Menyisir Luka Hati: Membaca Luka Korban





Amelia Fitriani, CEO XYZ+ Agency, Anggota Satupena, Anggota Creator Club.

Dari segi pendidikan, Dino juga merupakan lulusan Al Azhar Mesir dan sudah memiliki pekerjaan sebagai dosen di Sentul. Sedangkan dari segi adab, di buku itu, Jeeta menggambarkan Dino bersikap santun, lembut dan memiliki tutur bahasa yang baik.

Barangkali saat bertemu Dino untuk taaruf dengan putrinya, Risty, Jeeta membayangkan sosok Azzam dari film dan novel “Ketika Cinta Bertasbih”.

Namun di balik “ilusi” menantu idaman itu, Dino rupanya merupakan sosok menantu biadab. Betapa tidak, usai menikah, alih-alih menemukan kebahagiaan, Risty justru seakan terperangkap dalam “penjara” rumah tangga.

Tidak terhitung berapa pukulan, cubitan, tendangan dan pelecehan yang ia terima dari Dino. Dengan dalih bercanda, Dino melakukan beragam bentuk kekerasan itu dengan bahagia dan tidak jarang tertawa terbahak-bahak.

Bahkan hal terpahit yang harus dihadapi oleh Risty adalah saat Dino mengajak putrinya yang masih balita untuk ikut menyiksa ibunya, seakan-akan itu adalah sebuah kegiatan yang menyenangkan.

Saya bahkan kehabisan kata-kata saat mendengar kisah itu.

Siklus Kekerasan

Pada kegiatan peluncuran buku “Menyisir Luka Hati” di PDS HB Jassin, ikut hadir sebagai pembicara adalah Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi.

Dia memaparkan data yang menunjukkan bahwa kasus Kekerasan Terhadap Istri (KTI) selalu menempati urutan pertama dari keseluruhan kasus KDRT. Angkanya selalu berada di atas 70 persen.

Pola yang dihadapi kerap serupa. Perempuan yang terjebak pada siklus kekerasan umumnya akan sangat sulit membuat keputusan. Karena ia kerap memiliki banyak pertimbangan; apakah ia akan didengarkan, bagaimana dengan anak-anaknya, bagaimana dengan nama baik keluarganya dan semacamnya.

Oleh karena itu, jika ada perempuan korban KDRT pada akhirnya memutuskan untuk melaporkan atau buka suara, perlu mendapat dukungan. Karena untuk sampai pada keberanian itu, ia pasti sudah melalui pergolakan batin yang luar biasa hebat.

Saya kemudian berkaca pada diri saya sendiri. Saya tidak pernah mengalami KDRT, namun saya pernah mengalami pelecehan seksual saat duduk di bangku SMP. Seorang pria meraba alat vital saya saat berada di dalam angkot. 

Beruntung saya berhasil melarikan diri dengan segera, meski dengan kaki dan tangan yang gemetar hebat. Saya bahkan begitu trauma dan malu, hingga enggan menceritakan kejadian itu pada siapapun.

Tidak terbayangkan oleh saya bagaimana pergolakan batin yang dialami oleh Risty hingga akhirnya berani untuk buka suara dan bahkan menuliskannya ke dalam buku. Berapa kali ia harus mengendalikan diri saat kaki dan tangannya bergetar mengingat kekerasan yang ia alami.

Buku “Menyisir Luka Hati” seakan membawa saya untuk membaca luka korban KDRT. Tentu bukan untuk menghakimi, melainkan untuk memberikan kekuatan pada sesama perempuan untuk berani mengambil keputusan ketika menghadapi situasi serupa. 

Buku ini membawa kesadaran bahwa perempuan, sebagaimana laki-laki, merupakan makhluk yang berharga dan tidak layak mendapat kekerasan.

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama