Cerita Bersambung
Pipiet Senja
Dilla terbangun oleh suara ribut di depan kamarnya, di sepanjang koridor lantai atas. Belakangan orang tuanya semakin sering bertengkar. Entah apa yang dipertengkarkan mereka kali ini. Dilla menggerutu sebal.
Hari pelulusan, pekiknya seketika girang.
Yup, ini hari pelulusan anak kelas tiga SMPN 1. Dilla merasa yakin akan sukses lagi menyabet predikat juara umum di sekolah favoritnya. Kalaupun harus seimbang, paling juga berhadapan dengan Arul si coverboy. Memang hanya anak indo Mesir itulah yang selalu berhasil mengimbangi angka-angkanya dalam dua tahun terakhir.
“Huuuh!” Disepaknya dengan sebal bedcover dari ujung kakinya.
Diliriknya jam dinding. Teddy Bear yang menghiasi tembok kamarnya. Masih pukul tengah lima!
“Ya ampuuun….
Mamiii! Papiii! Ngapain udah ribut-ribut pagi buta begini?” gumamnya sebal sekali.
Suara ribut-ribut di luar pun kian heboh!
“Persetan dengan kamu! Aku sudah bosan, bosaaan! Pembohong, pengkhianaaat!”
Suara lantang itu menerobos dinding kamarnya yang full AC.
Ia bayangkan Mami ngambek sambil bolak-balik sepanjang koridor.
Papi menguntitnya dengan setia. Adegan itu sudah biasa di matanya. Mereka bertengkar sungguh hebat.
Sekejap kemudian berbaikan, bermesraan. Tanpa kenal waktu, bahkan tanpa tahu malu!
“Harus bagaimana lagi aku menjelaskannya? Yang terjadi semalam itu bukan seperti..., hanya saja kami …”
“Kami? Kau bilang, kami?” lengking Mami.
Suara itu pulalah yang yang melontarkan tubuh Dilla hingga keluar kamarnya.
Mengendap-endap seperti maling, menyusuri tangga yang menghubungkan lantai atas dengan lantai bawah.
Di sebuah ruang keluarga yang mewah dengan lampu-lampu kristal Asfour Mesir, lusinan porselin Belgia, tiga stel sofa beragam corak dan model, dan permadani Persia setebal mata kaki yang menghampar lembut.
Lihatlah!
Pasangan suami-istri itu kembali bertengkar.
Kali ini terasa lebih hebat, lebih panas!
Dilla terduduk di tangga dan terus menyaksikan perilaku Mami dan Papi. Dilla sudah terbiasa menyaksikan hal ini sejak pertama kali menginjakkan kaki di rumah mewah itu.
Dua tahun yang lalu, ia pun rajin sekali mencatat semua itu dalam buku diarinya. Benar, hal ini terus berlangsung, berlangsung yang entah kapan berhenti.
“Semuanya itu kabar bohong, Lies sayangku…”
“Perempuan itu sudah hamiiiil! Aku tahu itu, Braaam. Aku tahu ituuuu!”
“Tidak mungkin!”
“Kamu gak bisa menyangkal lagi, lelaki pengkhianaaat!”
“Coba tahan dulu emosimu. Kami hanya berteman!”
“Berteman? Aha! Berteman sampai punya anak?”
“Demi Tuhan! Aku yakinkan itu bukan anakku! Dasar saja perempuan murahan!”
“Kenapa sekarang baru nyadar si Inge murahan?”
“Sudahlah, kumohon jangan sebut lagi nama itu. Aku menyesal, demi Tuhan! Percayalah kepadaku, Lies.”
“Persetan dengan penyesalanmu! Dasaaar! Kalian sama-sama berhati binatang, bersosok ibliiisss!”
Suara-suara keras itu kian bersahutan.
Dilla menutup kupingnya, tapi ia tak mau beranjak.
“Hmm…, siapa yang gak kenal Mami dan Papi?” gumam Dilla, apabila otaknya menilik profesi dan status sosial orang tuanya.
“Bintang film sohor dengan tarif termahal!” di koran-koran dan layar kaca, orang tuanya dikenal sebagai pasangan selebriti yang sangat menjunjung tinggi moral, senantiasa rukun, dan penuh cinta.
Di pesta-pesta Valentin Day pasangan ini sering dijadikan idola kawula muda. Sebuah majalah kosmopolitan, majalah wanita bergengsi, tak bosan-bosannya menganggurahi mereka Love Award.
Pasangan selebriti yang paling serasi sepanjang dekade itu. Lies Delina dan Bram Sondah, entah berapa kali mereka menyabet penghargaan aktor dan aktris terbaik.
“Elo pasti bangga punya ortu pesohor gitu,” komentar Echa, teman sebangkunya suatu kali.
“Bangga? Mmm…, tau, deh?” elak Dilla tak peduli.2
“Wah, kalo aku kayak elo…” Echa melamun, matanya melayang ke balik jendela kantin, tempat mereka rehat sambil makan dan minum.
Dilla meliriknya kasihan. “Emangnya lo mau ngelakuin apa kalo jadi anak pasangan seleb sohor, hemm?”
“Wooo, banyaklah! Mau bolak-balik ke Hongkong, Singapur, terus belanja baju-baju bagus, sepatu mahal… Eh, elo pernah jalan bareng ortu ke Paris, kan? Waktu ortu elo ikutan festival internasional di mana, tuh?”
