Demi Anak: Preeetlah!




Pipiet Senja

Demi anak apapun akan rela dilakukan seorang ibu. Begitu niatan awalnya.

Faktanya setelah dewasa anak malah menyesali sikap tsb. Ketika akhirnya si ibu memutuskan cerai, setelah bertahan selama puluhan tahun.

Anak seketika sama lantang berkata; “Naaaaah begitu dong, Mama. Kenapa gak dari dulu?”

“Saatnya Mama menikmati kebahagiaan sendiri,” ujar Butet, putriku nan sangat berbakti.

Ia selalu bisa kuandalkan jika kumat sakitku.

“Mama malas urus cerainya,” kataku jujur.

“Santai saja, Ma. Kan ada Butet.”

Saat itu ia sudah wisuda S1 dari FHUI. Sudah bekerja di hukumonline.

“Tahu gak Ma, Papa tampak bahagia waktu tandatangani surat keterangan persetujuan cerai itu,” lapornya kemudian.

“Oh, syukurlah kalau begitu,” gumamku lega.

Selama empat kali sidang dia memang tak pernah hadir.

Sesungguhnya prosesnya lancar saja. Sempat Sang Hakim membujuk, agar aku mempertimbangkan untuk cabut gugatan.

“Pensiunan PNS kan itu si Bapak, ya Bu?”

“Iya, dia pensiunan dari DepKes”

“Sayang sekali kan, Bu. Kalau dia tiada pun Ibu akan dapat pensiunannya….”

Detik itu rasanya kepingin muntah saja. Kutahankan perasaan sedemikian rupa, untuk menjelaskan situasiku.

“Bu Hakim, sejak awal nikah saya mandiri, cari nafkah sendiri. Tak pernah mengandalkan gajinya. Bahkan saya tak tahu berapa gajinya….”

“Pekerjaan Ibu apa?”

Demi Anak: Preeeetlah!

Pipiet Senj

Demi anak apapun akan rela dilakukan seorang ibu. Begitu niatan awalnya.

Faktanya setelah dewasa anak malah menyesali sikap tsb. Ketika akhirnya si ibu memutuskan cerai, setelah bertahan selama puluhan tahun.

Anak seketika sama lantang berkata; “Naaaaah begitu dong, Mama. Kenapa gak dari dulu?”

“Saatnya Mama menikmati kebahagiaan sendiri,” ujar Butet, putriku nan sangat berbakti.

Ia selalu bisa kuandalkan jika kumat sakitku.

“Mama malas urus cerainya,” kataku jujur.

“Santai saja, Ma. Kan ada Butet.”

Saat itu ia sudah wisuda S1 dari FHUI. Sudah bekerja di hukumonline.

“Tahu gak Ma, Papa tampak bahagia waktu tandatangani surat keterangan persetujuan cerai itu,” lapornya kemudian.

“Oh, syukurlah kalau begitu,” gumamku lega.

Selama empat kali sidang dia memang tak pernah hadir.

Sesungguhnya prosesnya lancar saja. Sempat Sang Hakim membujuk, agar aku mempertimbangkan untuk cabut gugatan.

“Pensiunan PNS kan itu si Bapak, ya Bu?”

“Iya, dia pensiunan dari DepKes”

“Sayang sekali kan, Bu. Kalau dia tiada pun Ibu akan dapat pensiunannya….”

Detik itu rasanya kepingin muntah saja. Kutahankan perasaan sedemikian rupa, untuk menjelaskan situasiku.

“Bu Hakim, sejak awal nikah saya mandiri, cari nafkah sendiri. Tak pernah mengandalkan gajinya. Bahkan saya tak tahu berapa gajinya….”

“Pekerjaan Ibu apa?”

Nah, akhirnya baru kubuka profesiku sebagai;”Saya seorang penulis Indonesia. Nama pena saya Pipiet Senja….”

“Oooòh! Anda Pipiet Senja!”

Agaknya cukup berpengaruh tuh nama pena. Mata kagum mulai berpercikan dari wajah mereka. Terutama sosok perempuannya.

Eng ingin eeeeeng!

Akhirnya tok, tooook, toòok; jebreeeed saja!

Palu Hakim diketok, putusan cerai disahkan. Harus bayar Iwadl 20 ribuan. Ketika beres kubayar administrasinya, barulah adikku Rosi mengingatkanku.

“Seingatku emas kawinnya diutang. Memang sudah dibayar, Teteh?”

Aku pun terperangah hebat.

“Belum tuh….”

Entah mengapa mendadak kami tertawa geli. Menertawakan kealpaan atau kedunguan, eaàaa?

Sejak pisah itulah si aku ini, berkelana dengan buku ke berbagai negara. Alhamdulillah.

Ternyata perceraian bagiku taklah membuatku terpuruk. Sebaliknya malah menjadi sosok yang bebas merdeka. Tak ada lagi tekanan lahir dan batin.

Sesungguhnya ini gugatan cerai ketiga kalinya selama bertahan 32 tahun. Satu hal yang patut kucatat adalah; KDRT dan selingkuh itu tidak sehat!

Jangan pernah mengatakan alasan: demi anak. Sebab bukan itu alasan utamanya adalah; ketakpercayaan diri.

Nah, akhirnya baru kubuka profesiku sebagai;”Saya seorang penulis Indonesia. Nama pena saya Pipiet Senja….”

“Oooòh! Anda Pipiet Senja!”

Agaknya cukup berpengaruh tuh nama pena. Mata kagum mulai berpercikan dari wajah mereka. Terutama sosok perempuannya.

Eng ingin eeeeeng!

Akhirnya tok, tooook, toòok; jebreeeed saja!

Palu Hakim diketok, putusan cerai disahkan. Harus bayar Iwadl 20 ribuan. Ketika beres kubayar administrasinya, barulah adikku Rosi mengingatkanku.

“Seingatku emas kawinnya diutang. Memang sudah dibayar, Teteh?”

Aku pun terperangah hebat.

“Belum tuh….”

Entah mengapa mendadak kami tertawa geli. Menertawakan kealpaan atau kedunguan, eaàaa?

Sejak pisah itulah si aku ini, berkelana dengan buku ke berbagai negara. Alhamdulillah.

Ternyata perceraian bagiku taklah membuatku terpuruk. Sebaliknya malah menjadi sosok yang bebas merdeka. Tak ada lagi tekanan lahir dan batin.

Sesungguhnya ini gugatan cerai ketiga kalinya selama bertahan 32 tahun. Satu hal yang patut kucatat adalah; KDRT dan selingkuh itu tidak sehat!

Jangan pernah mengatakan alasan: demi anak. Sebab bukan itu alasan utamanya adalah; ketakpercayaan diri.

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama