Setelah 32 Tahun: Merdeka!










Pipiet Senja 

Anno, 2001

Bada shalat subuh, Ahad bulan Rajab.

Langkah sudah kuayun dari rumah kecil di rumpun bambu kampung Cikumpa. Harus mencari sarapan untuk orang serumah. Tak ada uang sepeser pun di tangan. Biarlah, nekad saja menebalkan muka cari pinjaman kepada Farah. Salah satu sohib terbaik yang pernah kumiliki dalam dua tahun terakhir.

Di pengajian, beberapa kali dia pernah bilang;”Kalau ada apa-apa, jangan sungkan ke rumahku."

Oke, sekaranglah saatnya

yang tepat, pikirku. Gegas menembus kegelapan kebun bambu, menyibak sekumpulan kuburan kuno yang tak terawat, menyeberang lapangan milik proyek perumahan real-estate Mutiara.

Dulu pernah dikabarkan, pemilik real-estate yang masih kroni Cendana itu akan membebaskan tanah-tanah di sekitarnya. Begitu krismon, rencana pengembangan rumah mewah pun mandeg. Jadilah sebagian tanah yang sempat dibebaskan telantar begitu saja.

Anak-anak kampung Cikumpa yang diuntungkan. Lapangannya mereka manfaatkan untuk main bola, dangdutan, pesta tujuhbelas, layar tancap bahkan baku hantam antar warga.

Sempat juga terlintas di kepalaku, seandainya mereka mau membeli tigaratus meter persegi beserta rumah mungil di atasnya. 

Hmm, tentu masih ada lebihnya untuk pergi ke Tanah Suci, selain beli rumah baru nun lebih masuk ke pinggiran kawasan Cileungsi.       

Kuperbaiki letak jilbab kaos lebar yang tersambar begitu saja dari kapstok. Baru kusadari gamis yang kukenakan masih yang kemarin, dan alas kakiku hanya sepasang sandal jepit murahan, tanpa kaos kaki.

Allah… Ada kesah yang hampir menyesak dalam dada. Ujian-Mu kali ini, Ya Robb. Memang hanya masalah belitan keuangan yang tambal sulam. Bukan ujian sakit sebagaimana biasanya yang mendera keseharianku. Namun, terasa cukup merepotkan juga. Selalu kumohonkan dalam tiap sujudku, agar ini taklah menjadikan diriku kufur nikmat.

Sudah enam bulan berlalu, hidup serasa sendirian, tanpa pengayom yang biasa mencukupi nafkah. Rasanya pontang-panting, sibuk menulis, mengedit, menawarkannya ke redaksi-redaksi majalah dan penerbitan. Tentu saja bukannya tak membuahkan hasil. Bahkan kurasakan betul dalam segala keterbatasan ini, pintu rezeki-Nya selalu terbuka bagiku.

Ternyata kalau dikalkulasikan antara pendapatan dengan pengeluaran sungguh tidak seimbang. Kebutuhan belanja sehari-hari, ongkos sekolah anak-anak, uang les si Butet, uang kuliah kakaknya. Belum untuk biaya berobat rutin, meskipun keharusan ditransfusiku coba ditunda-tunda sedemikian rupa.

Sedang kocar-kacir urusan keuangan begitu, muncul pula himbauan dari kampung. Berkata adik bungsuku, Masruroh; “Teh Ais, kumohon jangan diam saja dong. Inii soal biaya pengobatan Emak kita…” Terdengar ngilu di telepon.

Siapa bilang tak mau merawat ibunya gering? Kalau mampu kepingin saja menerbangkan Emak tercinta ke Medical Central di Singapura. Sreseeet, sreeet tuh jantung Emak dioperasi by-pass. Biar tak kumat-kumat lagi selamanya, ya?

Tapi, apalah daya? Jangankan untuk perawatan semewah itu, buat ikutan gotong royong mengobatinya di RS. Dustira saja pakupek, euy!

Kepala mendadak serasa nyut-nyutan. Kenapa mesti dibebankan semuanya di atas bahu-bahu ini, ya? Mending kalau wanita karir, punya penghasilan tetap. Ini kan cuma penulis free-lance.

Berapalah penghasilan seorang penulis di Indonesia? Buktinya puluhan tahun sudah malang melintang di dunia kangouw, eeeh, kepenulisan begitu. Kok nggak kaya-kaya, ya?

Jangankan beli mobil, lha wong sepeda ontel saja, tak punya, Neng!

“Kok nggak punya perhitungan!” sulungku tak urung menggugat ayahnya.

“Iya tuh gimana sih si Papa?” adiknya nimbrung. Tampang ABG-nya ditekuk, melas.

“Demi bikin rumah kontrakan, harus mengorbankan kebutuhan sehari-hari?” kata si Abang lagi.

“Iya, makanan kita jadi morat-marit,” tukas adiknya terdengar sengak.

“Begini urusannya sih, bisa-bisa pas kontrakannya rampung kita semua keburu busung lapaaarrr!” omel mahasiswa semester tiga itu makin merepet, dan menimbulkan kebat-kebit di hatiku.

"Iya, ya, hiksss…” Butet seketika mengisak. "Masa makanan kita ini cuma supermi lagi, kerupuk lagi, kecap lagi…”

“Mana nasinya beras taskin lagi, ya Tet?” abangnya terus mengompori.

“Eh, bener juga. Mamaaa! Nasinya kok banyak batunya nih… hueekk!”

“Iiiih, melarat, sengsaranya kok dibikin sendiri sih? Demi masa depan, demi masa depan… Gimana mo raih masa depan kalo hari ini nggak diberesin?”

Ugh, mentang-mentang mantan ketua MPK di SMU-nya tuh anak!

Apa yang punya lakonnya marah digugat begitu? Iiih, mesem-mesem kalem saja tuh.Paling buru-buru menyingkir. Menutup diri di kamarnya. Bukannya mikir, ya?

Aku sendiri lebih suka bungkam, duduk di belakang mesin ketik butut si Denok. Muter mereka-reka cerita apa yang bisa menghasilkan duit kali ini. Hanya kalau dibawa lapar, digendangi lagu keroncong perut, kok rasanya mendadak kosong nih otak. Segala ilham, ide dan apapun namanya itu, phuuussss!

Terbang bersama awan digondol si jurig lapar.

Semalam Butet senggukan tapi tidur juga akhirnya. Lelah, lapar dan sedih. Dia nggak kebagian nasi barang sekepal pun. Aneh memang yang jadi bapaknya itu. Segitu lauknya cuma sayur daun singkong boleh metik dari kebun orang, kerupuk dan kecap.

Hiiih, kayaknya nikmat aja tuh. Sampe lupa anak bini, asal kenyang sendiri ‘kali, ya?

Kalau sudah begitu, apa yang bisa kulakukan selain tersungkur di atas sejadah usang. Menumpahkan segala sesak di dada, memohon kemurahan-Nya. Agar Dia selalu memberi kami kekuatan, tak jemu membukakan pintu-pintu rezeki-Nya.          

Tiba di jalan raya tekadku kian bulat. Ya, semoga saja Farah mau diajak deal. Deueu, tibang  niat gadaikan naskah novel juga. Kuraba saku gamis, disket novelnya masih aman di situ. Celingak-celinguk sebentar, masih senyap dan lengang selain satu-dua angkot.

Langkahku terus memintas jalan raya, gapai pintu gerbang perumahan Griya Mutiara.

Ups… ternyata di kawasan perumahan mewah suasananya telah hangat. Denyut kehidupan sudah terasa sejak ambang gerbang griya. Para pedagang sayur mirip pasar kaget. Dirubungi para pembeli.        

Seketika ada yang meremas perih dalam dada. Sudah hampir dua bulan aku tak mampu lagi belanja secara normal. Begitu saja, beli makanan alakadarnya di warung dekat rumah. Seperti supermi, kecap, krupuk dan sekali-sekali telur yang terpaksa mesti kucecah-cecah, biar awet.

Langkah lebih kupercepat, supaya jangan kelamaan memperhatikan orang yang sibuk belanja. Tiba di seberang lapangan tenis, eh, masya Allah! 

Di sini pun sudah banyak orang. Mulai dari bocah ingusan, anak baru gede, gadis, bujang sampai nenek-nenek dan kakek-kakek. Macam-macam kostum yang mereka kenakan. Oh, senam bugar rupanya!

Musik pocho-pocho digembreng habis. Bisa bikin kotoran kuping berloncatan.

Aduhai, itu orang kontan sibuk geal-geol berpocho-ria.

Mari malenggang patah-patah. Mari malenggang patah-patah…          

Beberapa jenak aku malah berdiri tertegun-tegun di seberang lapangan tenis. Sedetik terbersit di otakku, betapa menyenangkan jadi orang kaya. Begitu melek langsung disambut sukacita, dilumuri musik hingar-bingar. Tak perlu memikirkan kebutuhan sehari-hari. Mau makan tinggal makan, mau belanja tinggal belanja. Buru-buru bibirku mengucap istighfar.

Namun kepala ini kok rasanya makin berdenyar-denyar.

Sampailah di depan rumah Farah. Sebuah rumah megah, tiang-tiang gaya Spanyol dengan balkon indah, kolam hias. Dan air terjun buatan yang memperdengarkan bunyi gemericik  nan merdu. Airnya tentu hasil bendungan pihak pengembang. 

Dulu sebelum ada griya-griya di sekitar Cikumpa, air sungai di belakang rumahku mengalir deras. Sulungku suka berkecipak-kecibung bersama teman kecilnya. Aku pun kadang mencuci baju di situ bila musim kemarau menyusutkan air pompa di rumah.

Kini tidak ada sungai mengalir lagi. Karena Haji Tobe, tuan tanah di kampung Cikumpa, memutuskan melepas seluruh sawah dan kebunnya ke pihak pengembang. Mereka membelokkan arus sungainya, lalu memanfaatkannya demi keindahan kawasan real-estate.

Perlahan tanganku terulur dan memijit bel di pinggir pintu gerbang.

"Assalamualaikuuuum…"  bunyinya bernuansa Islami.        

Farah seorang muslimah diberkahi banyak prestasi, komisaris sebuah penerbitan Islam di Jakarta. Begitu banyak aktivitasnya, pendidikannya S3, lulusan mancanegara. Dalam usia belum tigapuluh itu, entah berapa banyak penghargaan yang pernah diraihnya dalam bidang kepenulisan.

Suaminya keturunan Pakistan yang saleh, sukses dalam bidang entertainment.         

Farah tipe muslimah sukses masa kini. Dia juga bendahara sebuah parpol, tak perlu disebutkan namanya. Nanti dituding kampanye. 

Seorang gadis muda muncul dari samping. Mungkin salah seorang pengasuh anaknya, kalau dilihat dari bajunya yang mirip perawat. Dia menyambut ramah dan santun begitu kuperkenalkan diri.          

"Oh, Ibu Aisha dari Cikumpa itu, ya? Bu Farah suka cerita Bu Aisha, lho. Ibu kan pengarang terkenal itu, ya? Wah, subhanallah!” pendar kagum membias dari sepasang bening matanya.

"Ah, Bu Farah mah suka menyanjung,” kataku tersipu. Iya lagi, siapa coba yang suka dibilang terkenal? Kalau kenyataannya begini sengsaranya. Bahkan datang ke situ pun untuk minta bantuan nyonya rumah.

"Saya ini pengagum Bu Aisha, lho…"

"Begitu, ya, terima kasih atuh,” rasanya semakin jengah. 

Kutahu di rumah ini ada tiga anak kecil. Menurut Farah, masing-masing ada pengasuhnya. Sekilas kulihat ada pula Mang Kebon asyik menyirami taman. Tentu ada sopirnya untuk tiga mobilnya. Mungkin ada juga Bu Cuci, Bu Masaknya? 

Jadi, di rumah saja pegawainya ada sembilan orang, begitu?

Ups, kok jadi ceriwis ngitungin keberuntungan orang nih?

"Apa tadi Bu Aisha nggak ketemu Ibu di depan sana? Ibu kan lagi ikutan senam jantung sama Bapak…"

“Pasangan semuda itu?”

“Cuma menyemangati warga aja kok, Bu.”

"Oh, kira-kira kapan pulangnya, ya Mbak?”

"Biasanya sih langsung bawa anak-anak renang di Pesona. Yaah, sekitar pukul tujuhanlah. Gimana, apa mau tunggu di sini?” 

Aku lebih memilih pamitan saja. Masa sih mesti nungguin selama dua jam?

Anak-anak nanti keburu ngeh ibu mereka raib dari sudut ruang kerjanya. Meskipun hari libur, perut tetap nggak bisa dikompromi kan?  Lapar berbaur dengan cemas, ibu raib entah ke mana. Kalau ada ibu ‘kali aja perut, tetap kelaperan, ya?

Kutitipkan saja disket novel dan pesan singkat. Agak siang aku akan balik ke situ.

Baru saja keluar dari rumah Farah, berpikir ke mana lagi langkah ini dituju untuk cari pinjaman. 

Sekonyong-konyong dari seberang ada yang berseru-seru, melambaikan tangan ke arahku. Penasaran langkah kutujukan ke arahnya. Seorang perempuan sebaya Emak menyambutku hangat.       

"Salah masuk, ya Mpok? Sini rumah yang iniii!" katanya dalam nada sukacita.

“Eee…” Aku gamang. Namun, keramahan, sukacita dan penerimaan yang tak kusangka membuang gamangku.

Apalagi tanganku sudah berada dalam gandengannya, separuh diseret dia menghelaku masuk.          

Sebuah rumah yang tak kalah megahnya dari rumah sohibku.

"Sudah ditunggu-tunggu dari tadi. Mbak Mila pesen, biar langsung kerja aja hari ini. Nggak apa-apa kerja harian juga, ya Mpok. Enakan juga gitu. Lihat deh di belakang, udah numpuk banget tuh cuciannya. Bibi Cuci yang dulu, nggak bilang-bilang berhentinya. Jadi aja kita di sini kerepotan…."          

Entah apalagi yang dicelotehkannya. Intinya yang kurekam di otakku. Putrinya semata wayang berakhir pekan ke Anyer bersama suami dan anak-anak. Sudah tiga hari Bibi Cuci berhenti mendadak. Meskipun banyak omong, tapi dia lebih mirip orang yang terdesak curah hati.

Di bagian belakang rumah, tiga jolang besar cucian sudah menantiku.      

“Nah, tolong, ya Mpok, tolooong…,” katanya melas.”Nanti saya bikinkan kopi susu yang enak buat Mpok, ya,” bujuknya pula sebelum berlalu.           

Hmm, baiklah, apa susahnya, jadi Bibi Cuci dadakan. Sekejap ingat akan cucian di rumah. Kalau libur begini, biasanya dikerjakan oleh Butet. Syukurlah, di sini pakai mesin cuci berikut pengeringnya. Tak sampai satu jam aku sudah berhasil merampungkan tugas unik ini.   

Seumur hidup rasanya baru kali inilah ada orang mengiraku tukang cuci. Hmm, nikmat-Mu jua. Tak apa-apa, kan selain penulis pangkatku juga sejibun; tukang cuci, tukang masak, tukang pijit, tukang macam-macamlah di rumah.

"Waaah, cepet amat kerjanya,” majikan dadakanku dalam nada puas.

“Saya akan menjemurnya di atas, ya Bu.”

“Ya, ya, terus saja ke atas sana,” dia mempersilakanku mengangkut cucian ke loteng, suatu tempat khusus buat menjemur.

Sepanjang aku bekerja, sang majikan itu hampir tak pernah jauh dariku. Terus menguntit dan mengajakku ngobrol. Lebih tepatnya dia sendirian yang celoteh. Benar, dia memang butuh teman untuk menampung segala uneg-uneg hatinya. 

Rasa iba menyingkirkan gamang di hatiku. Kasihan, sudah sepuh kok ditinggalkan seorang diri di rumah semegah dan seluas begini. Dengan segala urusan tetek-bengeknya pula.        

Terbawa suasana hati iba dan kasih kepada Bu Sepuh, puyeng di kepalaku perlahan sirna saat turun dari loteng. Bu Sepuh sudah menyiapkan sarapan yang dibilang “jamuan khusus” untukku.         

Secangkir kopi enak campur krimer dan sepotong bakeri lezat, sekejap sudah pindah ke perutku yang sejak kemarin dibawa shaum.

“Nah, ini ada duapuluh ribu, ya Mpok,” katanya ketika akan melepas kepergianku di teras.

“Eh, ya, terima kasih,” aku terkesiap.

“Sudah ditambah sama saya. Besok-besok jangan nyasar lagi, ya Mpok. Langsung ke sini aja!" katanya sambil menyelipkan upah ke telapak tanganku.

“Ya, insya Allah,” gumamku datar.

Entah bagaimana suasana hatiku saat ini. Ada haru, ada sendu, ada juga pilu. Semua berbaur membentuk keasingan dalam sepenggal pagiku.

Begitu keluar dari pintu gerbang, sejenak membetulkan jilbab kaosku yang terasa lembab dan basah. Suara yang tak asing lagi berseru-seru dari rumah Farah. Nah, itu dia sohibku tersayang!

“Teteh Aisha! Teteeeh… Masha Allah, kok nunggu di situ sih?”

Khawatir menimbulkan heboh dan dipergoki Bu Sepuh, aku buru-buru menyeberang ke arah wanita cantik itu. Ups, selamat dan mujur sang majikan itu nggak kelihatan lagi batang hidungnya.          

“Ngapain aja di rumah Mbak Mila, Teh Ais?” tanya Farah menatapku heran.

"Eh, tahu tuh kok disuruh nyuci gitu aja,” sahutku ketawa lugas.

"Masya Allah, si Mbah Nia itu kok?” Farah berseru kaget.    

“Psst, biarlah, dikasih upah kok. Lihat nih apa!”

Sekalian saja kuimingkan selembar duapuluh ribuan baru di depan hidungnya. Farah tertawa haru sambil merangkulku masuk ke rumah. Katanya, Bu Sepuh sudah sering melakukan salah kaprah begitu.

Barangkali memang sengaja melakukannya. Saking kepingin punya teman curah hati. Lagipula orang kaya kan suka nyentrik kelakuannya, ya?     

Tanpa harus kuungkap kesulitanku pun Farah sudah memaklumi kemunculanku yang mendadak di rumahnya. Ia menyodorkan sebuah amplop tebal yang kelihatannya sudah disiapkan untukku.        

“Ini lho, Teh Ais, de-pe novel Kidung Kembara tempohari. Sudah siap naik cetak tuh. Biar saya tambahkan saja sekalian untuk de-pe novel baru ini, ya Teh Ais. Saya sudah lama lho tunggu Teh Ais muncul di kantor. Kok nggak pernah telepon?"       

"Yaah, teleponnya juga sudah lama diputuskan."  

“Afwan, ya, saya belum mampir ke rumah Teteh…”

"Saya yang minta maaf, jam segini sudah merepotkan.”

“Jangan begitu, kan sudah sering saya bilang. Rumah ini welcome untuk Teteh. Sok atuh dihitung dulu, eh, mana minumannya, Mbaaak…” 

Aku buru-buru bangkit. ”Alhamdulillah, sudah terima kasih, Dinda Farah. Nggak usah bikin minuman segala. Baru dijamu oleh majikanku tadi, hehe."

Namun, Farah memaksaku untuk diantarkan oleh sopir dengan sedannya.

Ya Robb, terima kasih, bibirku terus-menerus berkerumut mengucap puji syukur. Allah tak pernah meninggalkan hamba-Nya yang daif ini. Tanpa terasa ada butir-butir bening berderai dari sudut-sudut mataku.

Tepat pukul delapan aku sudah kembali ke rumah dengan banyak bawaan. Kulihat dari lapangan sosok putriku baru selesai menjemur cucian. Dia segera berlari menyongsongku begitu kupanggil namanya.

“Abaaang, Abaaang! Mama pulang niiih!” serunya heboh.

Diambilnya sebagian kantong bawaanku dengan wajah sumringah. Sebentar kemudian dia berlari ke belakang, mengambilkan minuman untukku. Beuh, segitu sibuknya nih anak.        

"Ini teh hangatnya. Tapi belum diberi gula. Mama bawa gulanya, ya? Sok atuh, Butet gulain dulu, ya,” katanya agak terengah-engah, tapi pendar sukacita di bening matanya bisa kurasakan.         

“Abaaang! Mama bawa bakeri kesukaan kita nih, Baaang!” kembali dia berteriak manakala belum ada reaksi dari kakaknya. Tentu saja sulungku lagi berkutat menyelesaikan program komputernya. Dia kerja bareng teman-temannya di teknik informatika.

“Mama dari mana saja sepagian begini?” tanyanya sambil menatapku dengan sorot cemas.           

