NH.Dini Pahlawan Literasiku dari Semarang









Pipiet Senja  

Berita duka datang dari sastrawan legendaris Indonesia, Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin. Penulis yang akrab disapa N.H. Dini ini mengembuskan nafas terakhirnya pada Selasa sore 4/12/2018 di usia 82 tahun.

Ibunda sutradara film Minions, Pierre Coffin ini meninggal akibat kecelakaan yang menimpanya di ruas Jalan Tol Tembalang Kilometer 10, Semarang, Jawa Tengah.

Sebelum menutup usia, N.H. Dini dikenal sebagai salah satu penulis yang masih eksis berkarya hingga di usia senja. Saking produktifnya, penulis Angkatan 66 ini telah melahirkan tak kurang dari 40 judul buku.

Ia bahkan baru saja merilis karya terbarunya berjudul Gunung Ungaran: Lerep di Lerengnya, Banyumanik di Kakinya, di awal tahun 2018 ini. 

Siapa sangka novel yang diluncurkan bersamaan momen ulang tahunnya ke-82 itu menjadi karya terakhirnya.

Demikian berita duka yang saya baca di media sosial.

Saya mulai mengenal N.H. Dini dengan karyanya: Hati yang Damai. Saat itu saya masih duduk di bangku SMP. Langsung terpikat dengan gaya bahasanya yang khas milik Sang Legendaris.

Beranjak remaja setiap karya N.H. Dini muncul di toko buku, saya berusaha curi baca diam-diam. Ya, karena tak selamanya saya punya uang untuk membelinya. SPJ toko buku Nasution di alun-alun Cimahi, akhirnya tahu kebiasaan saya agaknya.

Mereka akan buru-buru mengamankan semua buku terbaru, termasuk buku karya N.H Dini dari jangkauan saya. Hehe.

Pertemuan Dua Hari, Namaku Hiroko, Pada Sebuah Kapal, Orang-Orang Trans, La Barka, Karmila dan karya N.H Dini lainnya mewarnai hari-hari remaja saya di RS. Dustira, Cimahi.

Pertama kali jumpa sastrawati idola ini di kantor redaksi Femina. Ketika itu saya menyerahkan naskah untuk Sayembara Novel Femina, entah tahun berapa sudah lupa. Saya masih anak bawang, belum ada karya yang bisa dipamerkan.

Saya hanya memandangi sosoknya dari kejauhan. Serius, tak berani menghampirinya, apalagi sekadar menyalaminya.

Lama saya menyesali ketakberanian ini.

Bertahun-tahun kemudian, ketika akhirnya karya saya pun mburudul tak tertahankan, eeeh!

Akhirnya jumpa kembali dengan sastrawati idola saya ini di PDS HB. Jassin. N.H Dini merayakan ulang tahun ke 80 bersama WANITA PENULIS INDONESIA (WPI).

Kali ini saya bisa berhadapan langsung, menyalaminya bahkan berbincang meski sekejap saja dan berfoto bersama. 

Ketua WPI saat itu, Ftee Hearty  memperkenalkan saya kepadanya.

"Ini Pipiet Senja, penulis paling produktif yang kami miliki. Meskipun dia sering bolak-balik ke rumah sakit untuk transfusi sebagai penyintas Thallasemia...." Kurang lebih begitulah senior saya menyampaikan tentang saya.

Bisa kalian bayangkan, betapa sukacita saya akhirnya bisa dekat dengan Sang Idola. Sejak itulah acapkali kami tegur sapa melalui SMS atau telepon.

Kemudian ada kesempatan pula menengoknya di Wredhatama Ungaran. Ketika itu saya mentoring santri Mahad Askar Kauny Ungaran. Menginap beberapa hari, ada pengasuh Mahad yang berkenan menemani saya ke tempat N.H Dini tinggal.

"Sudah disampaikan kepada beliau, Anda mau berkunjung. Beliau berkenan menerima Anda sore ini. Silakan," kata petugas Wredhatama.

Tampak Sang Idola menyambut kami berdua dengan senang hati. 

"Terima kasih mau menengok Mbak, Pipiet Senja," ujarnya seraya menyilakan kami masuk.

Kami memilih berbincang di teras. Sambil merasakan suasana sebuah panti Lansia.

Ia menyampaikan senang, damai dan tenteram tinggal di sini. Ia mengambil dua pavilyun yang disewakan oleh anaknya.

"Ayo, Pipiet tinggal di sini saja bareng Mbak. Kita bisa berkarya dengan tenang di tempat seperti ini," ajaknya.

"Saya harus transfusi rutin di rumah sakit besar, Mbak," kilah saya.

"Bolehkah kami numpang sholat Maghrib, ya Mbak Dini?" kataku ketika sudah waktu Maghrib.

"Silakan, silakan.... Kiblatnya ke arah sana. Oya, Mbak ndak sholat."

"Iya, Mbak saya paham," tukasku sopan. Saya tahu ia penganut Kejawen.

Usai Maghrib kami pun pamitan, waktu berkunjung sudah habis. Saat itulah ia mengundang saya untuk hadir pada agenda Bedah Buku terbarunya.

"Jangan lupa, ya Pipiet, harus hadir bersama teman-teman WPI. Bedah buku terbaru Mbak bertepatan dengan ulang tahun Mbak...."

"Ultah Mbak Dini 4 tahun sekali, ya, 29 Februari," canda saya.

"Iya, biasanya Mbak tarik jadi 28 Februari " tukasnya tertawa ayu.

Saya tinggalkan pavilyun itu dengan hati mengharu biru. Takkan saya lupakan lambaian tangannya. Tak pernah mengira itulah lambaian tangan pamungkas dari sosok Sang Idola.

Selamat jalan, Pahlawan Literasiku. Saya banyak belajar dari buku-bukumu. Semoga engkau telah damai di alam keabadian.

Depok, dinihari yang suwung, 2 Juli 2024

“Kesedihan tidak untuk dipampangkan kepada semua orang. Itu adalah sesuatu yang seharusnya diimpit-diindit, diselinapkan di balik lapisan penutup. Karena kesedihan adalah hal yang sangat pribadi, seperti rahasia, harus disembunyikan dari pandang orang lain.”

– N.H Dini

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama