Pipiet Senja
Minggu, 29 September 2013
Diundang oleh panitia Bedah Buku Simfoni Balqis dari kampus UPSI Universitas Pendidikan Sultan Idris, bertempat di Tanjung Malim, Perak, aku diinapkan di asrama Internasional UPSI.
Berawal dari kedekatan dengan anak-anak Forum Lingkar Pena Hadhramaut, Yaman, melalui aktivisnya Arul Chairullah. Tidak mengira aktivitas kepenulisan di Yaman ternyata sangat melaju kencang, membuahkan salah satunya karya berjudul; Simfoni Balqis. Salah satu cerpen yang ada di buku antologi Simfoni Balqis ini adalah karya Arul Chairullah.
“Kita diundang ke Malaysia, ya Bunda,” katanya satu malam melalui WhatsApp.
“Insya Allah, bisa!” balasku, demikian senantiasa bersemangat saja jika diminta menyebar virus menulis.
Mumpung sehat, belum lama pula ditransfusi darah, jadi; segarlah.
Ini adalah kedatanganku ke sekian kalinya di Negeri Jiran, istilah anak-anakku;”Manini sedang pusing-pusing Malaysia,” acapkali membuatku nyengir kuda bukan mesem-mesem. Sebab pusing-pusing yang bermakna keliling-keliling, terkadang malah menjadi pusing tujuh keliling sungguhan. Alamak!
Karena ada saja sesuatu yang menggiringku ke dalam posisi pusing ini. Mulai keberangkatan pagi sekali dari rumah putriku, jalanan yang senantiasa superduper macet. Miskom alias kesalahpahaman dengan petugas Imigrasi Raja Di Raja Malaysia. Hingga berpacu dengan waktu saat hendak pulang, nyaris ketinggalan pesawat.
Baiklah, setelah menginap di kamarnya Lailan dan kawan-kawan, asli Aceh yang sedang menuntut ilmu meraih Master, tibalah hari H. Acaranya pukul dua di kampus lama UPSI. Anak-anak angkatku, Dewie DeAn dkk, BMI yang bekerja di kawasan Ipoh, sudah sejak pekan lalu kontak-kontaan. Mereka siap hadir.
“Wooow, bagus sangat kampus nih,” berulang kali tanpa sadar aku berdecak-decak, mengagumi suasana kampus UPSI. Sudahlah luas, entah berapa ribu hektar, bangunannya megah dan banyak asramanya.
Mengambil ruangan terbuka di lantai dua, disetting panitia untuk tempat diskusi yang nyaman, acara dibuka dengan kumandang lagu Indonesia Raya, dilanjurkan mars kampus UPSI, sambutan PJ acara.
Sesi pertama dipersilakan kedua penulis Simfoni Balqis, yakni; Arul Chairullah alumni Yaman yang sedang mencari (istri) ops, pendidikan selanjutnya. Pembicara satu lagi adalah Ulka Chandini Pendit, kandidat PhD asli Bekasi.
Agaknya ini lebih patut disebut semacam talkshow, bukan bedah buku sebagaimana tertulis pada background di podium. Tidak ada pembedah, hanya dua pembicara sebagai wakil penulis buku Simfoni Balqis.
Arul memaparkan seputar proses kreatif hingga terkumpul 100 naskah dari penjuru dunia, anggotanya kebanyakan PPI. Sedangkan Ulka menutur kerangka cerpennya yang mengambil nama tokoh si Kuat,
Saat giliranku, tidak panjang buang waktu karena memang hanya diberi tempo satu jam saja. Langsung saja sok narcis, sok gaya, menyaji video Berkelana Dengan Buku, seputar aktivitasku sebagai penulis, terutama bersama kaum Buruh Migran di beberapa negara tetangga; Malaysia, Singapura, Hong Kong, Macau dan Shenzhen.
Dilanjutkan dengan sesi dialog interaktif yang serempak disambut oleh Dewie DeAn dkk, TKI Ipoh bersama rombongan pengajian FOKMA. Mahfudz Tejani, koordinator PPI UT pun membawa rombongannya. Salah satunya adalah si dermawan push-up, ketika acara lelang pengumpulan dana untuk Pipiet Senja, beberapa waktu yang lalu.
Seperti biasa aku membawa suasana menyebar virus menulis ini ditengarai dengan canda, akhirnya nuansanya mencair dan dipenuhi oleh gelak tawa. Maklum si Manini Pipiet Senja mah turunan Sule, komentar entah siapa malah menambah heboh suasananya.
Antusias dan semangat menuntut ilmu anak-anak TKI memang mengalahkan kehadiran mahasiswa yang bisa dihitung dengan jari, banyak yang masih berada di kampung halaman karena libur panjang.
Sesi terakhir giliran pensyarah Doktor Makmur Harun, dosen asli Jambi dengan gaya kebapakan, memaparkan perihal “adumanisnya” karya sastrawan Malaysia dengan sastrawan Indonesia.
Sebelum usai acara, terpkasa dengan rasa menyesal Dewie DeAn dkk, minta pamit. Disebabkan mereka harus kembali ke Ipoh dan melanjutkan perjuangan, bekerja shift malam di pabrik-pabrik yang mengambil mereka sebagai TKI.
Ada rasa haru-biru jauh di lubuk hati ini, tatkala menyantar kepergian para perempuan tangguh itu, hingga lenyap dari pandangan. Dalam keterbatasan waktu, mereka terus berjuang ingin menambah ilmu sebanyak-banyaknya. Berharap kelak dapat mengangkat harkat derajat mereka ke strata sejajar dengan kaum perempuan lain, setara dengan jebolan perguruan tinggi bergengsi manapun.
Selalu kuharapkan dari setiap diskusi kepenulisan ini, semoga berlahiran para penulis mumpuni yang jauh lebih hebat daripada penulis. Bravo mahasiswa UPSI, bravo TKI Malaysia! (Perak Malaysia, 2013)
Posting Komentar