Pipiet Senja
Aku mengenalnya sekitar 2010, saat singgah ke Pesantren Daarul Quran, lanjut ke rumah keluarga Ustad Yusuf Mansur di Cipondoh.
Masa itu aku sering wara-wiri ke Hongkong. Menjadi relawan Dompet Dhuafa sebagai mentor literasi, untuk anak-anak TKI-Buruh Migran Indonesia.
Beberapa waktu aku pun sering ke rumah UYM, diminta mengarahkan Wirda agar bisa menulis. Kalau tak salah Wirda masih duduk di bangku SMP. Dia mengajak beberapa teman sebayanya agar semangat, terutama seru!
“Itu siapa, Neng Wirda?” tanyaku kepada putrinya UYM, Wirda.
Sekilas ada sosok melintas di depan ruangan tempat kami lesehan.
“Ustadz Sani, Teteh. Mau kenalan, ya?” sahut Wirda.
“Iya, kenalan dari kejauhan sajalah,” sahutku. “Ustadz Sani itu mengajar juga di Daqu?”
“Ketua Yayasan itu, Teteh,” tukas Wirda.
“Wah, kereeen. Masih muda banget sudah jadi Ketua.”
Jumpanya hanya sekilas-sekilas. Tak sempat mengajak berbincang. Tak seperti dengan UYM.
Kami acapkali ngobrol ngalor-ngidul, terutama seputar keajaiban sedekah.
Segala hal tentang keajaiban sedekah bagiku sungguh menggetarkan. Sebab aku sering menerimanya; keajaiban sedekah itu memang benar adanya. Sedekah semampunya dengan ikhlas. Dikembalikan oleh Sang Maha Pengasih rezeki tak disangka-sangka dan berlimpah.
Di Hongkong, 2012, suatu saat aku melihat kembali sosok itu; Ustadz Sani. Ia bersama seorang temannya, mungkin sama dari Daarul Qur’an juga. Sedangkan aku bersama anak-anak TKI.
Sekarang disebut PMI; Pekerja Migran Indonesia.
Kami sedang melingkar lesehan, berbincang seputar literasi di Victoria Park.
Begitu Ustad Sani dan temannya melintas, mendadak anak-anak PMI menghentikan diskusi.
Semua kepala menengok ke arah dua sosok itu. Sama serempak terdiam sekejap, sekitar dua puluh pasang mata menatap kepada duo Ustadz.
Mereka kompak beruluk salam:”Assalamu alaikum, Ustadz….”
Karuan dua sosok itu kaget, meskipun segera menyahut: “Wa alaikumussalam….” Sedetik kemudian gegas-gegas berlalu, bagaikan kuatir dikejar belalang, eeeh!
Ya ampun, itu anak-anak kelas literasiku serentak tertawa.
“Subhanallah, adiknya UYM itu kece badai!”
“Sudah ada anak istrinya, Mbak!” Aku mengingatkan.
“Mau sajalah jadi istrinya ke berapalah….”
“Huuuusy!” seruku tak tahan merasa jengah sendiri. “Ini mau dilanjutkan gak sih kelasnya?” tegurku pula berlagak galak.
“Maulah, Teteh….”
“Ayo, bikin kisah inspiratif, ya!”
“Apa temanya, Teteh?”
“Ketika Ustadz Kece Lewat!”
“Asyiiiaaaap!” sambut para perantau perkasa dari berbagai daerah di pelosok Tanah Air itu, seru sangat.
Tak pernah menyangka belasan tahun kemudian, aku menemukan kembali sosok ini.
Dari media sosial, akhirnya aku mendapatkan informasi tentang kesuksesannya sebagai praktisi zakat. Kini berujung sebagai Rektor Institut Daarul Quran.
Kucari nomernya ternyata masih ada di Googledrive. Hanya perlu sekali menghubunginya langsung direspon.
Ketika jumpa kembali setelah belasan tahun, masya Allah!
“Ustadz Sani, ya? Pangling!” sapaku begitu sudah berhadapan.
“Pangling kenapa, ah, Teteh….”
“Ya iyalah, Teteh bayangkan Anda sudah menua, agak bungkuk. Eeeeh, ndilalah malah tambah muda. Heran,” celotehku tanpa basa-basi.
Kami pun berbincang seputar penyuntingan buku Story IDAQU.
“Kira-kira berapa lama menyunting bukunya?”
“Insya Allah, enam pekan.”
Semoga buku yang berada di hadapan Anda ini menginspirasi, menyebar hikmah dan kebaikan untuk ummat.
Depok,16 Desember 2023
@@@
Posting Komentar