“Iya, Mama kok nggak bilang-bilang mau pergi. Butet udah bersih-bersih, cuci piring, cuci baju,” adiknya terdengar menahan haru. Tali batin ibu-anak memang akan selalu saling mengait.    

“Nggak jauh-jauh kok, ke rumah Mbak Farah,” kuusap jilbabnya yang miring kanan kiri.      

“Jadi menggadaikan novel Mama yang baru itu, ya? Nggak malu, Ma?" tukas sulungku.

“Pssst, Baaang!” Butet mendelik. “Sudahlah, sekarang yang penting kita bisa makan besar, siiippp!”

“Huuu…, dasar anak kecil!” sembur kakaknya, menjawil pipinya.      

Tanpa banyak bicara lagi, kutatap sepasang mutiaraku yang sedang menikmati bakeri. Makanan semewah begini merupakan barang langka di sini. Sekilas kulihat kamar depan, terkunci rapat dari dalam. Apa belum muncul sejak subuh?

Seperti bisa menebak arah pikiranku, Butet tiba-tiba berteriak nyaring           

"Papaaa mau makanan nggaaak?"        

“Pssst… Sama orang tua kok gitu!” tegurku.        

“Abiiis, nggak pedulian amat sih,” gumamnya lirih.

Sedetik kemudian kepala itu muncul dari celah pintu. Detik berikutnya langkahnya yang panjang mendekat. Begitu matanya melihat banyak penganan, sekilas kulihat mimik wajahnya segera ditekuk. Meskipun tangannya mulai menyentuh bakeri, sepasang matanya yang tajam mengarah kepadaku.

“Kau ambil juga uangku di bawah tumpukan baju itu, ya? Tahu nggak, itu buat bayar tukang.

Asalnya tiga juta, tadi kuhitung sudah kurang seratus ribu. Kau ini memang pencuri, bah!"

Semburan kata demi kata yang menikam tajam itu bagai mengguncang bom simpanan di hatiku. Kepala yang sempat ringan seketika mendadak berat kembali. 

Sebelum segalanya menjadi berantakan, kuraih cepat benteng cahaya itu. Melalui dua pasang segara nan teduh yang senantiasa menjanjikan kasih tak terbatas, kekuatan tak terhingga. Selamanya. Anak-anakku.

Anno, 2012

Saat ini sulungku telah menikah, alumni S2 Universitas Indonesia. Ia memilih karier sebagai pakar IT, bekerja di perusahaan asing. Kini memberiku 3 cucu, punya rumah sendiri.

Adiknya saat ini sedang menanti kelahiran anak pertama, meniti karier sebagai praktisi hukum, alumni S2 FHUI.

Kami sedang berkumpul 17-an, ketika sahabatku dari Pengadilan Agama mengabarkan berita baik. Bahwa Gugat Cerai yang kuajukan telah diterima dan akan diketuk Palu Hakim: dikabulkan!

"Akhirnya, setelah 32 tahun dibelenggu kisuh misuh pernikahan, Mama bisa bebas, Merdeka!" Komentar Butet disambut abangnya dengan hamdalah.

Abangnya kemudian nyeletuk,"Kenapa sampai selama itu Mama mau bertahan? Padahal sudah sering di-Kdrt dan diselingkuhi si Papa?"

Selama ini aku tak pernah menjawab satu pertanyaan ini. Namun, kali ini kuputuskan untuk berjujur ria.

"Kalian kan tahu, Mama tergantung transfusi dan pengobatan sebagai penyintas Thallasemia. Kalau bayar umum itu, mahaaaal, Nak. Sekarang ada Kartu Indonesia Sehat, bisa berobat gratis...."

"Ooooh, jadi Mama bertahan demi...." Keduanya serempak mau komentar.

Aku menukasnya,"Ya, demi Askes!" sahutku sambil ngeloyor meninggalkan mereka.

Ingin kulihat kemeriahan 17-an kali ini. Ternyata banyak lomba. Bukan hanya untuk anak-anak, melainkan juga untuk dewasa, emak-emak bahkan kakek dan nenek. Mana tahu aku boleh ikut lomba Teroris, Tukang Teror Menulis. Hihi.

Merdeka untukku dan Indonesia!

Repost, Jelang Hari Kemerdekaan RI ke 79.

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama