Jonan: Kepemimpinan pada Gerbong-Gerbong Kereta Api

 





Oleh Dikdik Sadikin*)

Dahulu, kita mengenal kereta api dengan citra yang tak elok: kotor, penuh sesak, dan tidak disiplin. Kini, perasaan yang sama mungkin sukar ditemukan. Stasiun dan gerbong kereta menjadi simbol ketertiban baru yang merasuk ke dalam nadi transportasi publik Indonesia. 

Ignasius Jonan lah yang memungkinkan sebuah kemustahilan menjadi keajaiban itu terjadi. Ia datang seperti angin kencang yang mengubah lanskap, meruntuhkan bangunan-bangunan tua yang reyot, dan menanam benih-benih baru yang kelak akan tumbuh menjadi kuat. Ia tidak datang dengan janji-janji muluk. Tetapi dengan langkah kaki yang terukur, membangun perlahan dari bawah ke atas. 

Pada 2009, ketika ia mulai menjabat sebagai Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia, perusahaan itu seperti raksasa yang tertidur—membesar oleh beban masa lalu, tapi tak berdaya bergerak maju. Rel-rel tua berkarat, gerbong-gerbong usang yang bergoyang, serta jadwal kereta yang kerap kali tak menentu.

Tetapi Jonan, dengan gayanya yang keras dan tanpa basa-basi, mulai mengubah semuanya. Dari dalam, ia menggoyang tubuh besar PT KAI agar bergerak lebih cepat dan lebih tepat. Seperti pemimpin yang memahami bahwa perubahan besar dimulai dari disiplin kecil, ia menekankan ketepatan waktu, baik bagi para pekerja maupun bagi kereta-kereta yang mereka operasikan. Perlahan, kata-kata seperti "delay" dan "tunggu" mulai hilang dari bibir para penumpang. Apa yang sebelumnya dianggap mustahil—ketepatan waktu dalam transportasi umum di Indonesia—menjadi nyata di bawah kepemimpinannya.

Gerbong-gerbong kereta yang sebelumnya lusuh dan berbau debu tiba-tiba berubah. Bangku-bangku yang lama tak tersentuh kini diganti dengan yang lebih nyaman. Udara panas yang mengeluh keluar dari jendela-jendela kereta mulai mereda ketika AC dipasang di setiap gerbong. Toilet-toilet yang kotor, bahkan dari gerbong mengotori sepanjang rel perjalanan, diganti dengan toilet yang resik.  KAI menjadi perusahaan yang memberi perhatian pada kenyamanan dan keamanan penumpangnya. Sesuatu yang dulu seolah terlupakan di balik kabut administrasi yang berdebu.

Jonan juga mengubah stasiun-stasiun yang telah lama kehilangan denyut kehidupan menjadi ruang publik yang modern dan bersih. Stasiun Gambir, yang dulu seperti kota mati di malam hari, kini menjadi ruang transit yang hidup, dengan toko-toko dan tempat duduk yang tertata rapi. 

Jonan tak berhenti hanya pada hal-hal fisik. Di dalam tubuh PT KAI, ia memutar roda manajemen agar berfungsi dengan lebih efisien. Keuangan perusahaan yang sebelumnya seperti labirin gelap mulai diterangi oleh transparansi. Sistem ticketing elektronik yang dulu hanya angan-angan, kini menjadi kenyataan. Tidak ada lagi antrian panjang mengular di loket-loket stasiun; semuanya bisa dilakukan melalui layar ponsel yang kecil.

Perubahan yang dilakukan Jonan dengan modernisasi infrastruktur, profesionalisme manajemen, perbaikan tata kelola, peningkatan  pelayanan dan ketepatan waktu operasional ini tak hanya mengubah wajah stasiun. Tetapi juga memulihkan rasa hormat yang hilang terhadap sistem transportasi kereta api di negeri ini.

Kemustahilan dan keajaiban itu muncul dari filosofi kepemimpinan yang dihidupkan Jonan.

Ia menghabiskan lima tahun di PT KAI, lebih sering tidur di stasiun atau di mess karyawan daripada di rumahnya sendiri. _"Leader has to be seen,_" katanya dalam sebuah wawancara. Ia tahu, kepemimpinan bukanlah soal memerintah dari balik meja, melainkan tentang hadir di lapangan, menyelami kondisi riil, dan menunjukkan contoh nyata. "I walk the talk," ujar Jonan, seolah mengingatkan kita pada ucapan Gandhi, _"Be the change you wish to see in the world."_

Keberhasilan transformasi PT KAI bukan semata-mata karena kebijakan teknis atau manajerial. Lebih dari itu, Jonan menyuntikkan disiplin, kerja keras, dan integritas dalam tubuh perusahaan yang hampir mati. Ia menghapus bangunan-bangunan liar di stasiun-stasiun, membersihkan terminal dari warung-warung yang tidak memiliki izin. Keputusan yang tentu tak populis. 

