Puisi Bisa Jadi Tontonan






 SWADESI

29 AGUSTUS 1993

Jose Rizal Manua

Puisi Bisa Jadi Tontonan

JOSE Rizal Manua, sebagai seorang deklamator, boleh jadi semakin mapan.

“Perjuangan saya untuk mencapai semua itu cukup berat,” paparnya. Apa kiat untuk mencapainya? Berikut ini obrolan dengan seniman yang pernah menjadi murid Rendra itu.

Agaknya Anda semakin laku dan semakin sibuk. Sudah keliling ke mana saja?

Hampir semua kota besar di Indonesia pernah mengundang saya. Dan sekarang saya diminta oleh Malaysia membacakan puisi di beberapa kota di sana. Undangan ini belum saya penuhi. Saya minta ditunda dulu. Acara saya sampai akhir tahun sudah terlampau padat.

Untuk menjadi deklamator andal, Anda tentu melalui proses kreatif yang panjang. Bisa Anda ceritakan?

Proses perjuangan saya untuk menjadi deklamator cukup panjang dan cukup berat. Sebagai bekas pemain sepakbola, saya tak bisa langsung masuk ke dunia kaum seniman. Karena itu, saya kemudian mengikuti berbagai lomba baca puisi ternyata dalam mengikuti berbagai lomba baca puisi itu, hampir setiap tahun saya bisa memenangkannya. Ini membuat saya makin bersemangat untuk belajar secara mendalam segala sesuatu yang berhubungan dengan seni baca puisi. Ya, saya belajar dengan  siapa pun. Hampir semua penampilan penyair  terkemuka Indonesia dan penyair Amerika atau pun Eropa yang membacakan puisinya di TIM selalu saya tonton dan saya pelajari. Mereka itulah guru-guru saya.

Pada tahun 1987, saya sudah tak boleh lagi mengikuti lomba baca puisi. mulai tahun itu pula saya menjadi juri. Karenanya, untuk memenuhi keinginan saya untuk terus menjadi pembaca puisi, saya coba mengumpulkan puisi dan membuat paket pertunjukan pembacaan puisi.

Mula-mula saja mencoba membacakan tiga kumpulan sajak Rendra: Anuning Ning, Syair Teratai, dan nyanyian Orang Urakan. Ternyata dapat sambutan bagus. Ini membuat saya makin yakin pembacaan puisi mestinya dikemas dan dipersiapkan sebagai sebagai tontonan. Publik akan terpukau dengan cara semacam ini. Berikutnya saya bacakan sajak-sajak Taufik Ismail. Mendapat sambutan baik juga. Ini semua karena saya memperhitungkan susunan emosi setiap sajak, memperhatikan kostum, menata setting secara tepat, dan membikinnya menjadi seni pertunjukan. Ini pulalah yang membuat orang betah menonton pertunjukan saya.

Begitulah, akhirnya saya mencoba membacakan sajak-sajak penyair Indonesia lainnya, termasuk karya Emha Ainun Nadjib pernah saya bacakan dari gelanggang ke gelanggang.

Dari itu kemudian saya sadar, kesuksesan yang saya raih adalah berkat semangat untuk mau belajar terus menerus dan menjaga kualitas pembacaannya. Bahkan di tempat-tempat hiburan yang bukan merupakan pusat kebudayaan pun, kualitas itu saya jaga terus. Karena itu, jangan heran kalau saya sekarang membaca puisi di pusat-pusat perbelanjaan, di kampung-kampung, dan bahkan di tempat-tempat hiburan sekali pun.

Kenapa harus ke pusat perbelanjaan segala?

Saya pikir untuk memasyarakatkan puisi kita harus masuk ke kantong masyarakat itu, tak terkecuali pusat-pusat perbelanjaan dan tempat-tempat hiburan. Saya yakin dengan melakukannya secara sungguh-sungguh, kedudukan sosial puisi di masyarakat akan terangkat kembali seperti pada masa Ronggowarsito duhulu.

Untuk itu Anda tentunya banyak belajar. Secara kongkret belajar apa saja?

Sekitar tahun 1975 saya belajar di Teater Mandiri-nya Putu Wijaya. Di sana saya belajar olah tubuh dan vokal. Tahun 1977 saya bergabung dengan Bengkel Teater Rendra. Dari sini pengetahuan saya tentang olah tubuh dan vokal serta seni peran semakin bertambah, lalu, karena masih juga belum puas, saya masuk IKJ dan belajar teater lebih mendalam lagi serta belajar dari pengalaman membaca diberbagai kota, akhirnya saya temukan kiat membaca puisi yang disukai publik.

Tentang stamina, saya belajar dari bagaimana atlet menjaga stamina. Dan ini tidak ada masalah, karena saya pernah menjadi pemain sepak bola di Persija Yunior Jakarta Timur. Ya, saya berlatih metode pernafasan atau pun metode menjaga stamina seperti ketika olahragawan mempelajarinya.

Belajar tentang penyutradaraan, ternyata juga ada gunanya. Saya bisa mengurutkan mana sajak yang harus saya baca terlebih dahulu dan mana yang kemudian  dari beberapa puluh sajak yang hendak saya bacakan.

Bagaimana metode belajarnya?

Ada tiga metode dari Bengkel Teater yang bisa digunakan untuk mengasah kreatifitas, yakni: Rutin, stand by, dan seketika.

Bisa Anda jelaskan satu persatu?

Melakukan pekerjaan rutin harus ada hubungannya dengan pekerjaan sehari-hari, misalnya saja membersihkan lantai. Jika ini kita lakukan dengan rutin, akan menjadi meditatif. Suasana meditatif inilah yang akan menjadi daya ekspresi ketika kita berekspresi dan berkarya.

Metode kedua adalah Stand By. Dengan metode ini, kita akan selalu responsif, spontan, dan siaga penuh dalam menghadapi apa pun. Ini berarti, seniman harus bisa berkarya dalam kondisi apa pun.

Yang ketiga adalah “seketika”. Dengan metode ini, seniman tak akan punya kecenderungan untuk menunggu. Ia akan dengan seketika melakukan laku kreatifitasnya tanpa harus menunggu orang lain melakukannya.

Ini semua berhubungan dengan pekerjaan kita sehari-hari, kewajiban sehari-hari dan rutinitas. Ada piring kotor, kita harus siaga mencucinya. Dan jangan lama-lama menunggu piring itu tetap kotor, tapi harus seketika. Ibarat di dunia silat seorang pendekar tak akan langsung belajar ilmu silat, tapi harus melakukan pekerjaan sehari-hari dahulu. Pekerjaan sehari-hari itu setelah menjadi meditatif akan berguna ketika ia menerima ilmu silat yang sebenarnya, karena sesungguhnya gerakan-gerakannya yang sudah dilakukan secara rutin ketika pesilat itu menimba air, berkelit ketika hendak digigit ular dan sebagainya. Dalam kreatifitas pun demikian, rutinitas yang telah mencapai tingkatan meditatif menjadi daya ekspresi yang luar biasa.

Dan dengan metode itulah saya bisa mencapai prestasi saya dalam banyak hal, termasuk membaca puisi, menyutradarai dan mengadakan berbagai pertunjukan.

Selama ini, apakah ada penyair yang kecewa karena merasa sajak-sajaknya tidak Anda baca secara pas?

Belum ada tuh. Bahkan ada yang merasa menemukan sajaknya kembali yang telah lama hilang setelah mendengar saya membaca. Ada pula yang bilang, “Jose, setelah sajak itu kau baca, sepertinya aku baru saja membuatnya. Padahal sajak itu aku bikin sepuluh tahun yang lalu.” Ada semacam penyegaran dan reproduksi dari sajak-sajak yang dibuat para penyair yang sajaknya saya bacakan. Ini yang terjadi.

Agaknya ada penyair-penyair tertentu yang sajak-sajaknya belum Anda bacakan. Anda mengalami kesulitan yang serius ketika menghadapi sajak-sajak tersebut?

Saya sadar, tidak semua sajak bisa saya ekspresikan dengan baik. Ini membuat saya selalu memilih sajak-sajak yang bisa saya pahami, dan ekspresikan dengan maksimal. meski begitu, sekarang saya sedang belajar memahami sajak-sajak Goenawan Mohamad itu banyak yang bagus, tetapi untuk memahaminya sulitnya bukan main. (tt-36)

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama