Pipiet Senja
Anno, 2006
Hari ini, agendanya ziarah ke Masjid Quba, mengunjungi perkebunan kurma dan museum Kiswah. Letak Masjid Quba sekitar dua mil dari Masjid Nabawi ke arah barat daya, masih kawasan Madinah Al-Munawarah.
Begitu rombongan jamaah sudah duduk manis dalam bis yang nyaman full AC, maka Ustad Mawardi pun memandu dengan suaranya yang bariton abiiizz, ehem!
“Masjid Quba ini adalah masjid pertama yang didirikan secara terang-terangan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat. Awalnya didirikan di atas tanah bekas kebun kurma milik seorang sahabat Rasulullah SAW. Di sinilah tonggak pertama syiar Islam yang bakal menerangi seluruh dunia dengan cahaya Ilahiah… dengan ajaran Rasulullah SAW…”
Kali ini Ustad Mawardi membuka dialog interaktif. Beberapa jamaah melontarkan pertanyaan, dijawab dengan serius dan senang hati oleh mutawif kita yang sudah berpengalaman. Kadang DR Achmad Satori Ismail menambahinya bila dirasa perlu. Namun dia lebih banyak dibiarkan memandu secara bergantian dengan Fauzi, sang adik.
Tentang kru Cordova Abila aku mendapatkan kesan pertama yang sangat bagus. Pertama kali aku menginjakkan kaki di Intercontinental Mid-Plaza, sungguh grogi rasanya. Maklumlah, kampungan deh diriku, seumur hidup baru menginjak hotel bintang lima. Pas lagi celingukan dan poyongkodan begitu, tiba-tiba seorang anak muda berjaket Cordova menghampiri. Dengan santun dan ramah dia mendampingiku menuju tempat silaturahmi.
Demikian pula saat aku, Marlen dan Aisha celingukan dinihari di pelataran Masjid Nabawi. Fauzi dan Masud sudah berdiri tegak dan siap memandu jamaah Cordova.
Aisha sempat berkomentar; “Waaa… apa kalian gak ikut sholatnya?”
“Pssst… pastilah ikut sholat, masa gak,” ujar Marlen yang kutahu sudah akrab dengan Ustad Mawardi dan adik-adiknya, semuanya menjadi mutawif. Maklum, Marlen sudah berkali-kali umrohnya, demikian pula hajinya.
Kami juga mengenal bunda mereka, seorang wanita paro baya yang tinggal di Lombok, Mataram. Kali ini beliau sama diumrohkan, sebagaimana istri Pak Muharom dan bundanya Dewi.
“Ustad, apa keutamaan sholat di Masjid Quba?” tanya seorang jamaah dari kursi bagian belakang.
Aku selalu memilih duduk di barisan depan, pas di belakang Pak Sopir yang berasal dari Cililin, Jawa Barat. Konon, dia sudah menjadi mukimin selama 15 tahun di Madinah.
“Kalau kita mau itung-itungan pahala, ya Bu…”
“Rasanya gak tahu terima kasih deh, ya… Masa kita berani berkalkulasi dengan Sang Maha Pengasih,” entah siapa yang nyeletuk.
“Iya, padahal begitu banyak yang telah diberikan Allah SWT kepada kita…”
“Yeee… kita kan kepingin tahu aja, boleh kan Ustad?”
Ustad Mawardi berdehem dan tertawa kecil.
“Boleh, Bu… Gak apa-apa kok kita berharap pahala. Karena Allah Azza wa Jalla telah punya janji dengan kita, sebagaimana kita juga ada janji dengan Sang Khalik…”
“Jadi?” desak jamaah itu nyaris tak sabar.
“Ya… ada hadis mengatakan bahwa apabila kita sholat dua rakaat di Masjid Quba, maka pahalanya adalah sekali umroh…”
“Waaaa…. Crek, crek…. Subhanallah!” serempak beberapa jamaah yang ada di bis 2 berdecak-decak, takjub.
“Tapi kan buat pergi ke sini saja berapa jetean yah…”
Beberapa saat terjadi saling celetuk, berkomentar. Kadang ada yang guyonan, tapi kemudian Ustad Mawardi selalu berhasil menengahi. Dengan gayanya yang tawadhu, dia akan melanjutkan memandu, memberi tahu jamaah tentang berbagai hal di sekitar Madinah. Tempat-tempat bersejarah, jejak Rasulullah SAW dan para sahabat dalam memancangkan tonggak Islam.
Pernah suatu kali, dalam perjalanan dari Jeddah ke Madinah, rasa kantuk sangat mendera semuanya. Kupikir hanya diriku yang mengantuk berat. Kepala terangguk-angguk, jeduuuk, jeduuuk… Ajaibnya, Ustad Mawardi dengan suara baritonnya yang khas, tetap saja melanjutkan memimpin talbiyah, dilanjutkan doa-doanya yang panjang.
Ya Allah… subhanallah!
Duuuh, luar biasa ketahanan mutawif ini, pikirku terheran-heran sendiri.
Sepanjang malam pun dia tahan mengumandangkan doa dan ceramah. Bergantian dengan adik-adiknya yang kebetulan berada dalam bis kami. Kutahu di bis satu ada Ustad Muslim Abdullah yang telah mumpuni dalam hal membimbing jamaah umroh dan haji.
Aku menjadi malu sekali, buru-buru mengambil aqua, dan mengusap wajahku berulang kali dengan handuk basah sebagai penghilang rasa kantuk. Menyesal tidak membawa taperecorder, kesahku. Penting sekali kuketahui apa saja seluruh doa, dan penjelasan sang mutawif; seputar tempat-tempat yang pernah menjadi saksi kebangkitan Islam di masa lalu.
“Alhamdulillah kita sudah sampai… silakan ibu-ibu, bapak-bapak yang dirahmati Allah, kita turun untuk mendirikan sholat sunat dua rakaat di sini,” ujar Ustad Mawardi ketika bis berhenti di depan Masjid Quba.
Masjid Quba kondisinya terkesan sederhana sekali. Namun, aku masih tetap bisa merasai aura ghirah Islam yang mengental di sini. Airmataku bercucuran saat sholat dua rakaat, kemudian menengadahkan kedua tangan… Seketika di benakku seakan-akan terpeta kembali jejak Rasulullah SAW, Junjunganku, Kekasihku.
Bagaimana jihad dan pengorbanan para sahabat, di bawah kepemimpinan langsung Rasulullah SAW. Yup, berjihad memerangi kaum kafir Quraisy!
“Ya Rasulullah, akhirnya hamba yang lemah ini sampai pula ke tempat di mana engkau pancangkan bendera Islam…. Menerangi dunia dan… sampailah kepada bangsa hamba, kepada diri hamba… Terima kasih, Ya junjunganku, Ya Rasulullah SAW…,” doaku niscaya merepet panjang lebar.
Allahu Akbar!
Puas sudah dan lapang sekali serasa dada ini. Tiba-tiba kurasai ada seseorang yang mengawasi gerak-gerikku. Kuusap mataku yang masih membasah, kuputar sedikit kepalaku ke belakang. Seorang gadis muda mengangguk dan tersenyum manis dari pojokan sana.
Aku bingung, menoleh ke kiri, ke kanan. Tidak, dia memang hanya menyenyumi diriku. Aku mengangguk dan balas tersenyum ke arahnya.
Ups, gadis berbusana serba hitam itu seketika bangkit, bergerak menujuku. Ya, sungguh dia memang menghampiri diriku. Ada apa, ya, tanyaku dalam hati.
“Dari Indonesia, ya Umi?” sapanya ramah.
“Iya…”
“Indonesianya di mana, maaf…, boleh kenalan?”
“Cimahi, Neng….”
Kusambut tangannya yang terulur. Kupandangi wajahnya yang manis, seraut wajah gadis ndeso. Mengingatkanku kepada mojang-mojang Sunda yang banyak pula menjadi TKW di Arab. Usianya kutaksir sebaya sulungku, 24-an.
“Pantas, dari tadi aku sudah merasa gak asing lagi. Orang Sunda, ya, sama… Maaf, punten pisan, yah, boleh aku memeluk Umi?” ujarnya begitu kuberi tahu asalku.
“Baik… ada apa, ya… mengapa?”
“Umi mengingatkanku kepada Emak… Iya, Emak aku itu sudah meninggal tahun lalu… tapi aku gak sempat jumpa… Kangen…”
Kali ini dia berlinangan air mata, gemetar kurasai jari-jemarinya saat dia segera mengambil kedua tanganku, mencium dengan hormat dan penuh rasa rindu.
Ya Allah, anakku yang malang, desahku.
Tanpa ragu kuraih tubuhnya, dan untuk beberapa jenak kami berpelukan erat sekali. Seakan-akan kami ini ibu dan anak yang telah lama tak bersua, dan tanpa sengaja dipertemukan di antara jamaah yang memasuki Masjid Quba siang itu.
Perlahan ia melepaskan dekapannya, memandangi wajahku lekat-lekat, kemudian katanya pula; “Punten, Umi, uhm…. Wajah Umi mengingatkanku juga kepada seorang penulis, asal Cimahi. Aku ngefans banget sama dia. Nama penanya Pipiet Senja, uhm…. Sayang sekali beliau sudah meninggal….”
Serasa meremang hebat bulu romaku mendengar celotehnya!
Betapa tidak, di tempat antah berantah begini, mendadak ada orang yang mengaku pembaca karyaku? Allahu Akbar!
Ops, dia mengira aku sudah meninggal? Ya Allahu Robb!
“Neng,” kutunjukkan tagname yang menggantung di leherku. “Ini nama asli saya, nama di KTP dan akte kelahiranku. Kalau kamu percaya, saya ini Pipiet Senja. Iya benar, Neng, itu nama pena saya…. Saya mah da belum meninggal atuh, Neng. Lihat, ini saya masih hidup!” balasku menceracau.
Duhai, ini karena buah penaku!
Seketika aku berdiri dan menghentakkan kaki kananku ke lantai.
Bruuuk!
“Duh, ya Allah, Gustiiiii! Geuningan ieu, teu disangki pisan….”
Kami pun berpelukan kembali, lebih erat lagi dan sambil bercucuran air mata. Aku menangis bahna terperangah dengan keajaiban yang digelar oleh Sang Maha Pencipta.
Sayang sekali hanya sebentar kami bercakap-cakap, sesungguhnya lebih banyak aku menjadi pendengar. Namanya Siti Maemunah, sudah enam tahun menjadi TKW, masih lajang.
“Boleh kunasehati, Neng?” kataku sebelum berpisah.
“Iya atuh, Umi…, boleh, apa nasehatnya?”
“Pulanglah, Neng, jangan biarkan dirimu lama-lama merantau di negeri orang. Tabunganmu sudah banyak kan?”
“Iya Umi, insya Allah, mohon doa Umi, ya. Akhir tahun ini kontrakku memang sudah habis. Tidak akan kuperbarui kontraknya, Umi.”
Sampai jumpa Neng Mae dan Masjid Quba!
@@@
Posting Komentar