PKS, Ghirah Umat, dan Realitas Politik yang Belum Ideal





Erwyn Kurniawan

Berderet pesan masuk ke gadget saya. Isinya mempertanyakan keputusan PKS di Pilkada Sumatera Utara yang mengusung Bobby Nasution sebagai calon gubernur (cagub). 

PKS menjadi sasaran kemarahan. Bullyan datang bagai gelombang pasang. 

PKS dianggap tidak konsisten dan mengkhianati konstituennya. Padahal dalam Pilpres 2024 lalu, PKS berada dalam barisan yang berhadapan dengan pasangan yang didukung penguasa. Lalu mengapa saat pilkada mengusung keluarga penguasa tersebut? 

Salahkah kekecewan ini? Tidak. Ini karena mereka cinta kepada PKS. Mereka memiliki harapan besar terhadap PKS. Keberadaan PKS dinilai mampu menghadirkan perubahan. 

Asa itu tak lepas dari konsistensi PKS selama 10 tahun menjadi oposisi. Saat partai lain berlomba-lomba masuk ke dalam istana, PKS justru tak tergoda. Selama dua periode pemerintahan Jokowi, PKS jadi penyeimbang. 

Di DPR, anggota Fraksi PKS bersuara lantang menyuarakan keberpihakan kepada rakyat. Mulai dari penolakan terhadap kenaikan harga BBM Bersubsidi, tak setuju dengan Omnibus Law hingga RUU Ibu Kota Nusantara (IKN). 

Pada Pilpres lalu, PKS mengusung Anies Baswedan sebagai capres. Sosok tersebut dianggap simbol perubahan dan anti tesisnya Jokowi. Gelombang harapan kepada PKS pun kian membesar. 

Ghirah perubahan yang dimiliki umat sudah pada trek yang benar. Mereka  tak patut disalahkan jika "marah" saat mendengar PKS mengusung Bobby Nasution. Hanya saja, ghirah yang meledak-ledak ini mesti diarahkan, karena harus kompromi dengan realitas politik yang belum ideal. 

Realitas Politik

Medan politik di Tanah Air masih jauh dari ideal bagi partai Islam. Dari pemilu ke pemilu, suara partai Islam paling tinggi hanya kisaran 10-12%. Bahkan jika digabung masih kalah jauh dari partai nasionalis.

Realitas politik semacam ini pada akhirnya membuat partai Islam tak leluasa bergerak saat Pilkada atau merespons isu-isu keumatan.  Contoh, untuk mengusung calon pemimpin daerah di Pilkada harus memenuhi persyaratan jumlah kursi. Dan partai Islam, termasuk PKS sudah pasti tak mampu memenuhinya. Koalisi pun menjadi pilihan rasional di lapangan. Itulah yang terjadi di hajatan pilkada serentak 2024.

PKS tak memiliki kursi yang berlimpah. Partai ini tidak mempunyai kemewahan untuk bisa mengusung sendiri calon kepala daerah, kecuali di satu dua tempat. Belum lagi dihadapkan dengan dinamika politik yang ada di daerah tersebut. Pilihan PKS tentu saja semakin sulit dan menyempit. Situasi di lapangan akhirnya "memaksa" PKS berkompromi. 

Jadi, ketika pilihan mengusung Bobby Nasution dilakukan oleh PKS, ini bukan soal pengkhianatan kepada perjuangan umat atau mereka yang menginginkan perubahan. Atau dianggap sebagai inkonsistensi, melainkan kompromi terhadap realitas politik di lapangan yang masih belum ideal. 

Ingat, PKS adalah entitas politik yang berjuang di jalur konstitusional. Pada titik ini, PKS harus tunduk dan patuh pada ketentuan yang berlaku. Ketika disyaratkan berkoalisi dengan partai lain agar dapat mengusung calon kepala daerah, maka itu harus ditempuh. Selama 10 tahun jadi oposisi, kursi di DPR hanya bertambah 3. Di level provinsi dan kota/kabupaten, banyak pula kursi PKS yang berkurang.

Mempertemukan Ghirah Umat dengan Realitas Politik

Pertanyaannya, bisakah ghirah umat dan realitas politik ini dipertemukan? Sangat bisa. Ingatkah kita dengan *** Mart yang menjamur pada tahun 2017-2018? Bukankah minimart umat ini juga masih belum ideal? Indikasi mudahnya bisa dilihat dari produk-produk yang ditawarkan. Masih mendominasi barang-barang dari perusahan besar yang jika diusut, ujung-ujungnya adalah punya Oligarki. 

Padahal, Oligarki kita jadikan Common Enemy atau musuh bersama. Tapi kita bisa kompromi dengan fakta tersebut. Tak ada ribut-ribut. Tiada penolakan. Hal serupa seharusnya bisa kita terapkan dalam lapangan politik yang memiliki tingkat kerumitan luar biasa. Di tengah kondisi umat yang masih sering berkerumun dibandingkan berhimpun--meminjam istilah Eep Saefullah Fatah, kondisi ideal yang kita harapkan hadir masih sulit terwujud. 

Kalau ingin segera tercipta, pastikan pilihan kita pada PKS saat pemilu mendatang. Lalu ajak sanak saudara, tetangga kiri kanan dan teman-teman kita untuk memilih PKS. Sehingga suaranya melonjak drastis atau menang pemilu. Secara demikian, ada ruang yang lebih luas bagi PKS untuk menghasilkan keputusan politik yang diharapkan. 

Ghirah umat yang meledak-ledak dengan harapan lahirnya perubahan tak dapat ditahan atau disumbat. Sementara itu, realitas politik yang masih belum ideal, tidak dapat dielakkan. Keduanya harus dipertemukan di titik tengah. Bukan saling menihilkan atau menjauh. 

Teruslah mengawal PKS. Sebab ini sebagai bukti kepedulian kepada PKS. Dan gadget saya siap menerima pesan apapun, terkait saran dan nasehatnya untuk kebaikan PKS ke depan. 

Note

Hani Hendayani: Ini refleksi bagus.

Pertanyaan besarnya: selama 10 tahun oposisi dengan perjuangan yg disebutkan di atas.

Harusnya kalau masyarakat cinta PKS karena konsisten oposisi, PKS jadi pemenang pemilu kemarin karena dukungan masyarakat, ternyata tidak.

Jadi realistis dalam berpolitik dengan tetap menjaga jatidiri PKS.

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama