Sungguhkah Dia Nenekku?
Pipiet Senja
#MemoarGeriBusye #3Jam3,5Milyar
Karena tidak punya uang sepeser pun, Bara memaksa langkahnya menuju rumah sang kakak. Lokasinya tak berapa jauh dari rumah mereka. Empak adiknya sedang sekolah. Zola yang suka bantu mengurus rumah pun tak kelihatan.
“Assalamu alaikum…. Onaaang!” demikian sulungnya suka dipanggil adik-adik, artinya kakak perempuan.
Beberapa jenak Bara berseru-seru memanggil orang rumah. Sebah rumah sederhana, kontrakan, lokasinya di sudut kampung, tampak lengang dan senyap.
Agaknya Ety dan suaminya sudah berangkat ke sekolah tempat mereka mengajar. Zola bekerja serabutan di pasar. Ia sedang membantu kakaknya mengumpulkan uang untuk melanjutkan kuliah.
Bara masuk ke rumah melalui pintu belakang. Situasi di kaki Kerinci saat itu aman-aman saja. Layaknya rumah jaman dulu, tak ada yang berniat jahat meskipun rumah ditinggalkan tak terkunci. Ia melihat-lihat ke ruang tamu, tak ada apapun selain bangku sederhana. Demikian pula ke ruang tengah, hanya ada sisa nasi sedikit bekas sarapan.
Begitu memasuki kamar, ia menemukan lemari baju kakaknya terbuka. Tersiksa rasa bersalah, Bara berjinjit-jinjit mendekat. Sambil mengigit bibirnya, ia memutar otak. Apakah ini memang jalan satu-satunya?
Bara bertanya lagi dan lagi, memilah-milah pilihan di hadapannya. Ia butuh ongkos. Ini adalah jalan tercepat serta termudah. Semakin cepat tiba di Jakarta, semakin cepat pula ia bisa mencari uang. Sehingga akan semakin cepat pula Mamak menerima bantuannya, dan tak perlu susah payah lagi menguras keringat siang-malam.
Angan Bara sudah melayang ke mana-mana, ketika akhirnya ia membulatkan keputusannya. Ia bersumpah untuk mengganti barang yang diambilnya.
Akhirnya Bara menemukan sebuah jam tangan yang suka dikenakan oleh kakaknya. Barang itulah yang diambilnya dengan niatan hendak dijual ke pasar.
“Maafkan, ya Onang, aku pinjam dulu jam tanganmu. Kelak kalau aku sudah banyak uang, insya Allah akan segera kukembalikan. Anggap saja ini utangku, ya, Onang,” gumam Bara, tergesa-gesa meninggalkan rumah kakaknya.
Tanpa terasa ada air bening menitik dari sudut-sudut matanya. Sempat terpikir oleh Bara untuk meninggalkan sekedar catatan dan permintaan maaf untuk kakaknya. Namun, rasa malu akhirnya mengalahkan keinginannya.
Biarlah, mungkin kakak akan lebih tenang kalau menyangka jam tangannya diambil maling. Ketimbang kalau ia tahu bahwa adiknya yang menjadi maling. Demikian pikirannya ketika itu.
Bara tak bisa berpura-pura tidak merasakan sengatan rasa malu di seluruh tubuhnya. Entah mengapa terasa ada yang mengamatinya dari atas sana. Mungkin Tuhan, mungkin juga hanya imajinasinya. Sebagai anak yang dididik untuk selalu jujur oleh Mamak, menghadapi kondisi seperti ini, sungguh menantang prinsip hidupnya sendiri.
Nuraninya tersiksa rasa bersalah. Ia tahu betul kakaknya hidup serba pas-pasan. Ia sering bertengkar dengan suaminya yang tak begitu suka dirusuhi oleh adik-adik ipar. Dengan susah payah ia tepis segala rasa bersalahnya.
Bara kemudin singgah di rumah abangnya, Edi yang juga sudah bekerja sebagai guru. Sama dengan rumah kakaknya, di sini pun tampak kosong melompong. Kali ini ia kuatkan niatnya. Pilihannya jatuh pada gitar milik abangnya.
“Aku pinjam dulu gitarmu, ya Bang Edi. Maafkan, ya Bang, maafkan. Kelak pasti akan kukembalikan,” gumam Bara setengah menangis, disambarnya gitar kesayangan sang Abang.
Setengah mati ia hapus airmatanya dan bergegas berlari menjauh. Tak pernah terpikir ia harus melakukan hal-hal seperti ini demi bertahan hidup. Namun, ia berusaha menghibur diri bahwa ini karena situasi darurat, terpaksa.
Pertama-tama yang dilakukannya setelah memegang dua barang itu adalah pergi ke pasar. Tepat di depan pintu masuk pasar, Bara terduduk lemas. Ia melihat kedua tangannya. Tangan kiri menjinjing gitar, tangan kanan menggenggam jam tangan. Tanpa terasa, Bara menangis tersedu-sedu.
“Apakah aku sudah berubah menjadi maling? Bukan cuma maling, melainkan mencuri dari saudara-saudaranya sendiri. Baru hari pertama. Bagaimana aku menjalani hidupku di Jakarta nanti? Jadi maling jugakah? Jadi kriminal? Apakah kabar yang akan diterima oleh Mamak dari aku bukanlah tentang keberhasilanku? Tentang aku yang ditangkap polisi? Tentang aku yang mati dipukuli orang-orang.
Berbagai pikiran berseliweran sementara Bara menangis tersedu-sedu di pinggiran jalan. Terpikir olehnya untuk mengembalikan saja barang-barang yang ia ambil tanpa izin ini.
Namun rasanya sudah kalah di langkah pertama? Bagaimana dengan janjinya kepada Mamak? Bagaimana dengan adik-adiknya yang membutuhkan biaya?
“Kemiskinan mendekatkan diri kepada kekufuran,” begitu ceramah yang pernah didengar Bara di pengajiannya.
Saat ini, Bara merasa begitu dekat dengan kekufuran. Ia bahkan merasa jijik pada dirinya sendiri. Namun ia juga teringat sebuah kisah. Khalifah Umar memberikan makanan kepada seorang pencuri yang memang mencuri demi memberi makan keluarganya.
Bukankah posisi Bara saat ini sama dengan pencuri tersebut? Kalau sahabat Rasulullah saja bisa memaafkan tindakan pencuri itu, mungkin kedua kakaknya pun suatu saat nanti bisa memaafkan pencurian ini.
Berbekal pemakluman seperti itu, Bara akhirnya menyeka air matanya. Ia berdiri dan berjalan memasuki pasar. Jika jam tangan dengan mudah ada yang mau membelinya, tidak demikian halnya dengan gitar.
“Tidak, tidak, kami tak butuh gitar!” ketus pedagang toko kelontong.
Demikian pula beberapa pedagang yang biasa membeli barang-barang bekas di pasar. Hasil penjualan jam tangan, sesungguhnya hanya cukup untuk ongkos dari Jambi ke Padang. Bahkan tidak bisa untuk membeli sekadar pengganjal perut yang sudah keroncongan.
Sepanjang malam dalam perjalanan lintas provinsi, Bara berusaha memejamkan mata, dan melupakan rasa laparnya. Esok paginya sampailah Bara di Padang.
Ia mampir ke rumah Mak Gauwang, nenek dari pihak Bapak.
“Hmm, jadi hendak merantau ke mana kau?” tanya neneknya dengan nada datar.
Wajahnya terkesan dingin, pertanda tak menyukai kehadirannya di rumah besar dan bagus itu.
“Hendak pergi ke Jakarta, Mak Gauwang,” sahut Bara.
Ia mengedarkan pandangan ke ruangan tengah itu. Perabotan serba bagus dan mahal. Selama ini ia langka sekali dibawa Bapak ke rumah ini. Konon, Mak Gauwang tidak menyukai menantunya dari Kerinci.
Seperti sudah diperkirakan Bara, sang nenek jangankan memberinya bekal atau sekadar doa dan restu. Neneknya malah mengatakan kepadanya, agar jangan singgah ke rumah adik Bapak di Jakarta.
“Adik ayahmu itupun orang susah. Jangan pula kau menambah bebannya. Tidak perlu menemuinya!” ujarnya dengan nada tinggi.
Pedih rasanya hati Bara melihat tingkah dan perkataan nenek kandungnya. Apalagi saat dilihatnya busana bagus yang dikenakan neneknya. Ditambah berbagai perhiasan, kalung, gelang, cincin emas dan berlian gemerlapan menghiasi tangan, jari-jemari dan leher neneknya.
“Ya Allah, sungguhkah dia nenekku, ibu kandung ayahku?” gumamnya membatin tidak habis pikir.
Neneknya kemudian meracau, menyatakan segala penyesalan dan kekecewaannya terhadap ayahny
“Kalian itu, ya, anak-anak yang tidak tahu diri. Sudahlah miskin, masih saja sombong. Macam orang kaya saja kalian!”
“Dulu waktu bapakmu itu masih banyak uang, lupa dia sama ibunya ini….”
Bla, bla, bla!
Ya Allah, sungguhkah yang bicara di depanku ini nenek kandungku?
Bersambung
Posting Komentar