Dari Grup Perjuangan
Ada seorang Kopral Ottoman yang menolak untuk meninggalkan tugasnya di al-Quds ketika ditarik untuk kembali ke negaranya Turki, sampai akhirnya sang Kopral dengan suka rela meninggalkan tempat tugasnya itu ketika Rabb nya memanggilnya pada tahun 1982. Ketika ditanya kenapa tidak mau meninggalkan pos penjagaan itu, ia menjawab, “Saya takut Rasulullah akan sedih kalau tau tidak ada lagi yang menjaga masjid ini, Kiblat pertama dan masjid suci ketiga umat Islam”.
Ya, namanya Kopral Hasan Igdirli (93 yo), the Last Ottoman Stand, prajurit Ottoman terakhir yang meninggalkan tugasnya menjaga masjid Aqsha pada tahun 1982, bukan kembali ke negaranya Turki, tetapi kembali ke Rabb nya. Kisah ini ditulis oleh seorang jurnalis Turki, Elhan Bardagi, yang sedang berkunjung ke al-Quds bersama para delegasi jurnalis Turki pada tahun 1972 yang tanpa sengaja bertemu dengan Kopral Hasan selepas sholat Jumat.
Ketika itu, Bardagi sedang berjalan-jalan di sekitar masjid Aqsha dan berjalan menuju ke halaman atas yang disebut dengan halaman “12 ribu lilin”. Dinamakan halaman “12 ribu lilin” karena dulu, ketika Sultan Selim l menaklukkan al-Quds untuk pertama kali pada tahun 1516 menyalakan 12 ribu lilin di halaman itu, dan disanalah tentara Ottoman melaksanakan sholat Isya yang diterangi oleh cahaya 12 ribu lilin.
Tidak jauh dari situ, Bardagi melihat seorang laki-laki berumur 80-an memakai pakaian tentara Ottoman yang sudah lusuh dan banyak bekas jahitan. Melihat laki-laki itu, Bardagi menanyakan kepada guide, kata guide, “Sejak aku kecil, aku sudah melihat laki-laki itu berdiri disitu seperti patung menghadap ke masjid dari pagi sampai sore. Dia tidak pernah berbicara kepada siapapun. Sepertinya sih orang gila”.
Bardagi mendekati laki-laki itu dan menyapanya dengan bahasa Turki, laki-laki itu menjawab dalam bahasa Turki dengan logat Anatolia yang masih sangat kental. Bardagi terkejut, berbagai pertanyaan muncul di benaknya, apa benar ini orang Turki? apa yang dia lakukan disini? Akhirnya Bardagi memberanikan diri untuk bertanya kepada laki-laki itu.
Laki-laki tua itu mengatakan, “Ketika negara kita kalah dalam perang pada tahun 1917, agar tidak terjadi penjarahan di kota al-Quds, pemerintah Ottoman meninggalkan 1 peleton pasukan di al-Quds sampai masuknya pasukan Inggris ke al-Quds. Aku memohon kepada Komandan untuk dimasukkan dalam peleton tersebut dan menolak kembali ke Turki. Namaku Kopral Hasan Igdirli, dari Korps 20, Brigade 36, Batalyon 8, Peleton Infanteri 11”
“Kami yang berjumlah 53 orang memutuskan untuk menetap di al-Quds agar nanti saudara-saudara kita orang Palestina tidak mengatakan bahwa Ottoman telah meninggalkan Palestina. Kami tidak ingin Sultan para Nabi, yaitu Nabi kita Muhammad sedih dan menangis.”
“Waktupun berlalu dengan cepat, para sahabatku pun telah meninggal satu per satu, kami tidak ditaklukkan oleh tentara musuh, tetapi kami dikalahkan oleh maut dan takdir Ilahi.”
Kata Bardagi, Hasan Affandi meminta satu permintaan kepadaku dan memohon agar aku melaksanakan permintaan itu,
“Anakku, kalau kamu kembali ke Turki, pergilah ke desa Sanjak Tukat, temui Kapten Musthafa, dialah yang menugaskanku sebagai pengawal masjid Aqsha, dialah yang meletakkan amanah besar ini di pundakku. Ketika bertemu dengannya, ciumlah tangannya untukku, dan sampaikan padanya bahwa Kopral Hasan Igdirli, Komandan peleton 11 yang ditugaskan menjaga masjid Aqsha masih menjalankan tugasnya sebagaimana yang anda perintahkan dulu, dan tidak pernah meninggalkan posnya, dan Kopral Hasan memohon doa dari anda.”
Kata Bardagi, karena dia tahu aku datang dari Istanbul, dia menanyakan “Apa kabar negara kita?”. Aku bingung mau menjawab apa, aku tidak tega mengatakan bahwa negara Ottoman yang dibanggakannya itu telah dihancurkan oleh Inggris, Perancis, dan Armenia. Kukatakan, “Negara kita baik-baik saja.”
“Kalau baik-baik saja kenapa mereka tidak datang kesini dan membebaskan al-Quds dari para kafir itu?”, kata Hasan Afandi dengan suara tegas.
“Inshallah suatu hari mereka akan kembali ke sini.…”
Akupun pamitan kepada Kopral Hasan, kucium tangannya dan kupeluk erat badannya yang sudah renta itu sambil menangis. “Sampaikan salamku kepada Istanbul,” kata Kopral Hasan.
Sebelum kembali, ku ceritakan kepada guide ku siapa laki-laki yang dikira gila itu, dan ku berikan alamatku kepada guide itu dan memintanya agar memberitahuku kabar Kopral Hasan.
Dalam perjalanan kembali ke Istanbul aku masih belum bisa percaya kalau ada seorang prajurit Ottoman yang masih bertugas di al-Quds menjaga masjid sejak tahun 1917!
Ketika sampai di Turki, aku pergi ke desa Sanjak Tukat di Anatolia, aku berhasil mendapatkan alamat Kapten Musthafa setelah menghubungi berbagai pihak. Aku pun tiba di desa itu, tetapi sayangnya aku tidak dapat memenuhi janjiku kepada Kopral Hasan, karena Kapten Musthafa telah meninggal belasan tahun yang lalu.
Pada tahun 1982, ketika aku bertugas di Kantor Berita Turki, aku menerima sepucut surat dari al-Quds. Ternyata surat dari guide yang 10 tahun lalu menemaniku, dalam surat itu tertulis, “Hari ini telah meninggal dunia prajurit terakhir penjaga masjid Al Aqsha."
Posting Komentar