“Cannes.”
“Yup! Pasti elo ngikut, kan?”
“Gak tuh!” sahut Dilla ringan.
“Masaaa? Ah, bercanda lu?” Echa tak percaya.
“Iya. Aku gak pernah jalan bareng ke luar negeri. Pernah, sih, diajak jalan bareng. Itu juga palingan ke tempat syuting. Tapi, terserah, deh, percaya atau gak, bukan urusan aku!” dengus Dilla seraya berlalu.
Sayup terdengar teriak marah Echa. “Boong lu!”
“Huuuh, dia gak tahu apa-apa, tuh!” Dilla mendumel sendirian.
Andai Echa tahu kesehariannya selama tinggal di Jakarta. Aha! Lebih banyak bareng Mbok Yam daripada ortunya. Padahal Maminya telah berjanji waktu akan mengambilnya kembali.
“Kami akan merawat Dilla seperti Ibu merawatnya selama ini,” janji Mami segera diperkuat Papi yang tampak setia mendampinginya ketika itu.
“Baiklah, kalian memang patut diberi kesempatan merawat anak,” akhirnya Nini mengalah.
Ini pun lebih disebabkan demi memenuhi janjinya terhadap sang suami, tatkala menit-menit terakhir ruh lelaki itu terlepas dari jasadnya.
“Sebaik-baiknya anak langsung diasuh oleh orang tuanya. Berjanjilah Amih, sekali ini saja berjanjilah kepadaku, kembalikan Dilla kepada orang tuanya.”
Demikian amanah terakhir dari bibirnya yang kering dan keunguan akibat banyak dikemoterapi. Kanker paru-paru dan komplikasi ginjal telah merenggut hari-hari bahagia sebagai pendamping hidup lelaki berhati malaikat itu.
Saatnya amanah itu diwujudkan!
“Tentu saja. Berikan kami kesempatan, Amih sayang,” tukas Bram Sondah dengan gayanya yang sok gentle, santun yang dibuat-buat hingga ibu mertua jengah sendiri.
Di layar kaca, menantunya spesialisasi peran tokoh serba gagah, baik hati, jujur dan hero!
Dipasangkan dengan si cantil Lies Delina, bomseks masa itu, sejak era 80-an yang serba glamour sebagai puncak gemilang dunia perfilman Indonesia.
Demi konsistensi dan fokus terhadap profesi, mereka sepakat menitipkan bayi merah itu kepada neneknya.
Amih sama sekali tak keberatan, bahkan penuh sukacita, sebab ada suara manja tangis anak kecil lagi di rumahnya. Setelah bertahun-tahun serasa senyap sejak putri semata wayangnya hengkang ke Jakarta, demi mengejar cita dan mimpinya, dan hanya sesekali menengok orang tua.
“Mengapa, Nini? Dilla gak mau dipisahkan dari Nini,” isak Dilla di pangkuan Nini.
“Karena mereka orang tua kandungmu. Merekalah yang paling berhak atas dirimu.”
“Gak! Dilla cuma dekat sama Nini. Selama ini Nini yang mengasuh Dilla.”
Bagi Dilla, Nini adalah ibu sejati. Sosok panutan. Nini yang senantiasa merawat, mengasihi, dan mengayominya. Nini yang selalu membetulkan selimutnya tiap malam, mendongenginya dengan kisah yang sarat petuah.
Dilla selalu menyukai sekaligus menikmatinya.
Sebab, bukan sekadar dongengnya, melainkan elusan kasih dan rangkaian kata tulus yang melenakan pengantar bobonya.
“Kenapa sekarang kita harus berpisah, Nini?”
Jari-jemari neneknya terasa mengelus lembut rambut Dilla.
Dibisikkannya kata-kata penghiburan dan semangat di telinga gadis kecil itu.
Dilla tetap tak mau mengerti keputusan neneknya. Ia sudah senang tinggal di rumah kuno, peninggalan Aki di kawasan Lembang. Ia tahu persis bagaimana Nini mengasihi dirinya.
“Percayalah, mereka juga sangat sayang kamu.”
“Bohong!” Air mata berderaian di pipi putihnya.
“Dilla gak percaya Nini, ya?” Perempuan itu meraih wajah Dilla, lalu mengecup keningnya lama sekali.
Tangis Dilla semakin menyayat. Dibenamkan wajahnya ke dada perempuan itu. Kini terasa tangan yang sarat kasih itu mengelus-elus punggungnya, mengalirkan rasa hangat dan kenyamanan tak teperi.
Namun, Dilla menyadari sebentar lagi mereka harus berpisah.
“Kenapa gak dari dulu saja Dilla tinggal di Jakarta, Nini? Kenapa baru sekarang?”
“Eh, Mami dan Papi kamu baru sekarang merasa siap lahir dan batin merawatmu.” Nini gelagapan.
“Artinya, dulu mereka gak mau merawat Dilla, begitu?”
“Eh, bukan begitu, masalahnya dulu mereka terlalu sibuk.”
“Pokoknya Dilla gak mau jauh dari Nini!”
“Percayalah, kita harus beri kesempatan Mami dan Papi. Nanti Nini akan sering menengokmu,” janji neneknya hanya sekali-dua saja dipenuhi.
Bersambung
Posting Komentar