LK Ara: Inspirasi Hidup Seorang Penyair Bermata Sendu




Dwi Sutarjantono

Tanggal 26 Juli 2024, angin Jakarta membawa aroma hadirnya momen yang, oleh Ketua Umum Satupena Indonesia, Denny JA, disebut sebagai lahirnya peradaban baru dari buku yang diluncurkan Satupena DKI Jakarta, "Ketika Kata dan Nada Berjumpa". 

Buku inovatif yang menggabungkan puisi, musikalisasi AI, dan video. Di tengah keramaian, mata saya terpaku pada sosok LK Ara, penyair asal Aceh. Mengenakan kemeja batik yang berkilau lembut di bawah sinar lampu dan peci yang menambah kesan klasik, beliau yang tahun ini berusia 87 tahun berdiri dan berjalan ke mana-mana dengan langkah mantap.

Ada sesuatu yang menenangkan dari cara beliau mengangguk dan tersenyum kepada para penggemar yang berkerumun, meminta foto bersama, bahkan saat beliau mengajak berfoto. Ada kerendahan hati dan keramahan tulus yang terpancar dari dirinya. Seolah-olah setiap gerakannya adalah bagian dari syair dan tarian kehidupan yang telah beliau pahami dengan sempurna.

Saya tertegun melihat beliau. Berapa banyak orang yang kita kenal di usia 80 tahun ke atas yang masih bugar dan penuh semangat? Pertemuan ini, sekilas dan sederhana, namun memberikan saya perspektif baru tentang makna syukur dalam hidup.

Syukur, seperti yang kini saya pahami, memiliki kekuatan yang hampir mistis. Ia adalah tali yang mengikat kita dengan realitas, namun dengan kelembutan spiritual yang menenangkan.

Penelitian demi penelitian menunjukkan bahwa mereka yang rutin mengungkapkan rasa syukur hidup dengan lebih bahagia, lebih sehat, dan memiliki hubungan sosial yang lebih baik. Ini bukan sekadar perasaan positif yang singkat, melainkan fondasi yang kokoh untuk menjalani hidup yang lebih mendalam.

Bayangkan hidup kita sebagai kebun. Setiap kali kita mengucap syukur, kita menanam benih kebahagiaan dan kedamaian dalam diri kita. Rasa syukur adalah air yang menyirami tanaman-tanaman itu, membantunya tumbuh menjadi bunga-bunga yang indah. 

Setiap ungkapan syukur, sekecil apapun, adalah tetes air yang membantu kebun itu subur. Ketika kita memilih untuk melihat sisi baik dari setiap situasi, kita seperti memberikan nutrisi kepada benih-benih harapan yang ada dalam hati kita.

Rasa syukur juga menyerupai lilin kecil yang menyala di tengah kegelapan. Cahaya lilin itu mungkin kecil, namun mampu menerangi langkah kita, mengubah cara kita memandang situasi sulit.

Bayangkan jika dalam kegelapan hidup yang penuh tantangan, rasa syukur adalah cahaya yang memberi arah. Maka setiap kali kita menemukan alasan untuk bersyukur, kita menyalakan lilin yang menebarkan kehangatan dan menerangi jalan kita. Lilin kecil itu, walau bergoyang ditiup angin, memberikan kejelasan dan kedamaian yang sangat berarti.

Saya teringat dengan seorang penyintas kanker yang pernah saya temui. Hidupnya penuh tantangan, namun dia selalu menemukan alasan untuk bersyukur. Setiap pagi, tanpa terkecuali, dia menuliskan tiga hal yang dia syukuri.

Kebiasaan sederhana ini, seperti mantra yang diucapkan berulang, mengubah hidupnya, membawanya pada kebahagiaan yang tak terduga. Dalam setiap situasi, selalu ada sesuatu yang patut disyukuri. Dari hal kecil seperti secangkir kopi hangat di pagi hari hingga momen kebersamaan dengan keluarga, semua itu menjadi sumber kekuatan dan kebahagiaan baginya.

LK Ara, penyair yang tetap produktif hingga usia senjanya, menjadi cermin bagi kita yang lebih muda. Beliau adalah sosok yang tak pernah membiarkan usia menjadi penghalang untuk terus berkarya dan berbagi. 

Saat merayakan ulang tahunnya yang ke-86 tahun lalu, beliau meluncurkan karya baru, seakan-akan mengingatkan kita bahwa setiap detik dalam hidup ini berharga. Kita sering kali mengeluh, merasa capek, manja, merasa lebih, kurang sabar dan kurang bersyukur. Tidak malukah kita melihat sosok beliau? Kita sering kali membiarkan keluhan mengalahkan semangat berkarya.

LK Ara mengingatkan kita bahwa usia bukanlah penghalang untuk terus berkarya dan berbagi kebaikan, meskipun “hanya” melalui kata-kata. Beliau menyadarkan kita bahwa setiap detik dalam hidup ini berharga dan seharusnya diisi dengan hal-hal yang membangun, bukan keluhan dan penyesalan yang tak berguna. Bukan begitu? *(Dwi Sutarjantono, penulis/mind programmer)*

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama