Pada Suatu Perjalanan





Pipiet Senja 

Akhir tahun 1978.

Kami mendapat telepon dari adikku En. Dia menyatakan tak sanggup lagi melanjutkan kuliahnya. Agaknya dia sudah tak tahan lagi dengan kehidupan serba pas-pasan, kiriman selalu telat, kesendirian di kota pelajar, sakit maagnya yang kronis dan bla, bla, bla!



Sementara itu aku mendapati Mak terlilit utang kepada rentenir. Mak sampai dirawat di rumah sakit saking stresnya. Bagaimana tidak stres, lah wong si Batak itu sampai menggebrak-gebrak meja, bawa-bawa debtcolector bergajulan!

“Pokoknya kalau tak dibayar, awaaas! Kami akan angkut barang-barang yang ada di rumah ini!” ancam Tante Gurning dengan rahangnya yang kuat, matanya yang keras dan keji itu.

Cuma aku yang berani menghadapinya. Adik-adik ngumpet di balik pintu. Hatiku amat miris rasanya. Sementara Bapak di Jakarta sedang sibuk ikut aksi OPSTIB. Suatu operasi nemberantas perjudian, pelacuran, bank gelap, termasuk lintah darat. Keluarganya sendiri habis-habisan dicengkeram para rentenir Cimahi. Sungguh ironis!

“Emih, Teteh mau ke Jakarta. Tolong awasi adik-adik di sini, ya?” pintaku kepada Emih yang sudah semakin renta dan mulai sering sakit.

“Pergilah, tapi jaga kesehatanmu dan jangan lama-lama, ya,” pintanya lemah.

Di rumah kontrakan di Utan Kayu, aku menemukan En bersama Bapak. Kami bertiga serius membicarakan kemelut yang membelit keluarga. 

“Duh Gusti Allah… Kenapa selalu berkisar di antara penyakit, utang dan penderitaan?” erangku dalam hati.

“Aku mau melamar kerja. Mau bantu ekonomi keluarga kita!” cetus adikku En, terdengar gagah sekali.

“Aku juga insya Allah. Mau berusaha cari uang dengan menjajakan naskah-naskah ini ke redaksi,” ujarku pula lebih dari sebagai ungkapan penghiburan kepada Bapak.

Jujur saja, rasa takut dan was-was kalau Bapak marah kepada Mak menyergap hatiku. Bapak sempat menyatakan kekecewaannya akan sikap Mak yang telah bertindak tanpa sepengetahuannya. Kami, aku dan adikku En berhasil meredam kemarahannya dengan rasa optimis, kesanggupan untuk ikut membantu.

“Sudahlah, sekarang lebih baik kita shalat berjamaah,” ajak Bapak.

Tiba-tiba hujan turun deras sekali. Rumah berlantai tanah, berdinding gedek itu pun dalam sekejap kebocoran, keanginan. Dalam hitungan menit air mulai merembes dari celah-celah pintu. 

Namun, kami tetap bersimpuh di belakang Bapak. Kami sama bershalawat dan berzikir, memusatkan segenap rasa dan pikiran kepada Sang Maha Pemurah.

“Ya Allah, ampunilah segala dosa kami…”

“Ya Allah, bukakanlah rezeki yang halal kepada kami….”

“Ya Allah, angkatlah segala derita nestapa ini dari keluarga kami…”

Aku dan Enny tidur di bangku kayu yang keras dan membeku.

Sementara Bapak tidur di atas pelbed inventarisnya. Subuhnya, kami kembali shalat berjamaah. Berdoa bersama.

“Ini ongkos kalian nanti. Bapak harus pergi sekarang,” ujar Bapak sebelum berangkat pada pukul setengah enam.

Tentu saja harus begitu, untuk mengejar mobil jemputan biar gratisan.

Aku dan En mencium tangan Bapak takzim, memohon doa dan restunya. Aku sempat melihat wajah tegar itu melembut. Seperti berusaha keras menahan kepiluan hatinya. Ada harapan besar yang diserahkannya kepada kami. 

Sepasang matanya seakan-akan berkata, “Kalian, Srikandi-Srikandi keluarga ….” 

Duuuh, Gusti!

“Kasihan sekali Bapak, ya?” cetus En seraya memupus sudut-sudut matanya.

Aku terdiam. Berusaha keras menyembunyikan air mata yang hampir jebol. 

Dunia untuk sesaat serasa bagai akan tumplek blek ke atas kepala. Ke mana harus mencari uang sebanyak-banyaknya, minimal buat membayar utang kepada rentenir?

“Ayo, kita berangkat sekarang!” ajak adikku En.

“Ke mana tujuannmu, En?” tanyaku ingin tahu.

“Ke rumah seorang teman lama. Dia anak orang kaya. Keluarganya punya perusahaan besar di Jakarta. Aku mau minta tolong, biar dia mencarikan kerja untukku,” katanya dalam nada optimis.

“Syukurlah. Teteh doakan, biar kamu sukses.”

Kami berjalan menyusuri gang becek di kawasan kumuh kontrakan Bapak. Aku tak bisa membayangkan, bagaimana Bapak kesepian, sengsara seorang diri di gubuk reyot itu? Sementara keluarganya di Cimahi tinggal di rumah yang nyaman, lumayan besar dan kukuh. Betapa besar pengorbanan dan pengabdian Bapak demi kebahagiaan keluarganya.

Ah, Bapak, seorang perwira menengah berpangkat Kapten. Sesungguhnya kalau egois, Bapak amat tak pantas tinggal di tempat sekumuh itu. Bapak berhak mendapatkan yang lebih baik!

Ya Allah, prajurit kami yang tegar!

“Rasanya Teteh mau memberi apa saja buat Bapak kalau punya,” kesahku. Tak urung menitik juga air mata dari sudut-sudut mataku.

“Makanya jadilah orang kaya!”

“Ah, kamu….”

“Jadilah istri konglomerat!”

“Ah, sudahlah. Mata duitan juga jadinya kamu!”

“Hidup memang butuh duit, Teteh. Gak ada yang gratis dalam hidup ini!”

Aku memandangi wajahnya yang ayu. Apa yang terjadi dengan dirinya selama hidup berpisah dari keluarga? Kota Yogyakarta, selain terkenal sebagai kota pelajar juga dikenal sebagai kota kumpul kebo. Begitu yang aku baca di koran-koran. Duuuh!

Kami berpisah di jalan Kayu Manis. Aku menuju redaksi majalah Kartini di jalan Garuda. Ada honor beberapa cerpenku yang belum mereka kirim. Aku sadar, itu sama sekali takkan mencukupi kebutuhan yang sedang menunggu di Cimahi.

Makanya, aku membawa beberapa naskah novel. Aku sudah nekad menggedor redaksi, kalau perlu menghadap langsung ke pemimpin redaksinya!          

“Hei, Pipiet Senja! Sendirian nih?” Mas Tjahyono menyambut kemunculanku dengan ramah.               

Sebelumnya kami hanya kenal lewat surat. Biasanya dia akan melampirkan komentar atas cerpen atau puisiku selain kiriman honornya.

Kami berbincang sebentar, menceritakan tentang kesulitanku. Aku bilang, butuh uang banyak buat bayar utang kepada rentenir, bekas biaya perawatanku tempohari. 

Dia tampaknya terkesan dan bersimpati sekali atas keadaanku. Dia kemudian mengenalkan aku dengan Mbak Titie Said Sadikun. Inilah novelis, sastrawati terkenal itu, pikirku.

“Ya, ya, aku sudah kenal karya-karyamu,” sambut Mbak Titie Said ramah sekali, khas seorang wanita Jawa. “Aku dengar, kamu menderita penyakit kelainan darah, ya? Bagaimana kalau aku mewawancaraimu, bersediakah?”

Untuk beberapa saat aku terdiam dan menunduk. Mataku menatap kaki-kaki yang tampak membengkak. Aku tak tahu, entah bagaimana tampangku saat ini. Hampir tak bisa memejamkan mata sepanjang malam. Pasti pucat seperti mayat. Buktinya, Mbak Titie Said terus saja memandangi wajahku lurus-lurus.

“Bagaimana, Jeng? Mau kan diwawancarai sama Mbak Tie?” usiknya terdengar lebih santun, sarat dengan simpati.

Melihat keramahan, kesantunan dan rasa keibuannya yang tinggi itu, siapa sih yang tidak luruh? Lagian, kapan lagi bisa nampang di majalah Kartini yang bertiras tinggi? Kisahku bisa saja menyebar ke seluruh pelosok tanah air, mungkin juga ke mancanegara.

“Baiklah, Mbak Tie!” sahutku mantap.

Selesai sudah aku diwawancarai dan jeprat-jepret diambil gambar segala. Kemudian aku diajak Mbak Titie menemui Pak Lukman Umar, Dirut Kartini Group. Beliau pun bersimpati atas keadaanku, lantas menanyakan berapa yang aku butuhkan.

“Ini saya bawa naskah novel dan beberapa cerpen. Terserah Bapak, berapa mau dikasih honornya,” kataku polos.

Tanpa banyak bicara lagi, pria baik hati itu pun menuliskan rekomondasinya di atas secarik memo. Aku kemudian pergi ke bagian keuangan. Dua ratus lima puluh ribu, ya Allahu, subhanallah!

Mbak Titie Said bahkan mengantarkanku sampai ke pintu gerbang. Meminta sopir pribadinya agar mengantarku pulang. Aku tepekur cukup lama, menggumamkan hamdalah dan zikrullah.

“Allah itu Maha Pemurah. Begitu kasih kepada diriku yang lemah ini. Ya Allahu Robb, alhamdulillah.”

Sepanjang jalan di dalam mobil Corolla ber-AC dengan sopir yang sangat santun dan loyal itu, hatiku dipenuhi rasa syukur. Detik ini untuk kesekian kalinya aku menikmati karunia-Nya. Nikmat-Nya yang tak terduga-duga!

“Berapa? Seperempat juta?” seru adikku En ketika menyambut kepulanganku. “Gaji bapak saja hanya enam puluh ribuan….”

Aku menceritakan pengalaman hari itu. Sebuah pengalaman  istimewa yang menambah keyakinan, keimananku kepada Sang Maha Pengasih.       

“Mau diapakan uang sebanyak ini, Teteh?” tanya Bapak saat aku melaporkan hasil perjalananku.           

“Terserah Bapak. Kalau bisa, aku mau pulang sore ini juga. Kasihan adik-adik, takut mereka kelaparan,” pintaku.          

“Ya, sudah Bapak pinjam dulu buat bayar utang-utang kita. Tapi sebagian buatmu, biaya transfusi bulan depan.” Di kupingku, entah mengapa, suara Bapak terdengar bergetar hebat.

“Ah, tak perlu, Pak. Aku tak merasa sakit. Ngapain ditransfusi segala,” tolakku meyakinkannya.

“Tapi, bukankah kamu mau les Inggris?”

“Lain kali sajalah, Pak. Oya, buatku masih ada kok. Dari honor cerpen.”          

Petang itu juga aku kembali ke Cimahi. Bapak tak bisa mencegah, mengingat alasanku kuat dan masuk akal. Khawatir Mak semakin parah, karena butuh beli obat, adik-adik juga  tak punya makanan.  

Sepanjang perjalanan aku merasakan kesakitan luar biasa pada bagian perut. Ya, limpaku  ngamuk rupanya. Aku meringkuk di sudut bangku panjang, sambil merasa kesakitan tak teperi. Aku cuma bisa meneteskan air mata, berzikir terus, pasrah, tawakal, dan berserah diri kepada Sang Pencipta.

Aku pikir, kalaupun memang harus pergi juga saat ini: “Ya Allah, tolong jangan biarkan bibir ini jauh dari asma-Mu, kumohon kemurahan-Mu, ya Robb,” erangku hanya di dalam hati.

Sampai juga akhirnya dengan selamat sekitar pukul setengah sebelas malam, langsung diserbu dan dielu-elukan adik-adik. Aku sampai tertegun-tegun. Wajah-wajah yang sarat pengharapan, tangan-tangan yang segera sibuk membongkar oleh-oleh.

Adegan ini sungguh telah memulihkan enerjiku yang terkuras. Lama aku memandangi wajah-wajah menghargai, menghormati, dan menyayangi itu. Maka, sirnalah segala kesengsaraan!             

Aku menghampiri Emih di kamarnya. Nenekku tercinta ini masih berbaringan. Adikku Ed bilang, kepingin menunggu kepulanganku.          

“Nuhun, alhamdulillah, Teteh selamat, ya Neng?” sambut Emih seraya memandangi wajahku lekat-lekat.                

Aku meraih tangannya yang keriput, lalu memasukkan sebuah cincin emas ke jari manisnya. Aku pernah berjanji membelikan Emih cincin emas. Penyesalan terbesarku, kepada Eni Sumedang aku tak pernah punya kesempatan berbagi kebahagiaan. Karena Eni telah tiada pada tahun 1970, masa-masa yang sangat sulit bagi keluargaku. Kami tak bisa takziah saat Eni berpulang ke Rahmatullah kala itu.           

“Euleuh-euleuh…. Bagus sekali cincin ini, ya, terima kasih, Teteh.” 

Aku tinggalkan nenek tersayang mengagumi cincinnya. Bagai seorang anak kecil asyik dengan mainan barunya. Kemudian aku masuk ke kamar, menguncinya dari dalam dan ambruk tak sadarkan diri!            

Saat ini aku sudah terbiasa menyembunyikan rasa sakit dan derita akibat kekurangan darah. Transfusi yang sengaja diulur-ulur, karena uangnya berebutan dengan kebutuhan lain.

Acapkali aku punya cara tersendiri untuk sekadar menghilangkan rasa sakit yang mendera sekujur tubuhku. Caranya dengan mensugesti diri; aku sehat wal afiat!         

Acapkali pula aku meminta air putih dari Emih, Bapak dan Mak. Mohon doa restu mereka untuk kesehatanku. Mak sering sekali meletakkan air putih di sejadahnya. Sambil membacakan surat Yassin berulang-ulang, Mak akan memegangi gelas.

“Minumlah air doa ini,” katanya selalu. “Usapkan juga ke bagian limpamu yang sakit.”   

Aku akan mematuhinya. Aku punya keyakinan. Doa seorang ibu sangatlah manjur dan akan dimakbulkan oleh Allah Swt. Bapak lain lagi caranya meringankan rasa sakit putrinya. Dia akan mewiridkan Asma Ul Husna sebanyak-banyaknya. Mengkhususkannya untuk yang terasa sakit. Kemudian telapak tangannya akan diletakkan  di bagian perut yang sakit. Hingga tangan dan sekujur tubuhnya tampak gemetar hebat. 

Ya, begitulah pengenalan pertama dengan hal yang bersifat di luar medis. Kekuatan Sang Maha Pengasih. Beberapa hari kemudian, aku mendapat kabar adikku En diterima kerja di sebuah perusahaan biro perjalanan. 

@@@

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama