Cerpen Pipiet Senja
Mih Encun ini siapa sebenarnya, ya, pikir Pak Erte. Ujug-ujug datang ke wilayahnya, minta menjadi tukang bersih-bersih di Masjid Al-Wusqo. Karena perilakunya yang sangat santun, terutama terbuka terhadap anak-anak, Mih Encun segera disukai warga desa Gombong.
Anak-anak suka mendengarkan kisah-kisah para Nabi dan para sahabat dari perempuan paro baya itu. Dia memang agak misterius, tapi disukai semua orang.
Pak Erte tahu itu, maka ia tak pernah mempermasalahkan keberadaannya sejak beberapa tahun yang silam.
Hari ini sepucuk surat untuk Mih Encun nyelonong ke rumah Pak Erte. “Surat ti saha, Mih? Teu aya ngaran anu ngirimna geuningan1?” Pak Erte tak urung merasa penasaran.
“Duka atuh, nya Jang Erte. Bade diaos heula mah, mangga we2,” katanya tulus dan sarat dengan rasa sumerah.
“Eh, hehe… ini era reformasi, Mih Encun. Zamannya hak azasi manusia mestinya ditinggikan di negeri kita. Nggak kayak dulu lagi atuh. Sudah, saya mah pamit saja, ya…”
Pak Erte berlalu dengan wajah tersipu.
“Apa dia mulai curiga kepadaku, ya?” pikir Mih Encun saat kembali bersendiri.
Ia bergegas masuk ke biliknya di belakang masjid, mencari tempat nyaman di atas bale-bale untuk menimbang surat misterius itu. Saat membaca tulisan tangan pada sampul surat itu, mata Mih Encun seketika nanar dan jari-jari tangannya gemetar.
“Ya Allah, ini tulisan tangan putraku yang telah pergi tiga tahun tanpa kabar berita.Buah hati Ummi, Haekalku sayang, darah daging yang masih tersisa. Putraku yang suka bikin heboh dengan aktivitas keagamaannya. Sehingga aparat mencapnya sebagai seorang aktivis radikal, golongan kanan, separatis, teroris?” lirihnya masih tak percaya.
Oooh, tudingan itu sama sekali tidak benar! Itu hanya fitnah!
Serentak hati keibuan Mih Encun memekik-pekik pilu. Segala rindu, resah pasah yang dipilinnya selama itu di relung kalbunya seketika buncah. Memenuhi dadanya yang tipis karena usia dan nestapa.
Untuk beberapa saat lamanya ia hanya merunduk, memandangi surat di tangannya. Perlahan dan semakin gemetar, jari-jarinya kemudian menyobek sampul surat itu dan mulai membaca isinya.
“Ummi yang dirakhmati Allah, dalam ketakpastian inilah ananda justru baru punya keberanian untuk berkirim kabar kepada Ummi. Lagipula, alamat Ummi baru saya tahu dari seorang sohib…. Nanda sekarang berada di sebuah kota bernama Nablus…”
Neraka itu bernama Nablus. Orang pers menyebutnya sebagai Jenin kedua. Hingga Ahad pertengahan April yang lalu sudah sekitar sembilanratus warga Palestina tewas. Sebanyak limaratus di antaranya tewas di Jenin. Ratusan lainnya terluka parah. Mereka menjadi korban kekejaman, kekejian Israel, adik kandung Amerika Serikat di Timur Tengah.
Kemudian agresi militer Israel merambat ke wilayah-wilayah di sekitar Tepi Barat. Ada delapan kota di sini di antaranya adalah Nablus.
“Saya bergabung dengan kru Al-Jazirah sebagai reporter, Ummi. Al-Jazirah ini jaringan televisi terdepan dan terakurat, paling terpercaya di kawasan Timur Tengah. Kami meliput banyak kejadian dan tragedi kemanusiaan sepanjang zaman di sini, Ummi…”
“Mengapa, Nak, mengapa? Bertahun lamanya tak ada berita, tahu-tahu kini kau ada di tengah gejolak peperangan paling sengit sepanjang zaman itu?”
“Neraka, katamu tadi, Nak?” Setitik kristal jatuh menuruni pipinya, parat membasahi surat di tangannya.
Mih Encun mengais matanya dan melanjutkan membaca surat.
“Tentara Israel dengan arogannya telah menggempur Jenin dan kota-kota lain sejak akhir Maret yang lalu, Ummi. Termasuk Nablus, tempat kami berada. Mereka tak peduli konvensi internasional. Wanita dan anak-anak pun dibabat habis, rIbuan lainnya diusir.”
Seorang aktivis Fatah yang kami wawancarai berkata, “Israel sudah membuat kuburan massal di kamp yang dibangun khusus untuk warga Palestina….
“Mayat Ahmed Fashafshi, istrinya Shamira dan anak mereka Bassam tergeletak di bawah puing sampai beberapa hari lamanya. Pemberlakuan jam malam oleh tentara Israel itu tak memberi kesempatan bagi penguburan secepatnya,” kata Issam Fashafshi, putra keluarga Fashafshi yang berhasil selamat dari pembantaian itu.
“Mereka terjepit hingga tank menembakkan bom ke rumah itu. Saya mendengar suara orang menjerit. Kemudian buldozer-buldozer datang dan menggilasnya. Dinding itu ambruk dan menimpa orang-orang yang sedang bersembunyi di dalamnya…”
Aksi tentara Israel memang tak terekam semua oleh media internasional. Karena diblokade Israel. Namun ceceran kisah kekejian mereka dicatat oleh Haekal dan rekan-rekannya aktivis HAM.
Suatu hari Haekal melihat Aisha, bocah perempuan berumur duabelas tahun sedang asyik bermain di halaman pemukiman pengungsi Askar di Nablus.
“Mereka dataaang!” teriak para Ibu.
”Cepat sembunyi, cepaaat!” Para Ibu itu berusaha mengingatkan anak-anak, kemudian menyeretnya ke tempat berlindung.
Tiba-tiba… blaaar, bluuuaaar, buuum!
Ketenangan pecah berganti dengan hiruk pikuk, jerit dan lolong kesakitan. Berbaur dengan gencar tembakan, derak tank-tank dan buldozer tentara Israel. Haekal ingin sekali menghambur dari tempatnya berada.
“Jangan, akhi! Anda masih dIbutuhkan untuk tugas lain!” Ahmed Abu Attiya, rekannya aktivis HAM mencegahnya dan memegangi pergelangan tangannya kuat-kuat.
“Taa…” Bibirnya urung menggumam.
Disaksikannya bagaimana tank-tank Israel menghunjani pagar, tembok, rumah dengan tembakan, bahkan kemudian rudal.
Ya Robb!
Malang sekali, Aisha tak sempat ikut berlari dan bersembunyi ke tempat perlindungan. Timah panas menghajar perut dan dadanya. Ia menggelepar dan berdarah-darah.
Bibirnya yang mungil masih sempat berseru dengan gagah berani, sebagaimana para mujahid lain yang telah mendahuluinya syahid.
“Allahu Akbar! Hiduplah Palestina!”
Entah berapa lama kehirukpikukan yang menebar kekejaman dan tragedi kemanusiaan itu berlangsung. Hingga suatu saat tiba-tiba menjadi senyap.
Keheningan yang telah menggugurkan bunga-bunga bangsa pilihan Tuhan. Haekal belum sempat beranjak dari tempatnya berpijak, ketika Ali Assad mengabarkan tentang keadaan Ummi Fathiya. Dia istri sahabatnya, Abdullah Fatouh.
“Dia akan melahirkan bayinya. Tak ada obat-obat, tak ada peralatan. Dia sudah banyak pendarahan,” lapor reporter asal Aljazair itu.
“Mereka tak mengizinkan bantuan datang ke sini,” desis Ahmed.
Haekal mengikuti Ahmed untuk memberi bantuan sebisanya. Di ruangan dalam yang tersembunyi tampak suami Fathiya. ”Bantulah saya, bantulah,” kata Abdullah Fatouh panik.“Ini mungkin sekali anak kami yang terakhir…”
“Mereka pernah memiliki tujuh orang putra dan semuanya gugur belum lama ini,” bisik Ahmed.
“Ketujuh putranya itu para remaja yang gagah berani. Satu per satu mereka jihad, melakukan aksi bom bunuh diri, menghancurkan barak-barak militer Israel,” tukas Ali Assad.
Haekal menundukkan kepalanya dalam-dalam. Seketika ia terkenang kepada keluarganya di Indonesia. Abi dan keempat kakak tercinta juga telah syahid demi kebenaran itu, pekiknya membatin. Dan Ummi!
Ia harus mencoba mengontaknya kembali, untuk ke sekian kalinya setelah berakhir sia-sia bertahun lamanya. Seorang aktivis HAM dari Indonesia memberinya informasi penting tentang keberadaan ibunya kini.
“Kami para lelaki hampir tak bisa berbuat banyak. Hanya menunggu yang di dalam kamar berjuang membantu persalinan. Rasanya detik demi detik berlalu begitu lama dan panjang sekali. Sementara di luar kekejian terus jua berlangsung. Kami tahu, Nablus dengan penghuni 180 rIbu jiwa jadi target si Jagal. Hari itu, sedikitnya 75 warga Palestina tewas dan 450 lainnya terluka parah.”
“Alhamdulillaaah, akhirnya putraku lahir dengan selamat!” seru sang ayah yang berbahagia. Ia bersujud syukur di sudut ruangan.
“Kami menyalaminya dan ikut merasa bahagia. Namun, setengah jam kemudian tiba-tiba kondisi bayi memburuk. Akhirnya putra pasangan Fathiya dan Abdullah Fatouh meninggal. Menyusul para mujahidin, menghadap Sang Khalik…”
“Ya Allahu Robbi, aku sudah tak tahan lagi membaca suratmu ini!”
Mih Encun merasakan sekujur tubuhnya gemetar hebat. Teriakan anak-anak, jeritan pedih dan rintih kesakitan para lansia, perempuan tak berdaya di Nablus itu, menjejali gendang pendengarannya. Merobek telak jantung dan ulu hati perempuan itu.
Perempuan itu terkapar, tapi kenangannya segera terbetot ke masa silam. Sebuah peritiwa yang telah melibatkan Haekal dan suami serta keempat putranya yang lain dalam tragedi. Peristiwa yang membuatnya kemudian hidup bagai seorang pengecut. Karena ia tak sanggup menghadapi traumatis jiwanya, berikut masalah-masalah yang harus dihadapinya.
Masa itu Jakarta sedang digonjang-ganjing oleh berbagai kerusuhan, pembakaran, penjarahan dan bom-bom meledak di mana-mana. Pemerintah kelimpungan dan mencari kambing hitam.
Tiba-tiba serombongan lelaki berseragam menggerebek rumahnya yang asri di kawasan Jagakarsa. Selain Haekal, keempat putranya sedang ada bersamanya. Begitu pula suaminya, karena sedang merasa tak enak badan mengurungkan niatnya berceramah.
“Kami akan membawa Anda, Pak Kyai…”
“Apa salah saya?”
“Anda sudah mengompori umat melalui ceramah-ceramah…”
“Itu tidak benar. Saya hanya berceramah seperti biasanya, syiar dan dakwah sesuai keyakinan kami…”
“Tapi massa yang bikin rusuh keluar dari tempat terakhir Anda berceramah! Ayo, jangan persulit kami, ikutlah!”
“Mana surat perintahnya?” Haidar, putra tertua mahasiswa semester akhir jurusan hukum, mencoba menghalangi mereka membawa ayahnya.
“Kamu mau melawan, hah?”
“Bukan begitu, kami hanya ingin keadilan…” Adik-adik Haidar ikut membentenginya. Mereka membentuk formasi, hingga sang ayah terlindungi.
“Jangan coba-coba melawan kami!”
“Kita harus membawa mereka semuanya!”
“Ya, kalian semuanya terlibat gerakan pengacau keamanan!”
Haidar dan adik-adiknya dIbuat babak belur. Sang ayah direnggut paksa dari sisi mereka. Kemudian seseorang mendudukkannya di kursi dan mulai menginterogasi dan menerornya.
“Anak-anak kamu mengacau Jakarta dan sekitarnya!”
“Ya, kamu sudah mengompori umat, agar mereka melakukan aksi anarkis. Mengaku saja, mengakuuu!”
“Kalian tak bisa menginterogasi Ayah kami di sini. Kami memerlukan pengacara… aaah!” Haidar terjengkang, perutnya dihantam popor senapan.
Kekejian itu dalam sekejap telah berlangsung di depan matanya. Suami dan keempat putranya diseret oleh orang-orang misterius itu.
“Tabah dan tawakallah, ya Mi… Abi minta keluasan hati Ummi, jangan kaitkan Haekal dengan persoalan kita hari ini,” bisik suaminya saat ia diberi kesempatan menghampirinya untuk pamitan.
Sejak saat itu, ia tak pernah melihat suami dan putra-putranya. Hingga suatu hari ia dijemput beberapa pemuda yang mengaku teman Haekal. Mereka membawanya ke pemakaman umum dan menunjukkan kebenaran itu. Sebuah kuburan massal, di mana keempat putra dan suaminya konon dikuburkan di dalamnya.
Belum terdengar azan zuhur ketika Mih Encun keluar dari biliknya. Wajahnya tampak bersinar perbawa semangat yang berkobar-kobar dalam dadanya. Ya, kabar dari Nablus yang dituturkan Haekal melalui suratnya telah mengubah segalanya!
Surat itu telah memberinya inspirasi dan kekuatan maha. Hingga ia bagai terbangun dari mimpi buruknya. Kemudian siap untuk menentang ketakadilan itu. Ya, ia tidak merasa gentar lagi terhadap siapapun selain kepada Allah!
“Mau ke mana, Mih Encun?” tanya Pak Erte yang berpapasan dengannya di mulut gang.
“Saatnya sudah tiba, Jang Erte. Assalamualaikum!” sahutnya tanpa memberikan luang sedetik pun kepada lelaki itu untuk menanyainya lebih lanjut.
Lelaki itu terperangah memandangi Mih Encun yang berjalan tegar bagai mujahid hendak tandang laga.
“Sudah saatnya aku menghadapi persoalan. Semua Muslim harus berjihad untuk menegakkan syiarnya masing-masing. Jangan membiarkan citra Islam selalu dipojokkan, difitnah, dipinggirkan, dikambinghitamkan. Ya, ini memang sudah saatnya!” ceracaunya riuh dalam hati.
@@@
1“Surat dari siapa, Mih? Kok nggak ada nama pengirimnya?”
2”Entahlah, Nak Erte. Kalau mau dibaca sih, silakan saja."
Posting Komentar