Pipiet Senja
Pukul 15.00 WIB, RSUI.
Inilah detik-detik sabil dalam dadaku, paling mendebarkan seumur hidupku.
Bumi yang kupijak serasa berputar, hingga tubuhku bak melayang-layang tanpa kupahami. Entah hendak dibawa kemanakah gerangan?
Kuiringkan ranjang berisi sosok tangguh, perkasa, selama hidupnya senantiasa siaga menemaniku, dalam lautan dukalara.
"Teruslah berzikir, Nak," bisikku setiap kali kulihat gerakan halus dari sosok berbaju biru itu, baju khas pasien rawat inap.
"Lantai berapa ruang OK-nya, Ners?" tanyaku kepada dua perawat yang mendorong brankar putriku.
"Lantai tiga, Bu," sahut perawat, seraya mengangguk santun ke arahku.
"Oh, silakan duluan. Kami di lift sebelah," ujarku begitu lift terbuka, hanya bisa memuat ranjang dan dua perawat.
Kubiarkan mereka turun duluan dari lantai 14 ke lantai 3. Rumah sakit ini paling megah, canggih dengan dokter dan perawatnya muda muda, santun serta ramah. Demikian menurutku yang sudah pengalaman puluhan tahun, menjadi pasien berbagai rumah sakit.
Kami berdua, aku dan nyonya bapaknya Butet, naik lift sebelah. Tumben dia pendiam, biasanya banyak gumam yang tak penting seperti; mengomentari sesuatu yang melintas.
Saatnya melepas putriku ke ruang OK, sempat kuambil ponsel dan memotretnya.
"Silakan, Bu, jika mau berdoa," kata seorang dokter muda.
Aku pun sigap menghampiri putriku, kugenggam tangannya. Beberapa saat aku mendoakannua, merafalkan Al Fatihah: khususnya untuk buah hatiku.
Ya Robbana, berikanlah kekuatan lahir batin kepada buah hatiku ini. Mohon ya Allah, berilah kesempatan agar dia bisa membesarkan, mendidik anaknya menjadi orang bermanfaat, solehah....
Sekejap kutatap wajah putriku. Ia tersenyum dengan wajah memucat, bibir pias sedikit pecah efek kurang minum, nyaris tak bisa makan 5 hari ini.
"Titip Qania, ya Manini, tenanglah kalian sudah ada rumah sendiri...."
Kutahan sedemikian rupa airmata yang nyaris banjir dari sudut-sudut mataku.
Kutahu perjuangannya yang dahsyat, demi menyejahterakan Emak dan anaknya. Pergi pagi pulang larut sekali.
Kupandangi sosok di atas ranjang itu hingga lenyap di balik pintu.
"Silakan Ibu kembali ke lantai 14, di sini gak ada ruang tunggu," kata seorang perawat laki-laki.
Selama proses operasi pasang pen di belikatnya, akibat tabrak lari itu. Sungguh, tak bisa kujabarkan dengan semesta kata. Entah bagaimana rasanya resah pasah yang membalun jiwa ragaku.
Sepanjang menanti proses operasinya, tak henti-hentinya melangitkan doa kepada Sang Pencipta. Tak bisa kuhindari, sekejap sempat terlintas bagaimana andai....
Ya Allah, mohon jangan biarkan terjadi sesuatu yang lebih melukai. Kasihanilah Qania. Sudahlah jauh dari bapaknya, entah bagaimana jadinya jika mamanya....
Segera kutindas dalam-dalam hal buruk itu. Sempat bergumam;"Ya Robb, alihkan semua sakit anakku kepada emaknya ini. Hamba sudah terbiasa dirundung penyakit sejak kecil...."
Satu jam, dua jam berlalu. Pukul 17.10, kuayunkan langkah ke ruang perawat. Menanyakan kondisi anakku.
"Oh, Ibu ke mana saja? Kami mau jemput anaknya nih, kembali ke ruangan," ujarnya sungguh membuat dunianya serasa lega sekali.
"Allahu Akbar, terima kasih ya Allah," aku sujud syukur, tak hirau orang-orang lewat mau bezuk.
Alhamdulillah, sungguh telah usai operasi dan pemulihan. Sungguh, ini lagi dijemput dari OK. Mau kembali ke ruang perawatan lantai 14 kamar 16. Allahu Akbar.
Allahu Akbar. Allahu Akbar.
Terima kasih Engkau masih memberi waktu, kesempatan Butet untuk mendampingi anak semata wayangnya.
Terima kasih jua doanya untuk putriku, wahai sahabat Manini Qania yang dirakhmati Allah Swt.
Semoga pahala Surga untuk Anda semua. Spesial keluarga besar Mahad Askar Kauny, santri para penghafal Al Quran. Dato Hashim Yacoob dari Malaysia, begitu gerak cepat mengirimkan tali kasihnya.
Hany Al Faruq yang telah mendoakan Butet sambil thawaf di Mekkah. Dahniar Ilyas , Yetti Setyowati, Aminah Mustari, Haji Sudiana Nana, Tias, Nuning Purnama, Sri Rahayu Wilujeng, Julie Nava dan semuanya saja yang tak bisa kusebut satu-satu
Semoga pahala Surga untuk Anda semua.
Al Fatihah.
Posting Komentar