baru belakangan ini saja, Mama tak perlu ketuk sana ketuk sini demi hak sendiri.
Yang kupelajari dari Mama adalah hidup itu keras. Maka ketika seorang pengacara besar, Rahmat Soemadipradja, menatap langsung ke mataku dan berujar, "Hidup akan memperlakukanmu seperti kau memperlakukan hidup itu sendiri. Kau, masih sangat muda tapi sudah begitu keras pada hidup. Jangan."
Aku lantas tak berkutik. Padahal itu pertemuan pertama, dan ia baru sepuluh menit lalu bersalaman dengan tanganku yang kasar ini. Ingin rasanya menjawab, tanganku kasar karena sedari kecil kerja, main dan belajar, tak ada waktu untuk berdamai dengan hidup.
Seperti itu pula Mama. Keras. Lebih dari orang Batak, sehingga kerap kali orang mengira yang Batak itu Mama dan bukan Papa.
Sekarang, aku sudah dimanja oleh hidup. Sudah ada orang yang bisa diandalkan.
Namun yang kupelajari dari Mama lagi adalah jangan pernah mengandalkan orang lain, termasuk laki-laki.
“Ya, terutama laki-laki, ingat itu!” kata Mama mewanti-wanti.”Kita sebagai perempuan tetap harus kuat dan mandiri!”
Maka aku hapus airmata yang dari tadi tak berhenti keluar. Kuselesaikan dengan ringkas segala cucian dan jemuran. Kucuci piring dan kurebus air panas untuk menghilangkan sakit di kepalaku.
Baiklah, Mama, lihatlah anakmu!
Aku bersumpah dalam hati, takkan pernah lagi meminta bantuan siapapun, merepotkan siapapun. Biarlah hidupku jadi dunia tanpa pria di mana cukup ada aku dan Mama kelak!
Kuelus si bayi di dalam perut, "Nak, jadilah orang hebat seperti Manini Qania nanti. Gagahlah pada hidup. Garanglah pada takdir. Jangan ambil keputusan-keputusan salah seperti ibumu ini. Belajarlah tentang semua kesialanku, kebodohanku, kesalahanku dan ambillah segala keberanian nenekmu ya."
Berlinangan aku menyadari bahwa kehamilan membawa kita ke persepsi yang luar biasa berbeda, mengacak-acak prioritas hidup yang sebelumnya sudah kau susun sesempurna mungkin.
Setiap anak memenggal cita-cita orangtuanya hingga ke titik tertentu. Membatasinya bahkan bisa jadi menghancurkannya. Adalah tugas setiap anak untuk mengemban harapan-harapan yang tercapai itu.
Itulah mengapa aku sedih. Karena belum bisa membayar apapun kepada Mama.
Posting Komentar