Pipie Senja & Deva Shastravan
Bab 3: Cinta Lama Bersemi Kembali
Mak Ijot menghampiri Abah Emod dan bertanya: “Ada apa kamu ke kampungku? Bukannya sudah bersumpah; haram menginjak tanah Sukariang?”
Abah Emod tenang saja menjawab, “Itu kan sumpah palsu buat menyenangkan hatimu saja. Hehehe….”
Mendengar pernyataan yang jelas mengkhianati, tak urung wajah Mak Ijot merah padam. Terkenang lagi di benak Mak Ijot. Bagaimana peristiwa menyebalkan itu terjadi. Dua puluh tahun silam, bukan waktu yang singkat. Telah banyak kejadian yang pernah dialaminya.
Namun, satu peristiwa bersama lelaki pujaan para janda itu sangat melekat di otak dan hatinya. Bagaimana tidak. Mereka sudah seperti pasustri. Tiba-tiba satu malam Jumat, Mak Ijot memergoki lelaki itu mengencani si Lilis. Janda genit yang selama itu menampung curhatannya. Membanggakan sang kekasih sebagai sosok terindah sejagat raya.
Eeeh, ndilalah, ternyata pengkhianat!
“Itu dia Abah Emod!” teriak seseorang dari gerumbulan pohon singkong.
“Ya, buruan tangkaaap!”
“Beneran kudu ditangkap nih?”
“Iya, serius seribu persen!”
“Mumpung rombongan si Tukang Ngutang belum sampai….”
“Emang ke mana dulu tuh rombongan?”
“Mampir di rumah Koh Liem Peng….”
“Pasti mau ngutang lagi tuh!”
“Psssst, fokuuus, fokuuus Mak!”
“Oke, fokus! Terus buat apa tangkap Abah Emod?”
“Bikin perjanjian. Supaya dia panggil piaraannya dari Dunia Lain. Ngawal Mak Erot!” kata Oneng yang baru bergabung, dikawal Sarjang.
“Setubuuuuh, eeeh…, setujuuuu!”
Abah Emod masih petentengan dengan gaya songong alias arogan di depan Maj Ijot. Mak Erot mulai kepayahan setelah jalan kaki dari atas ke kaki Bukit Sinongnong. Aneh juga kelakuan rombongan Lurah. Bukannya bantu gotong Mak Erot. Malah ikut mampir di rumah Koh Liem Peng.
Abah Emod bisa melihat kemarahan mantan kekasihnya. Demi Mak Erot sahabat kesayangan agaknya. Mak Ijot masih bisa menahan kemarahan yang merobek simpanan kesabaran dan keikhlasannya selama ini.
“Pssst, urusan masa lalu kita tunda dulu, ya Say,” kata Abah Emod seraya tersenyum menawan dan mengerdipkan sebelah matanya.
Tak urung jantung Mak Ijot seketika berdegup kencang. Harus diakui, meskipun sudah tua lelaki ini masih tampak gagah perkasa. Konon, dia punya banyak ilmu termasuk ilmu pelet. Pakar panggil Arwah, Demit, Genderewo, Kuntilanak, Tuyul dan sebangsanya dari Dunia Lain.
Senyumannya itu loh, duhai tralala!
“Ya, kita selamatkan dulu Bestieku ini,” sahut Mak Ijot.
Ia merasa tak ada pilihan lain. Demi keselamatan sahabatnya dari rencana busuk si Nganu. Terutama untuk menghindari amukan emak-emak sekampung. Dia tahu persis, BEMS lagi sensi-sensinya. Cepat tersinggung, cepat menyimpulkan sesuatu yang tak masuk akal.
Motto BEMS: “Lawan kezaliman sinting secepat kilat! Tak peduli masuk akal atau ikut sinting!”
“Ayo, masuk mobil!” ajak Abah Emod seraya menarik tangan Mak Ijot.
“Mau ke mana?” Mak Erot celingukan saat sudah berada di dalam kendaraan.
“Tenang saja. Pokoknya kita ke tempat aman-suraman!” sahut Abah Emod seraya menstarter kendaraan dinas atasnama Pak Camat.
Jhieeeeng!
“Wooooi, mereka dibawa kabur Abah Emod!”
“Kejaaar!”
“Etah si Mamang kalahka ngajengkang?” Seru Sarjang memburu Mamang tukang pukul Pak Camat. Pak tua itu malah terjengkang ke selokan, begitu kendaraan atasannya dibawa lari Abah Emod.
“Sudah tuwir begitu masih ngotot jadi tukang pukul, weeew!”
“Mau pensiun sih…. Hanya masih banyak anak kecilku,” bela diri Mamang.
“Gimana gak banyak anak? Lah itu bininya saja di tiap pengkolan!”
“Salah awewena! Naha make daek wae kanu geus peot?”
Oneng dan Sarjang tak tahan lagi beri komando: “Ayooo, kejar tuh mobil!”
“Ya, lacak jejaknya. Kita harus jaga mereka….”
“Jangan sampai ditemukan gerombolan si Nganu!”
“Siaaaap, laksanakan!”
Dua jam kemudian barulah rombongan Lurah kembali ke kaki Bukit Sinongnong. Sudah sepi. Emak-emak sudah bubar bertemperasan. Sebagian ikut Oneng dan Sarjang. Kepingin melacak jejak Mak Erot.
“Semuanya harap ikut ke kantor!” perintah Lurah.
“Asiiiiaaap, laksanakan!” sambut semua anak buah rombongannya.
“Tak sangka, si Emod berkhianat!” gerutu Camat semobil dengan Lurah.
“Iya, duitnya digondol…. Tugasnya ambyaar!” RW yang duduk di depan bersama Mamang si tukang pukul, ikut mengomel.
“Kalau sudah begini, harus diapakan tuh si Dukun Sebul?” cetus Lurah, memijiti kepalanya yang mendadak terasa senut-senut.
RT yang sejak tadi diam saja di bangku belakang, spontan nyeletuk: “Cari Dukun yang lebih hebat!”
“Nah! Cakeeeep!” Lurah setuju begitu saja.
“Kami carikan segera, Yang Mulia,” kata RW yang suka menjilat.
“Oke!” sambut Lurah. “Stop!”
Mamang spontan menghentikan mobilnya. Karena direm mendadak tak urung para kepala kejedot. Mendadak bunyi aduh mengaduh memenuhi kendaraan. Lurah berang sekali. “Kalian…. Keluar semuanya!” teriaknya lantang.
Ketika semua orang sudah meninggalkannya, Lurah celingukan sendiri. Dia baru menyadari si Mamang pun ikut mabur. Berlarian ke arah perkebunan jagung. Dia pun baru menyadari, tak bisa menyetir!
“Halaaah! Ponselku masih di Camat!"
“Serius mendadak kacau balau, ya Pak,” sapa seseorang dari belakang.
Lurah menengok ke belakang, degh!
Sosok yang sudah dikenalnya dan takkan dilupakan. Sebab dia telah menyuap ratusan jeti. Tugasnya menculik Mak Erot dan mengamankannya. Mengapa sudah ada di sini lagi? Bukankah dia sudah minggat sejak dua jam lalu?
Sebenarnya siapakah lelaki tua ini, ya, gumamnya dalam hati. Kalau dicermati garis-garis tampangnya tidak sama. Ya, dia hanya mirip Abah Emod.
“Siapa kamu?” sergahnya galak sekaligus penasaran.
Kita tanyakan lagi kepada rumput yang bergoyang, eeeh, Deva Shastravan, ya Bestie.
Lanjut?
Posting Komentar