Seorang mahasiswa Universitas Indonesia bahkan pernah mengirim protes, mengklaim bahwa penertiban tersebut menghancurkan masa depan keluarganya. Namun, Jonan bergeming. Ia justru membiayai pendidikan mahasiswa itu hingga selesai, menggunakan uang pribadinya. Jonan bukan hanya menegakkan aturan, tetapi juga menanamkan nilai keadilan dengan tindakan konkret.

Jonan tahu, perubahan besar tidak dapat dicapai hanya dengan kerja keras semata. Ada aspek lain yang sering diabaikan pemimpin: kepercayaan. "Pemimpin harus membuat orang yang dipimpinnya percaya," kata Jonan.

Dengan kata lain, kepemimpinan bukan hanya tentang membuat orang paham akan tujuan organisasi, tetapi juga tentang membuat mereka yakin bahwa perubahan itu demi kebaikan bersama. Kepercayaan inilah yang dibangun Jonan dari waktu ke waktu. Ia mengajak puluhan ribu pegawai KAI untuk bersama-sama memikul tanggung jawab, bukan hanya demi perusahaan, tetapi juga demi bangsa.

Namun, di balik segala capaian Jonan, ada satu hal yang mungkin tak banyak orang tahu: ia adalah seorang akuntan.

Seperti akuntan lainnya, ia terbiasa dengan angka dan keseimbangan. Bagi Jonan, fakta dan realitas adalah landasan dari setiap keputusan. "Fakta adalah satu-satunya pengetahuan yang kita miliki," kata Jonan, mengingatkan kita pada apa yang dikatakan John Adams, _“Facts are stubborn things; and whatever may be our wishes, our inclinations, or the dictates of our passions, they cannot alter the state of facts and evidence._”

Dari sinilah Jonan memimpin, dari keseimbangan antara realitas dan harapan, antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum. Ia memahami bahwa kepemimpinan adalah tentang menciptakan harmoni dalam disonansi, tentang menjaga keseimbangan di tengah perubahan. Keseimbangan inilah yang menjadi kunci keberhasilannya. Transformasi PT KAI adalah bukti bahwa dengan kerja keras, disiplin, dan integritas, perubahan yang tampak mustahil bisa menjadi kenyataan.

"Kita makan sehari tiga kali. Punya mobil lima juga tidak bisa dipakai sekaligus. Punya pakaian sepuluh juga tidak bisa dipakai bersamaan," katanya. Dalam ucapannya, kita menangkap ketulusan seorang pemimpin yang meletakkan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi. Sebuah prinsip yang sejalan dengan ajaran Stoisisme: bahwa kebahagiaan sejati datang dari pengendalian diri dan pengabdian pada yang lebih besar.

Kepemimpinan Jonan di PT KAI adalah contoh nyata bahwa dengan visi yang jelas, kehadiran di lapangan, dan komitmen pada prinsip, seorang pemimpin bisa mengubah arah sejarah. Ia bukan hanya memimpin dengan otoritas, tetapi dengan moralitas. Transformasi yang ia lakukan bukanlah sekadar pembenahan fisik, melainkan pembentukan ulang budaya kerja dan mentalitas, sebuah warisan yang tak ternilai harganya.

Dan dengan itu, Jonan memberi kita sebuah pelajaran. Bahwa perubahan tidak selalu datang dari revolusi besar atau retorika yang bergemuruh. Terkadang, ia lahir dari keputusan-keputusan kecil yang disiplin, dari keberanian untuk bertanya: "Bagaimana jika ini bisa lebih baik?"

Dan Jonan, dengan segala kekerasannya, ternyata menyalakan api perubahan itu. Ia menumbuhkan keyakinan baru bahwa yang tua bisa diperbaiki, yang rusak bisa diperbarui, dan yang telah hilang bisa ditemukan kembali.

Seperti rel-rel yang terentang jauh, perubahan yang Jonan bawa akan terus melaju ke depan. Sesekali, kereta mungkin akan berhenti di sebuah stasiun, tetapi tidak akan lama sebelum ia bergerak kembali—dengan kepastian, dengan kecepatan, dan dengan janji yang ditepati.

Ketika kita menatap kereta api yang melaju cepat di rel yang tertata rapi, kita mungkin bisa merasakan semangat Jonan yang masih hidup dalam setiap gerbongnya. Sebuah pengingat bahwa di balik setiap keberhasilan besar, ada sosok yang tak henti bekerja keras, berpikir cerdas, dan berdedikasi penuh untuk perubahan.

_Jakarta, 28 Agustus 2024_

_*) Direktur Pengawasan Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan BPKP_

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama