Oleh: Yoke Octarina
Ada sebuah ungkapan lama yang sering kali kita dengar dalam percakapan sehari-hari: "waktu akan berbicara".
Ungkapan ini, meskipun terdengar sederhana, menyimpan makna yang mendalam tentang perjalanan nasib manusia di atas panggung dunia. Waktu, dengan segala ketidakpastiannya, adalah hakim yang paling adil. Namun, adil bukan berarti tanpa ironi.
Anies Baswedan, seorang intelektual dengan karisma yang tak terbantahkan, tiba-tiba mendapati dirinya berada di luar lingkaran kekuasaan dalam pertarungan Pilkada DKI 2024. Sebuah ironi yang menghantam keras, seperti suara gong yang menggelegar di tengah keheningan. Di satu sisi, ia adalah seorang yang pernah dipuji sebagai arsitek perubahan. Di sisi lain, ia kini hanya menjadi penonton dalam lakon yang pernah ia mainkan.
Namun, bukankah hidup selalu menyuguhkan paradoks? Marcus Aurelius, seorang Kaisar Romawi yang juga seorang filsuf Stoik, pernah menulis dalam _Meditations_, “ __Waktu adalah sungai dari peristiwa-peristiwa yang mengalir, dan kehidupan hanyalah apa yang kita lakukan dengan aliran itu_._ ” Anies, dalam aliran sungai waktu ini, mungkin telah membuat banyak keputusan. Beberapa mengalir tenang, sementara yang lain menciptakan riak yang mengguncang perahu.
Dalam kisah ini, saya teringat pada analogi dari karya _Moby Dick_ karya Herman Melville. Kapten Ahab yang terobsesi dengan penangkapan ikan paus putih, akhirnya tenggelam bersama obsesinya. Anies, dalam konteks politiknya, adalah Ahab modern yang terperangkap dalam pusaran kekuatan besar di sekelilingnya. Bukan karena kurangnya kemampuan, tetapi mungkin karena takdir yang tidak bisa dia kendalikan. Tersingkirnya Anies mungkin bukan karena ia tidak layak, tetapi karena ada kekuatan yang lebih besar yang sedang menulis cerita yang berbeda untuknya.
Apakah ini adalah akhir dari perjalanan Anies? Tentu saja, tidak ada yang tahu pasti. Namun, sejarah sering kali memberi kita petunjuk. Abraham Lincoln, yang pernah gagal dalam beberapa kali pemilihan sebelum akhirnya menjadi Presiden Amerika Serikat yang paling dikenang, pernah berkata, “*My great concern is not whether you have failed, but whether you are content with your failure*.” Anies, dalam momen ini, mungkin perlu merenungkan kalimat ini. Bukan tentang bagaimana ia tersingkir, tetapi bagaimana ia akan bangkit kembali.
Metafora lainnya, jika kita ingin melihat Anies sebagai sebuah catur, mungkin ini adalah saat ia berada dalam posisi terpojok. Namun, catur adalah permainan di mana strategi dan ketenangan dapat mengubah kekalahan menjadi kemenangan. Apakah Anies memiliki strategi itu? Atau akankah ia tersingkir seperti pion di tangan pemain yang lebih kuat?
Dalam dunia politik, seperti halnya dalam kehidupan, setiap aktor adalah bagian dari permainan besar yang tidak sepenuhnya bisa mereka kendalikan. Anies mungkin telah memainkan perannya dengan sebaik mungkin, namun papan catur politik Indonesia memiliki aturan dan pemain lain yang mungkin lebih berpengaruh.
Pada akhirnya, tulisan ini bukanlah sebuah epilog. Ini lebih merupakan jeda dalam cerita panjang Anies Baswedan. Seperti yang ditulis oleh Leo Tolstoy dalam War and Peace, “ __The strongest of all warriors are these two — Time and Patience_.”_ Waktu dan kesabaran akan menentukan bab selanjutnya dari perjalanan Anies.
Mungkin, dalam kesunyian setelah kekalahan ini, Anies akan menemukan makna baru dalam perjalanan hidupnya. Seperti daun yang jatuh di musim gugur, ia mungkin tersingkir dari dahan kekuasaan, namun ia akan terbang bebas, mengikuti angin takdir ke tempat yang baru. Di sana, ia mungkin akan menemukan kembali kekuatan yang selama ini tersembunyi dalam dirinya.
Dan ketika musim semi tiba, siapa yang tahu? Mungkin daun itu akan tumbuh kembali, lebih hijau dan lebih kuat dari sebelumnya.
Posting Komentar